BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 269.020 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Juni 2022
    S S R K J S M
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    27282930  

Archive for Juni, 2022

Tanggapan Terhadap Fenomena Childfree (1)

Posted by postinus pada Juni 3, 2022


Oleh R.P. Postinus Gulö, OSC*

Pertanyaan:

Pastor, saya Massima, perempuan Katolik. Beberapa waktu lalu seorang youtuber secara terbuka memilih childfree, yakni menikah tapi tidak mau punya anak. Pengakuannya itu menjadi viral di media sosial. Kendati terjadi pro dan kontra, ternyata bemunculan pasutri yang mengaku memilih childfree. Mungkin karena cukup viral, maka childfree ini sempat dibahas di sebuah stasiun televisi swasta. Menariknya, di antara mereka yang memilih childfree itu ada umat Katolik. Pastor, terkait hal ini, saya punya pertanyaan. Berdasarkan ajaran Gereja Katolik, apakah childfree itu dapat dibenarkan? Saya mohon tanggapan Pastor. Terima kasih.

Massima, dari Kota Bandung

Jawaban:

Saudari Massima yang baik, terima kasih pertanyaan Anda ini. Di Eropa dan Amerika Serikat, fenomena childfree sudah ada sejak awal tahun 1800-an dan terus meningkat orang yang memilih childfree tersebut. Akhir-akhir ini di Indonesia, ternyata mulai meningkat fenomena childfree tersebut. Fenomena ini jangan kita pandang enteng. Perlu ada tindakan bijak untuk menghadapinya. Kalau diamati, kita dapat mendefenisikan childfree sebagai keputusan sadar pasangan-suami istri (atau seseorang sebelum dan sesudah menikah) untuk tidak mau memiliki anak.

Sumber foto: http://www.laityfamilylife.va (diakses, 3 Juni 2022)

Jadi, childfree bukan tidak punya anak, yang disebabkan oleh kemandulan alami. Akan tetapi,  menolak kelahiran anak dan karena itu menolak memiliki anak! Kita perlu menegaskan juga bahwa pasangan suami-istri (pasutri) yang mengalami kemandulan alami atau sterilitas bawaan (entah salah satu atau dua-duanya) tidak disebut childfree. Bahkan kemandulan alami (sterilitas) tidak mengakibatkan perkawinan tidak sah (bdk. kanon 1084§3), asalkan kemandulan itu jika sudah diketahui, tidak disembunyikan kepada pasangannya sebelum menikah. Sebab, orang yang melangsungkan perkawinan karena tertipu oleh muslihat yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan, mengenai kualitas seseorang yang dapat mengacaukan persekutuan hidup perkawinan, ia melangsungkan perkawinan dengan tidak sah (bdk. kanon 1098). Salah satu kualitas seseorang adalah soal mandul atau tidak mandul.

1.Menolak Kehendak Allah?

Berdasarkan ajaran Gereja Katolik, apakah childfree itu dapat dibenarkan?Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyadari bahwa ajaran Gereja Katolik tidak semata-mata sebagai pengetahuan. Ajaran Gereja lebih dari itu, yakni sebagai keyakinan yang perlu diimani, diterima, diinternalisasi, dan diwujudkan dengan ketataan dan kerendahan hati. Sebab, ajaran resmi Gereja itu disusun berdasarkan Kitab Suci, tradisi para Rasul dan Gereja. Bahkan melalui proses disermen atau pembedaan roh yang dilakukan dari zaman ke zaman.

Dalam Kitab Hukum Gereja (yang disebut juga Kitab Hukum Kanonik) kanon 1055 §1, kelahiran anak merupakan salah satu dari 3 tujuan perkawinan menurut Katolik. Bagi Gereja Katolik, tiga tujuan perkawinan itu merupakan unsur hakiki perkawinan. Dengan kata lain, jika ada pasutri yang menolak memiliki anak dengan sadar (childfree), berarti mereka menolak dua sekaligus dari tujuan perkawinan: menolak kelahiran anak (bonum prolis) dan pendidikan anak (bonum educationis). Dengan demikian, mereka juga menolak unsur hakiki perkawinan itu sendiri.

Jika kita baca Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian bab 1, ternyata kelahiran anak merupakan kehendak Allah. Dengan kata lain, pasutri yang menolak memiliki anak berarti juga menolak kehendak Allah atas kelahiran anak. Saya mengajak kita pelan-pelan merenungkan dengan sungguh-sungguh Kisah Penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian bab 1 itu. Manusia pertama diciptakan oleh Allah dari tanah. Luar biasanya, setelah Allah menciptakan manusia, Allah tidak lagi mencipatkan manusia dari tanah. Allah menciptakan manusia baru melalui pasutri. Maka Allah memberkati pria dan wanita: “beranak-cuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Di sini, seperti yang ditegaskan Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes no. 50 bahwa Allah bermaksud menganugerahkan panggilan istimewa kepada manusia yang memilih menikah untuk ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri. Tuhan menjadikan pasutri sebagai rekan kerjaNya (Co-Creator Allah) dalam meneruskan kehidupan baru dari generasi ke generasi. Dari pemahaman ini, pasutri yang memilih childfree juga menolak menjadi “rekan kerja Allah” dalam meneruskan kehidupan baru melalui anugerah kelahiran anak.

Dalam anjuran apostolik Amoris Laetitia (AL), Paus Fransiskus meyakinkan kita tentang pertisipasi manusia dalam Kisah Penciptaan. Ia mengajarkan: “Pencipta menjadikan perempuan dan laki-laki berperan dalam karya penciptaan-Nya, dan pada saat yang sama, menjadikan mereka sarana kasih-Nya, dengan mempercayakan kepada mereka tanggung jawab untuk masa depan umat manusia, melalui penerusan hidup manusia” (AL no. 81).

Dari Kej. 1: 28 dan AL no. 81, itu kita sadar pula bahwa “anak” merupakan anugerah Tuhan (il dono di Dio). Bagi Gereja Katolik, mereka yang bersatu dalam ikatan perkawinan merupakan pria dan perempuan yang menjawab panggilan Tuhan. Oleh karena itu, mereka itu juga dipersatukan oleh Tuhan Allah menjadi satu daging dan hanya kematian yang memisahkan keduanya (bdk. Mat 19: 5-6; kanon 1141). Pada saat yang sama, pasutri mesti bersedia menerima kehendak Allah yang telah mempersatukan mereka dalam perkawinan itu sendiri, termasuk menerima “kelahiran anak” sebagai anugerahNya. Mereka yang memilih childfree berarti menolak anak sebagai anugerah Allah!

2. Perkawinan Tidak Sah?

Tujuan perkawinan merupakan unsur hakiki perkawinan. Hal itu dapat kita baca dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1101 §2. Jika unsur hakiki itu ditiadakan atau ditolak sebelum perkawinan berlangsung, maka perkawinan itu juga sebenarnya tidak ada atau tidak sah (nullum). Dengan kata lain, ketika seseorang sebelum menikah dan diwujudkan setelah menikah bahwa menolak kemungkinan untuk terjadinya kehamilan, menolak kelahiran anak dan menolak untuk memberikan pendidikan kepada anak, maka dia melakukan penolakan terhadap kelahiran anak (exclusio boni prolis). Penolakan kelahiran anak dan sekaligus pendidikan anak mengakibatkan perkawinan tidak sah.

Melihat fenomena childfree ini, maka kita semakin sadar betapa pentingnya katekese keluarga digalakkan di dalam keluarga-keluarga Katolik, paroki-paroki dan berbagai keuskupan. Tujuannya adalah agar umat memahami dan menerima status perkawinan sesuai dengan semangat Kristiani. Selain itu, agar pasutri juga berkembang dalam kesempurnaan (bdk. KHK Kanon 1063). Salah satu semangat Kristiani yang perlu dipelihara dan diwujudkan dalam perkawinan, yakni kelahiran anak yang merupakan kehendak Allah sejak awal mula penciptaan manusia.

3. Tawaran Pencegahan Childfree

Ada beberapa tindakan Gereja Katolik untuk mengantisipasi tidak terjadinya penolakan terhadap kelahiran anak.

Pertama, kursus persiapan perkawinan (KPP). Melalui KPP ini, calon pasutri diberi pemahaman memadai mengenai arti dan tujuan perkawinan Katolik. Selain itu, mereka juga dibekali pengetahuan mengenai moralitas perkawinan. Di sini, Gereja menjelaskan bahwa secara moral Kristiani tidak dapat dibenarkan pemakaian alat-alat kontrasepsi dan tindakan aborsi. Gereja mengajarkan bahwa persetubuhan suami-istri mesti terbuka pada kelahiran baru. Dengan memakai alat-alat kontrasepsi berarti menolak keterarahan pada kelahiran anak. Bahkan, menolak kehidupan (contra vita).

Kedua, pemeriksaan kanonik. Dasarnya adalah Kitab Hukum Kanonik kanon 1066-1067. Secara khusus, kanon 1066 menegaskan: “sebelum perkawinan dirayakan, haruslah nyata bahwa tak satu hal pun menghalangi perayaannya yang sah dan licit” (pantas). Salah satu hal yang mengakibatkan perkawinan tidak sah adalah penolakan terhadap kelahiran anak. Oleh karena itu, jika salah satu atau kedua calon pasutri masih menolak kehamilan, menolak kelahiran anak dan menolak bahwa akan mendidik anak, sebaiknya perayaan perkawinan itu perlu ditunda atau bahkan dibatalkan! Pemeriksaan Kanonik, tidak hanya sarana penyelidikan (investigatio), pemeriksaan (examen) hal-hal yang membuat perkawinan tidak sah, tetapi juga saat yang baik untuk meyakinkan calon pasutri siap memasuki perkawinan suci.

Ketiga, cara-cara pendampingan lain (bdk. kanon 1063). Para petugas pastoral (para uskup, romo, diakon, katekis, frater, suster dan awam lainnya) perlu bahu-membahu memberikan katekese tentang keluarga yang baik, pasustri yang setia, dan perkawinan katolik kepada berbagai generasi: anak-anak, remaja dan orang dewasa (bdk. Familiaris Consortio, no. 66). Tujuannya adalah agar pemahaman mengenai perkawinan dan keluarga ideal sudah tertanam dalam pikiran dan hati mereka sejak dini. Sebab, ada indikasi kuat terjadinya childfree itu oleh karena tidak ada gambaran dan pemahaman yang baik dan memadai mengenai keluarga dan perkawinan.

Demikian jawaban kami atas pertanyaan Anda. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.

*Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral”.

Posted in Hukum Kanonik, Pendidikan Anak, Perkawinan Katolik | Leave a Comment »