Damailah Jakarta!
Posted by postinus pada November 4, 2016
Ada dua kata dalam bahasa Inggris yang hampir mirip penulisannya tapi sangat berbeda arti: sword (pedang) dan word (kata). Jika kata “Word” ditulis dengan diawali huruf kapital, maka artinya “Sabda”. Akan tetapi, biarpun kita tulis kata “Sword” dengan diawali huruf kapital tetap saja berarti “pedang”.
“Kata” yang mengandung dan disampaikan dengan kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan menjadi “sabda” yang memberi “rahmat” kepada manusia. Sebaliknya, “kata” yang dipelintir oleh mereka yang punya tujuan mengacaukan, akan menjadi “petaka”, karena menjadi alat provokasi yang melahirkan permusuhan, bahkan pedang.
Sumber foto: http://intisari-online.com/Inspiration/Tell-Your-Story/Kata-Kata-Bagaikan-Pedang
Petaka Pelintir kata
Ahok, calon Gubernur petahana DKI Jakarta sempat menyinggung Surat Al Maidah 51. Ia menyinggung surat itu saat mengunjungi Kepulauan Seribu (26/9/2016). Saya telah menonton video pernyataan Ahok itu. Jelas, bahwa Ahok tak bermaksud menista agama. Ahok hendak mengingatkan agar rakyat tak mudah dibohongi untuk tidak memilih calon tertentu dengan memakai ayat-ayat suci. Ahok menghendaki agar pilihan politik sesuai dengan kebebasan hati nurani. Tanpa ada yang memaksa dan tanpa membohongi agar tak memilih calon tertentu. Bahkan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menyatakan bahwa pernyataan Ahok itu bukan penistaan agama.
Tapi apa daya. Sejarah politik Tanah Air menunjukkan, oknum yang kalah dalam substansi politik, mencari cara yang tidak sehat. Isu SARA, salah satu amunisi yang mereka nilai ampuh. Padahal, tidak demikian. Pilpres 2014 telah membuktikannya. Lawan politik Jokowi memainkan isu SARA. Tapi rakyat Indonesia, mayoritas waras. Merekapun tetap memilih Jokowi ketimbang yang lainnya.
Ahok baru 2 tahun memimpin Jakarta. Perubahan sudah terlihat nyata. Jakarta bersih. Ahok, Gubernur eksekutor, bukan hanya pembuat teori! Mereka yang tinggal di pinggir sungai direlokasi di rumah susun yang layak huni. Sungai yang hitam pekat, sekarang bersih. Pelayanan terhadap publik dibuat transparan. Oknum dewan yang korup dibongkar kedoknya. Pendeknya, Ahok terbukti kerja keras dan punya integritas.Melihat ini, lawan politiknya, kelabakan.
Masuk akal, jika menjelang Pilkada DKI Jakarta 15 Februari 2017, “kata” (word) dipelintir, dibuat “salah paham” yang akhirnya melahirkan “paham salah”. Herannya, ternyata banyak orang beragama cepat terbakar amarah. Kata-kata Ahok yang telah dipelintir dipercaya begitu saja. Bisa jadi juga sengaja dibesar-besarkan. Mereka yang punya kepentingan bersorak ria dan memprovokasi rakyat. Tujuannya, agar Jakarta kacau, dan mereka mendapat untung.
Kita perlu mencermati kata-kata Nusron Wahid: “salah paham” dan “paham salah” pasti melahirkan keributan. Tidak mengherankan jika banyak oknum pengikut organisasi fanatik berbaju agamais menuntut orang lain menghormati ajaran agamanya, tetapi dengan cara makian, ancaman dan kebencian. Benar apa yang pernah dikatakan Karl Raimund Popper: ada banyak pihak yang berjuang menciptakan “surga” (kedamaian) tetapi dengan cara-cara yang justru melahirkan “neraka” (kebencian). Mereka ini terlanjur dihinggapi “paham salah” dan “salah paham”. Apakah beginikah sikap orang beragama? Tidak! Sangat tegas jawabannya.
Semestinya orang bergama itu seperti apa yang terkandung dalam kalimat bijak Anselmus Cantebury: “Semakin beriman, semakin memahami”. Orang yg memiliki iman mendalam, ia tak hanya mengasihi sesamanya, tetapi juga musuhnya. Orang beriman semestinya “mengasihi”, bukan “membenci”. Bukan “sok beriman” yang akhirnya “salah paham dan paham salah”. Orang beragama tidak hanya menjaga relasi yang baik dengan Allah, tetapi juga relasi antarsesama.
Kehebatan Orang Beriman
Sebagai orang beriman mestinya kita lurus bertindak dan bijak berkata-kata. Belalah kebenaran, semaikan kebaikan dan peliharalah kebijaksanaan. Salah satu kehebatan orang beriman adalah kemampuan mengasihi musuh. Yesus menegaskan: “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: kasihilah musuhmu, berbuat baiklah kepada orang yang membenci kamu…berdoalah bagi orang yang mengutuk kamu” (Lukas 6:27-28). Mereka yang sungguh-sungguh beriman, tak akan kendor semangat kasihnya saat berhadapan dengan musuh. Orang beriman tidak membalas pembencinya dengan sikap benci, tetapi dengan perbuatan baik.
Kebencian dibalas dengan kebencian hanya akan melahirkan kebencian. Itu sebabnya pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah berkata: “jika mata ganti mata, maka dunia menjadi buta”. Jika kejahatan dibalas dengan kejahatan, maka dunia dipenuhi kejahatan.
Sahabat semua, teguran untuk tidak mempelintir kata-kata sudah ada jauh sebelum zaman kita ini. Salah satu yang terkenal adalah khotbah Yesus Kristus dalam Injil Matius 5: 37: “jika ya, hendaklah kamu katakan ya. Jika tidak, hendaknya kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.”
Umat beragama semestinya adalah orang beriman. Orang beriman seharusnya adalah mereka yang menghidupi atribut-atribut Allah sebagai kasih, cinta, kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan, kesucian. Oleh karena itu, orang beragama seharusnya meluruskan kata-kata yang dipelintir menjadi kata-kata yang benar. Orang beragama berjuang keras menuntun dirinya ke jalan yang benar. Tidak sebaliknya: berjuang menuntut orang lain benar, sementara ia membiarkan dirinya berjalan ke jalan yang tidak benar.
Orang beragama, penuh sabar. Tak lekas terbakar amarah. Orang beragama adalah pemaaf. Kejahatan dibalasnya dengan kebaikan. Ia berjuang menahan dirinya untuk tidak membalas kejahatan. Orang beragama tidak seperti ular yang terinjak kaki manusia lalu spontan berbalik mematoknya. Orang beragama berjuang keras menuruti kehendak Allah dan bukan kehendak daging manusianya.
Orang beriman, tidak hanya dewasa secara intelektual, tetapi juga secara rohani. Jika otak menampung kecerdasan intelektual, maka hati menampung kecerdasan iman. Apa yang tidak masuk dalam otak, barangkali hati mampu secara bijak membacanya.
Kita merindukan teman-teman yang memakai jubah putih, 4 November 2016 lalu, memiliki hati seputih jubah mereka. Marilah terus memanjatkan doa untuk mereka agar diberkati Allah. Kita semua, tidak hanya mereka, mesti lurus berkata-kata. Kita semua dipanggil untuk terus mempromosikan kedamaian. Bukan memelintir kata-kata.
Marilah kita bersatu melahirkan kedamaian dengan tindakan penuh damai. Kata-kata yang menimbulkan kekelaman segera berubah menjadi ketentraman. Kita semua merindukan: Jakarta damai. Damailah Jakarta…..Damailah Jakarta!
Salam NKRI.
Tinggalkan Balasan