Membudayakan Dialog
Posted by postinus pada Maret 2, 2008
Oleh Postinus Gulö *)
“Lihatlah pengunjung Café Rohani itu, mereka tertawa ria. Padahal, saya tahu mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Betapa indahnya jika masyarakat kita seperti mereka itu.”
Kalimat di atas melukiskan dunia dan langit baru seperti kandang domba yang jauh dari perbuatan saling melukai. Dalam kalimat di atas, kita membayangkan suasana penuh sukacita karena ada laku yang saling menerima yang lain tanpa curiga. Dalam kalimat di atas terjadi komunikasi dan dialog yang mencerminkan kesetia-kawanan. Suasana nyata dalam kalimat di atas bisa dibayangkan dan bisa dinyatakan, walau kenyataannya tidak selalu nyata dalam hidup bermasyarakat kita! Entah kenapa.
Hal penting dalam dialog adalah saling mendengarkan yang lain. “Mendengarkan” terjadi jika ada yang mengungkapkan, mau membuka diri, dan berdiskusi dengan yang lain, ada kejujuran. Dalam dialog mesti ada keterbukaan timbal-balik, terjadi proses tanya-jawab, mengurai-menjelaskan, mendekonstruksi dan merekonstruksi. Dari proses ini –sadar atau tidak- terbangun keharmonisan. Karena, kedua belah pihak saling mengerti, saling membuka diri, saling memahami, bahkan mungkin saling berempati.
Kita tahu, tujuan terpenting dialog adalah membangun rasa saling percaya, saling memahami, saling mengerti yang lain. Jika terjadi hal ini, dialog mampu mengikis apriori kecurigaan dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural.
Fobia perbedaan
Perbedaan sering melahirkan konflik. Namun, tidak selalu bahwa konflik disebabkan oleh perbedaan-pluralitas. Fenomena dewasa ini, banyak kalangan (terutama kaum fundamentalisme-militan) takut pada perbedaan. Seolah-olah mereka mengharapkan dunia yang serba “aku” tanpa “mereka” atau tanpa “kamu” serta tanpa ‘dia”. Mereka curiga bahwa biang keladi munculnya perang, fasisme, perpecahan, anarkhisme adalah kerena keperbedaan, pluralitas, karena ada mereka, dia dan kamu. Akibat fatalnya, mereka menjadi tidak nyaman berdampingan dengan yang lain, mereka sering mencurigai kelompok lain. Seolah-olah, “yang lain” (the others) itu tidak penting, mengancam, bahkan perlu tidak ada.
Pertanyaannya, bukankah kita yang membuat perbedaan sebagai biang keladi munculnya ketidakharmonisan? Mengapa kita tidak bisa bersatu di tengah keperbedaan? Mengapa kita tidak bisa melihat titik kesatuan di tengah kepluralan? Mengapa aku selalu melihat “yang lain” sebagai pengancam, pendakwa eksistensiku? Pertanyaan selanjutnya: apakah “yang lain” itu penting? Seberapa penting dan mengapa penting? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini perlu kita kaji dan renungkan. Dan, jawabannya mesti diaktualisasikan, diartikulasikan dalam laku yang tepat.
Marilah kita merenungkan kenyataan Indonesia yang memiliki slogan Bhinneka Tunggal Ika, tetapi kita masih belum menikmati bhinneka tunggal ika. Amerika punya slogan bhinneka tunggal ika, dan memang, di Chicago, misalnya, kita menikmati bhinneka tunggal ika. Di Chicago segala etnis ada, tetapi mereka bisa hidup berdampingan, mereka biasa ngobrol di tempat publik tanpa rasa curiga (?).
Dalam konteks Indonesia, fenomena yang terjadi semakin kompleks dan ambigu. Seolah-olah mengakui “yang lain” atau mengakui keyakinan yang lain adalah sikap murtad dari keyakinan diri yang telah dianut. Atau istilah krennya adalah sinkretisme (mencopot sini mencopot sana, meyakini ini dan meyakini itu). Dan yang lebih fatal adalah, orang-orang yang mau mengakui yang lain (moderat) sering dituduh sebagai orang yang melukai kelompok di mana ia pernah menaruh keyakinannya.
Solusi
Pertama, kecurigaan terhadap yang lain dapat diatasi jika kita membudayakan dialog. Dengan membudayakan dialog, kita tidak sebatas mengkritik apa yang kita tidak tahu. Kedua, kita mesti mengubah cara kita melihat “yang lain” bahwa yang lain itu bukanlah ancaman melainkan partner (untuk berpikir, berdiskusi, bekerja). Dengan kata lain, berhadapan dengan yang lain, yang dibangun adalah relasi yang harmonis.
Kita juga mesti sadar bahwa relasi terjadi jika kita saling memiliki cinta, komitmen dan keterbukaan berdialog. Melalui dialog, kita mampu memahami yang lain bukan semata-mata secara emosional melainkan juga secara rasional. Tidak mungkin seseorang mengkritik yang lain jika ia tidak tahu apa yang harus ia kritik. Barangkali, yang terjadi selama ini adalah kita mengkritik apa yang kita tidak mengerti dan tidak pahami.
*) Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung
Tinggalkan Balasan