Bapak Sesa sungguh saleh menurut warga desanya. Dia rajin ke gereja berdoa kepada Allah. Suatu hari ketika dia hendak ke gereja, si Bapak Sesa bertemu dengan seorang lelaki tua, kumal dan tampak kelaparan. Sebut saja namanya Bapak Kumal. Sambil memelas Bapak Kumal meminta belas-kasihan Bapak Sesa. Apa yang terjadi, Bapak Sesa setengah membentak lalu dia bilang: “hah…kau ini mengganggu orang ke gereja saja. Saya ini buru-buru ke gereja berdoa kepada Allah, saya tidak sempat melayanimu.” Saat berdoa di gereja, yang hadir di depan Bapak Sesa justru wajah si Bapak Kumal tadi. Bapak Kumal berkata kepadanya: “Akulah Allah yang engkau cari di gereja tapi engkau tidak melayaniKu tadi di pinggir jalan.”
Seseorang yang beriman cukup dalam, pasti memiliki kepekaan yang sangat luar biasa mengenai kemanusiaan dan penderitaan orang lain. Iman itu, bukan sekadar diketahui artinya, tapi dilakukan. Iman tidak sama dengan pengetahuan. Iman itu, bukan sekadar kesalehan berdoa saja tapi perlu beramal, punya wujud dalanm tindakan nyata.
Dalam Lukas 10: 25-37, tampak di situ bahwa Ahli Taurat hanya ingin mencobai Yesus, dia pura-pura bertanya saja. Yesus itu hebat. Dia lalu memberi ilustrasi yang mendalam tentang “orang Samaria yang baik hati”. Yesus menunjukkan perilaku Kaum Imam dan Lewi yang notabene sering ke Bait Allah, tidak memiliki kepekaan, tidak gampang tergerak memberi pertolongan kepada sesama. Padahal, pasti mereka itu mengetahui bahwa jalan menuju kesalehan adalah beriman dan berbuat. Tetapi ternyata, kaum imam dan Lewi itu hanya sebatas mengetahui, nihil tindakan. Orang yang tampak dekat dengan Allah (Imam & Lewi) kok tak tergerak hatinya menolong korban penyamun itu? Apa yang terjadi dengan mereka? Pertantaan untuk kita: seandainya aku hadir pada saat itu, kira-kira aku termasuk Imam-Lewi atau Orang Samaria?
Kaum Imam dan Lewi pasti beriman kepada Allah. Akan tetapi, mereka tak sampai mempraktekkan apa yang pernah dikatakan oleh Yesus: segala sesuatu yang engkau perbuat untuk salah seorang saudaraKu yang paling hina ini, engkau telah melakukannya untukKu. Orang Samaria itu menolong tidak tanggung-tanggung. Dia menolong dengan tenaganya, waktunya, cintanya, dan hartanya. Padahal, menurut orang Farisi, orang Samaria termasuk kafir karena mereka memiliki tempat doa sendiri. Orang Samaria tak diperhitungkan bahkan terpinggirkan.
Sama seperti Injil Lukas 10: 25-37, Yakobus 2 menegaskan kepada kita bahwa iman mesti diwujudkan dalam tindakan nyata. Iman itu jangan hanya di bibir, jangan seolah-olah hanyalah asesoris agar tampak saleh. Allah tidak menyukai iman yang kosong tanpa disertai perbuatan. Iman sejati akan menghasilkan perbuatan yang sejati pula. Jangan sampai kesalehan dan keimanan hanya ketika kita berada di gereja, di kapel, di ruang doa, keluar dari sana lalu perbuatan-perbuatan kita tak mewujudkan orang beriman tapi orang beringas, kita tak tampak sebagai orang yang sabar.
Saya kira, para murid mau mengikuti Yesus oleh karena sosok Yesus itu meyakinkan, memberi harapan, dan penuh ketulusan. Yesus tidak hanya berkata-kata penuh wibawa tetapi melakukannya dengan tulus. Alangkah indahnya hidup ini jika orang lain melihat kita lalu terpanggil menjadi Abdi Allah. Apakah kita sadar, bahwa pengajaran yang dalam adalah perbuatan? Anda tidak perlu berkata banyak, Anda tidak perlu meyakinkan orang dengan kata-kata yang indah memikat jika sikap dan perbuatan kita sungguh berjuang meraih kesucian, sungguh berjuang melayani penuh ketulusan. Pengajaran dan khotbah yang mendalam adalah perbuatan-perbuatan baik, tindakan memperjuangkan kebenaran dan kelemah-lembutan kepada siapapun. Ibu Teresa sudah melakukan itu. Dia pun dikenang semua kalangan entah sampai kapan. “Kulihat wajah Yesus dalam wajah orang-orang yang menderita”, begitu ungkapan Ibu Teresa.
Perubahan Hidup
Yakobus menekankan bahwa iman sejati kepada Kristus akan menghasilkan perubahan hidup dan perbuatan-perbuatan baik (Yakobus 2:20-26). Yakobus tidak mengatakan bahwa pembenaran adalah oleh iman ditambah perbuatan, namun mengatakan bahwa seseorang yang sudah betul-betul dibenarkan melalui iman akan menghasilkan perbuatan baik dalam hidupnya. Jika seseorang mengaku sebagai orang percaya, namun tidak menyatakan perbuatan baik dalam hidupnya, maka kemungkinan dia tidak memiliki iman yang sejati kepada Kristus (Yakobus 2:14, 17, 20, 26).
Apakah ritme hidup kita yang sering pergi ke ruang sembahyang, ruang doa, ruang kudus, punya buahnya dalam perbuatan-perbuatan kita kepada sesama dan musuh? Apakah kita pernah seperti Ibu Teresa yang melihat Yesus melalui orang-orang yang dia layani? Apakah wajah Yesus bisa kita lihat dalam wajah sesama, hingga musuh? Lalu bagaimana kita perlakukan mereka selama ini?