BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.506 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Mei 2024
    S S R K J S M
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Archive for the ‘Omelia di Papa Francesco’ Category

Homili Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Doa Pemberian Berkat Urbi et Orbi dan Indulgensi Penuh (Jumat 27 Maret 2020 pkl. 18 Waktu Italia)

Posted by postinus pada Maret 28, 2020


Catatan Pengantar

Dalam doa pemberian Indulgensi dan Berkat Urbi et Orbi, Bapa Paus Fransiskus mendasari homilinya dengan Injil Markus 4: 35-41. Baiklah jika kita membaca Perikop Injil tersebut sebelum kita membaca dan merenungkan homili Bapa Paus.

Markus 4: 35-41: Angin ribut diredakan

4:35 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.” 4:36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 4:37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 4:38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” 4:39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. 4:40 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” 4:41 Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”

IMG20200328004151

Keterangan foto: Bapa Paus Fransiskus, Jumat, 27 Maret 2020, pkl. 18.00 Waktu Italia memimpin adorasi kepada Sakramen Mahakudus, yang kemudian beliau memberkati dunia dengan Sakramen Mahakudus itu. Foto: Pst. Postinus, OSC.  

==========================

Homili Bapa Paus Fransiskus:

“Waktu hari sudah petang” (Markus 4:35). Perikop Injil ini baru saja kita dengar dimulai dengan kata-kata tersebut. Telah berminggu-minggu hingga saat ini tampaknya gelapnya malam telah tiba. Kegelapan tebal telah menyelimuti alun-alun, jalan-jalan, dan kota-kota kita; kegelapan itu telah mengambil alih hidup kita, mengisi segala sesuatu dengan kesunyian yang menulikan dan kehampaan yang menyedihkan, yang menghentikan segala yang dilewatinya; kita merasakannya di udara, kita melihat dalam berbagai gerak orang lain, tatapan mereka menunjukkannya. Kita menemukan diri kita takut dan tersesat. Seperti para murid dalam Injil ini, kita terkaget-kaget oleh badai yang tak terduga dan mengamuk hebat. Kita telah menyadari bahwa kita berada di dalam perahu yang sama, kita semua ternyata rapuh dan mengalami disorientasi, tetapi pada saat yang sama kehadiran kita penting dan dibutuhkan, kita semua dipanggil untuk bersama-sama mendayung perahu, masing-masing dari kita perlu menghibur orang lain. Dalam perahu ini….kita semua berada di dalamnya. Sama seperti para murid, yang berbicara dengan cemas dengan satu suara, berkata: “Kita binasa” (Markus 4: 38), jadi kita juga telah menyadari bahwa kita tidak bisa hanya memikirkan diri kita sendiri, tetapi kita dapat mengatasi badai tersebut hanya ketika kita bersama-sama.

Adalah mudah untuk mengenali diri kita sendiri dalam kisah ini. Sikap Yesuslah yang lebih sulit untuk dipahami. Sementara para muridNya secara alami waspada dan putus asa, Dia malah berdiri di buritan, di bagian kapal yang tenggelam terlebih dahulu. Dan apa yang Dia lakukan? Meskipun terjadi badai, Yesus tidur nyenyak, Ia percaya kepada Bapa; inilah satu-satunya kisah dalam Injil tentang Yesus tidur. Ketika Dia terbangun, setelah menenangkan angin dan danau, Yesus berpaling kepada para murid dengan kata-kata teguran: “Mengapa kamu begitu takut? Apakah kamu tidak memiliki iman?” (Markus 4: 40).

IMG20200328000541

Keterangan foto: Bapa Paus Fransiskus, Jumat, 27 Maret 2020, sedang menyampaikan homilinya yang begitu menguatkan umat Kristiani di seluruh dunia. 

Marilah kita coba mengerti. Dalam hal apa para murid kekurangan iman, sehingga berbeda dengan iman Yesus? Sebenarnya mereka tidak berhenti percaya kepadaNya, malah mereka memanggil-Nya. Akan tetapi kita melihat bagaimana cara mereka memanggilNya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (Markus 4: 38). Apakah Engkau tidak peduli: mereka berpikir bahwa Yesus tidak tertarik pada mereka, tidak peduli terhadap mereka. Salah satu dari banyak hal yang paling melukai kita dan keluarga kita ketika kita mendengar kata ini: “Apakah Engkau tidak peduli kepadaku?” Kata-kata itu merupakan kalimat yang melukai dan melepaskan badai di hati kita. Kalimat itu pula yang menggoncang Yesus. Sebab Dia peduli pada kita, lebih dari siapa pun. Sesungguhnya, begitu para murid memanggil-Nya, Yesus menyelamatkan murid-muridNya itu dari keputusasaan mereka.

Badai menyingkap kerentanan kita dan membuka kedok semua kekeliruan dan hal-hal tak berguna di mana kita telah membangun jadwal harian kita, proyek-proyek kita, kebiasaan-kebiasaan dan berbagai prioritas kita. Ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita telah membiarkan menjadi tumpul dan lemah hal-hal yang penting untuk memelihara, menjaga, dan menguatkan hidup kita dan masyarakat. Badai ini menelanjangi semua ide yang sudah kita kemas dan membuat kita lupa tentang hal apa yang memelihara jiwa orang-orang kita; semua upaya yang membius kita dengan cara berpikir dan bertindak yang seharusnya “menyelamatkan” kita, yang terjadi justru sebaliknya membuktikan ketidakmampuan menghubungkan kita dengan akar kehidupan kita dan menjaga ingatan kita tetap hidup terhadap mereka yang telah mendahului kita. Kita menghilangkan antibodi (daya tahan) yang dibutuhkan untuk menghadapi kesulitan kita.

Dalam badai ini, sebenarnya telah terbuang wajah dari berbagai stereotip yang dengannya kita menyamarkan eg-ego kita, yang selalu mengkhawatirkan citra kita, dan sekali lagi mengungkapkan bahwa (hal terberkati) adalah keanggotaan bersama, yang mana tidak dapat dihilangkan oleh kita: keanggotaan (kepemilikan) kita sebagai saudara dan saudari.

“Mengapa kamu begitu takut? Apakah engkau tidak memiliki iman?” Tuhan, SabdaMu yang kami dengar malam ini memecut kami dan mengarah kepada kami, kami semua. Di dalam dunia ini, yang Engkau cintai lebih daripada apa yang kami lakukan, kami terlalu maju dengan sangat cepat, merasa kuat dan mampu melakukan apa saja. Oleh sebab tamak demi keuntungan diri, kami membiarkan diri kami terperangkap dalam berbagai hal, dan dengan tergesa-gesa mudah terpikat oleh berbagai hal itu. Kami tidak berhenti saat Engkau menegur kami, kami tidak terperanjat bangun oleh perang atau ketidakadilan di seluruh dunia, kami juga tidak mendengarkan rintihan orang miskin atau planet kami yang sakit. Kami terus melanjutkan, kami berpikir bahwa kami akan tetap sehat di dunia yang sakit ini. Sekarang kami berada di lautan badai, kami mohon kepadaMu: “Bangunlah, Tuhan!”.

“Mengapa kamu begitu takut? Apakah engkau tidak memiliki iman?” Tuhan, Engkau memanggil kami, memanggil kami untuk beriman. Kami yang kurang beriman bahwa Engkau ada, kemudian datang kepadaMu dan percaya padaMu. Dalam masa Prapaskah ini seruanMu bergema dengan mendesak: “Bertobatlah!”, “Kembalilah kepadaKu dengan sepenuh hati” (Yoel 2:12)”. Tuhan, Engkau memanggil kami untuk menggunakan waktu percobaan ini sebagai waktu untuk memilih. Ini bukan waktu penghakimanMu, tetapi waktu penghakiman kami: waktu kami untuk memilih apa yang penting dan apa yang perlu ditinggalkan, waktu untuk memisahkan apa yang perlu dari yang tidak. Ini adalah waktu untuk mengembalikan hidup kami ke jalur yang  berkenan padaMu, Tuhan, dan dengan orang lain. Kita dapat melihat begitu banyak teman sebagai teladan dalam perjalanan, yang, meskipun takut, telah bertindak dengan memberikan hidup mereka. Ini adalah kekuatan Roh yang dicurahkan dan dibentuk dalam penyangkalan diri yang berani dan murah hati. Inilah kehidupan dalam Roh yang dapat menebus, menghargai, dan menunjukkan bagaimana kehidupan kita terjalin bersama dan didukung oleh orang-orang biasa – yang sering dilupakan banya orang – yang tidak muncul dalam berita utama surat kabar dan majalah atau di panggung besar pertunjukan paling anyar, tetapi mereka yang tanpa keraguan pada hari-hari ini menuliskan peristiwa-peristiwa penting dalam zaman kita: para dokter, perawat, karyawan supermarket, petugas kebersihan, pengasuh, penyedia transportasi, penegak hukum, sukarelawan, pastor/imam, para religius laki-laki maupun perempuan, dan banyak lagi lainnya yang telah mengerti bahwa tidak seorang pun dapat mencapai keselamatan hanya dengan diri sendiri. Dalam wajah yang menghadapi begitu banyak penderitaan, di mana perkembangan otentik dari bangsa kami yang terbebani, kita mengalami doa imami Yesus: “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yohanes 17:21). Berapa banyak orang setiap hari yang berlatih dalam kesabaran dan menawarkan harapan, berusaha untuk tidak menabur kepanikan melainkan berbagi tanggung jawab. Sudah berapa banyak ayah, ibu, kakek, nenek, dan guru yang menunjukkan kepada anak-anak kita, dalam gerakan kecil sehari-hari, bagaimana menghadapi dan mengatasi krisis dengan menyesuaikan rutinitas mereka, melayangkan pandangan mereka dan menguatkan hidup dalam doa. Berapa banyak mereka yang berdoa, mempersembahkan diri dan menjadi perantara untuk kebaikan bagi semua. Doa dan pelayanan yang tenang: ini adalah senjata kemenangan kita.

“Mengapa kamu begitu takut? Apakah engkau tidak memiliki iman?” Iman dimulai ketika kita menyadari bahwa kita membutuhkan keselamatan. Kita tidak mandiri, tidak bisa sendirian; jika hanya diri kita sendiri (perahu) kita tenggelam: kita membutuhkan Tuhan, bagaikan navigator kuno yang membutuhkan bintang-bintang. Marilah kita mengundang Yesus ke dalam perahu kehidupan kita. Mari kita serahkan ketakutan kita kepadaNya sehingga Dia bisa menaklukkan berbagai ketakutan itu. Seperti para murid, kita akan mengalami bahwa bersama Yesus di atas perahu, perahu kita tidak akan karam. Sebab inilah kekuatan Tuhan Allah: mengubah segala sesuatu yang terjadi pada kita menjadi hal yang baik, bahkan sekalipun hal yang buruk. Dia membawa kedamaian dalam badai hidup kita, karena bersama Tuhan hidup tidak pernah mati.

 Tuhan Allah meminta kita dan, di tengah-tengah badai kita, Ia mengundang kita untuk bangun kembali dan mengaktifkan solidaritas dalam tindakan nyata dan harapan yang mampu memberikan soliditas/kekuatan, dukungan, dan makna pada saat-saat ini ketika segala sesuatu tampaknya karam. Tuhan bangun untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali iman Paskah kami. Kita memiliki jangkar: melalui salibNya kita telah diselamatkan. Kita memiliki kemudi: melalui salibNya kita telah ditebus. Kita memiliki harapan: melalui salibNya kita telah disembuhkan dan dipeluk sehingga tidak ada hal apapun dan tidak seorang pun dapat memisahkan kita dari cinta penebusanNya. Di tengah keterasingan ketika kita menderita karena kurangnya kasih sayang dan perjumpaan, dan kita mengalami kehilangan terhadap berbagai hal, marilah kita sekali lagi mendengarkan pernyataan yang menyelamatkan kita: Dia bangkit dan hidup di samping kita. Tuhan menantang kita dari salibNya untuk menemukan kembali kehidupan yang menanti kita, untuk memandang mereka yang melihat kita, untuk menguatkan, mengenali dan memelihara rahmat yang hidup di dalam diri kita. Marlah kita tidak memadamkan nyala api yang pudar nyalanya (lih. Yes 42: 3) yang tidak pernah goyah, dan marilah kita membiarkan harapan hidup kembali.

 Merangkul salibnya berarti menemukan keberanian untuk merangkul semua kontradiksi sekarang ini, meninggalkan sejenak kecemasan kita tentang kekuasaan dan kepemilikan harta untuk memberi ruang pada kreativitas yang hanya dapat ditimbulkan oleh Roh. Itu berarti menemukan keberanian untuk membuka ruang di mana semua orang dapat merasa terpanggil dan membiarkan bentuk-bentuk baru keramahan, persaudaraan, dan solidaritas. Dalam salib-Nya kita telah diselamatkan untuk menyambut harapan dan membiarkan salibNya itu menguatkan dan mendukung semua langkah dan cara yang memungkinkan untuk dapat membantu menjaga diri kita dan orang lain aman serta terjamin. Merangkul Tuhan berarti merangkul harapan: itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari rasa takut dan yang memberi kita harapan.

“Mengapa kamu begitu takut? Apakah engkau tidak memiliki iman?” Saudara-saudari yang terkasih, dari tempat ini, yang menceritakan tentang iman Santo Petrus begitu kuat, malam ini, saya hendak mempercayakan Anda semua kepada Tuhan, demi kesehatan umat manusia, melalui perantaraan Bunda Maria dan sang Bintang Laut yang bergelora. Dari barisan tiang pilar (Basilika St. Petrus) yang merangkul Roma dan seluruh dunia ini, berkat Tuhan turun atas kalian bagaikan pelukan penghiburan. Tuhan, berkatilah dunia, berikanlah kesehatan bagi tubuh kami dan hiburlah hati kami. Engkau meminta kami untuk tidak takut. Namun iman kami lemah dan kami takut. Akan tetapi, Engkau, Tuhan, janganlah tinggalkan kami di bawah kuasa badai. Katakan lagi kepada kami: “Janganlah kamu takut” (Mat 28: 5). Dan kami, bersama-sama dengan Petrus, “kami menyerahkan segala kekuatiran kami padaMu, sebab Engkaulah yang memelihara kami” (bdk. 1 Pet 5: 7).

==========================================================================

Homili Bapa Paus Fransiskus ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari sumber resmi Vatikan:

https://www.vaticannews.va/it/papa/news/2020-03/papa-francesco-omelia-testo-integrale-preghiera-pandemia.html

http://w2.vatican.va/content/francesco/it/homilies/2020/documents/papa-francesco_20200327_omelia-epidemia.html

kami juga membaca versi Bahasa Inggrisnya:

https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2020-03/urbi-et-orbi-pope-coronavirus-prayer-blessing.html

Posted in Omelia di Papa Francesco, Pope Francis, RENUNGAN, Urbi et Orbi di Papa Francesco | 5 Comments »