Terima Kasih
Posted by postinus pada Oktober 23, 2010
Ketika saya mengajar agama di sebuah Sekolah Menengah Atas, saya mendapati beberapa anak yang tidak peduli. Mereka asyik mengobrol. Ketawa cekikikan. Ribut. Saya mendekati mereka. Menegur dengan halus. Tetapi, toh tidak diindahkan. Selesai mengajar, saya panggil mereka. Lalu, saya bertanya kepada mereka: “apakah tindakan tidak peduli, ribut saat guru mengajar adalah wujud terima kasih Anda pada orangtua yang telah menyekolahkan Anda?” Mereka tidak ada yang bisa menjawab.
Minggu-minggu berikutnya mereka ulangi lagi tindakan itu. Saya mengambil keputusan, orangtua mereka mesti dipanggil. Saya sadar apa yang dikatakan dalam hukum Gereja dan juga dalam ajaran Paus Yohanes Paulus II bahwa orangtua adalah guru pertama dan utama. Orangtua perlu mengetahui perkembangan anaknya.
Satu-persatu saya bertemu orangtua mereka. Saya terhenyuh ketika ada orangtua yang tampak membela anaknya. Dia tidak mau anaknya dipersalahkan. Sedangkan yang lain berterima kasih karena mereka diberitahu perkembangan anaknya.
Saudara-saudara terkasih, tindakan berterima kasih menyimbolkan bahwa kita memiliki kesadaran dan kerendahan hati. Kita tidak melupakan kebaikan orang lain, termasuk kebaikan Allah. Bisa saja, Allah memperbaiki perbuatan kita lewat orang lain, lewat guru-guru kita. Kita mestinya, berterima kasih dan bukan membela yang salah.
Perikop Lukas 17: 11-19 menceritakan bahwa lebih banyak orang yang tidak tahu berterima kasih daripada yang tahu berterima kasih. Bayangkan saja, dari 10 orang kusta yang disembuhkan Yesus hanya satu orang yang kembali berterima kasih dan memuliakan Allah.
Dikala kita mengalami peristiwa menyenangkan, kita kadang lupa diri, lupa berterima kasih. Kita mengingat Allah ketika kita membutuhkan Allah. Di saat kita dalam lingkaran kebahagiaan kita tidak pedulikan Allah. Kita asyik dengan kebahagiaan yang sedang kita nikmati. Bahkan kadangkala kebahagiaan yang kita dapatkan itu kita anggap hanya karena usaha kita. Tidak heran jika kita melupakan Allah. Karena lupa akan Allah, maka kita juga tak pernah berterima kasih padaNya.
Dalam perikop ini, penginjil Lukas mengajak kita untuk berterima kasih dikala kita mengalami belaskasihan Allah. Terima kasih itu, bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan tindakan. Memuliakan Allah adalah tindakan iman. Jika kita kembali ke cerita anak sekolah yang ribut tadi, semestinya ungkapan terima kasih anak sekolah terhadap orangtuanya adalah sikap yang sungguh-sungguh mengikuti proses belajar-mengajar. Ini adalah tindakan bukan kata-kata! ***
Tinggalkan Balasan