BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 267.958 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Mei 2020
    S S R K J S M
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    25262728293031

Menjauhi Bahaya Meninggalkan Iman Katolik

Posted by postinus pada Mei 23, 2020


Oleh Pastor Postinus Gulö, OSC

Pertanyaan

Pastor, saya LS, seorang perempuan beragama Protestan dan pacar saya seorang pemuda Katolik. Kami berdua pernah berbeda pendapat mengenai ajaran perkawinan. Bahkan, saya pernah minta putus saja. Saya pernah mendapat pernyataan dari pacar saya bahwa kalau terjadi perkawinan campur antara Katolik dengan Protestan, maka pacar saya tersebut harus berjanji menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik, diharuskan membaptis, mendidik atau membesarkan anak secara Katolik. Yang saya ingin tanyakan mengapa harus demikian, apakah jika membesarkan anak secara Prostestan tidak sah di hadapan Allah Bapa Tuhan Yesus Kita? Apakah Katolik tidak percaya pada ajaran Protestan mengenai perkawinan? Terima kasih Pastor.

LS (nama sengaja hanya ditulis inisial)

Jawaban

Saudari LS yang baik, terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan kepada saya melalui direct message akun Twitter. Setiap agama memiliki ajaran masing-masing mengenai perkawinan. Ajaran Katolik mengenai perkawinan memiliki dasar, yakni Kitab Suci, Hukum Gereja yang disebut Kitab Hukum Kanonik (KHK) dan Katekismus Gereja Katolik (KGK) serta berbagai dokumen Gereja lainnya yang dikeluarkan otoritas Gereja Katolik. Ketika terjadi perkawinan campur beda Gereja, maka yang perlu diperhatikan adalah kedua calon mempelai dan pihak-pihak terkait dipanggil untuk saling menghargai keyakinan berdasarkan ajaran gereja masing-masing. Agama yang dianut jangan dijadikan penyebab masalah, tetapi jadikanlah sebagai sumber kebijaksanaan dalam bertindak dan memutuskan serta memilih panggilan hidup, seperti panggilan untuk menikah.

Baiklah saya menjawab pertanyaan Anda dengan fokus pada dua pertanyaan: Pertama, mengapa pihak Katolik harus menyatakan menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik, membaptis, mendidik/membesarkan anak secara Katolik? Kedua, Apakah Katolik tidak percaya pada ajaran Protestan mengenai perkawinan?

1. Kesetiaan Memeluk Iman Katolik

Pertanyaan pertama Anda tersebut menyangkut tanggung jawab spiritual, moral dan pastoral dari Gereja Katolik untuk memelihara iman umatnya agar tetap memeluk iman dan agama Katolik. Penegasan itu bisa kita baca, antara lain, di dalam Kitab Hukum Kanonik 1983.  Apa yang tertulis di sana? Mari kita lihat. KHK Kanon 748 §1 menegaskan: “Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum Ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal”.

Di dalam KHK Kanon 750, umat Katolik diminta untuk setia mengimani semua yang terkandung dalam Sabda Allah, Tradisi iman yang dihidupi dan dipercayakan kepada Gereja dan semua ajaran resmi Gereja (Magisterium). Semua ajaran iman dan moral Katolik harus dipeluk dan dipertahankan, dijaga tanpa cela dan diterangkan kepada siapapun. Sikap iman yang perlu disadari oleh setiap umat Katolik adalah ajaran yang terkandung dalam KHK Kanon 752: tindakan yang harus diberikan dalam menjalankan ajaran iman dan moral adalah ketaatan religius dari budi dan kehendak dan bukan persetujuan iman.

IMG-20181018-WA0007

Keterangan: Pemberkatan Perkawinan Munieli Gulo dan Liria Waruwu (5/10/2018) di Gereja Katolik  Stasi St. Fransiskus Dangagari, Nias Barat (foto: Roswita Gulo). 

Menurut Gereja Katolik sebagaimana ditegaskan dalam KHK Kanon 1124, perkawinan campur antara dua orang dibaptis, yang satu dibaptis Katolik dan yang lain dibaptis dalam Gereja yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik (Protestan), DILARANG tanpa izin dari otoritas yang berwenang: Uskup Diosesan atau yang setara dengannya atau Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal. Alasan pelarangan perkawinan campur itu tertulis juga di dalam Katekismus Gereja Katolik no.1634: “Pandangan yang berbeda-beda mengenai iman dan juga mengenai perkawinan, tetapi juga sikap semangat religius yang berbeda-beda, dapat menimbulkan ketegangan dalam perkawinan, terutama dalam hubungan dengan pendidikan anak-anak. Lalu dapat timbul bahaya untuk menjadi acuh tak acuh terhadap agama”. Gereja Katolik sebelum berlangsungnya perkawinan menyadarkan umatnya bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah pendidikan anak secara Katolik, termasuk terjaminnya baptisan anak-anak secara Katolik.

Tentu saja izin atas perkawinan campur beda gereja dapat diberikan oleh Uskup Diosesan atau Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal. Alasan yang wajar dan masuk akal itu, yakni pihak Katolik (dan tentu diketahui dan disetujui pihak Protestan) mampu memenuhi janji sebagaimana dinyatakan dalam KHK Kanon 1125: (a) pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik; (b) Pihak Katolik memberikan janji dengan jujur bahwa ia sekuat tenaga agar semua anak dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik; (c) kewajiban dan janji yang dibuat pihak Katolik tersebut diberitahu kepada pihak bukan Katolik; (d) kedua calon mempelai diberi penjelasan mengenai tujuan dan ciri-ciri esensial perkawinan.

Setelah dilangsungkan perkawinan campur, maka masih ada tanggung jawab para gembala jiwa (Pastor dan Uskup) untuk mengusahakan agar pasangan yang Katolik dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur tidak kekurangan bantuan spiritual (bdk. KHK Kanon 1128). Tidak hanya itu, para gembala jiwa itu pula mesti mengusahakan agar pasutri yang melangsungkan perkawinan campur, tetap setia memenuhi kewajiban-kewajiban mereka terkait kesatuan hidup perkawinan dan keluarga, pembaptisan dan pendidikan anak secara Katolik.

Jika Anda berdua melanjutkan relasi pacaran Anda pada jenjang perkawinan, maka Anda berdua perlu mengikuti persiapan perkawinan yang ditawarkan oleh Paroki atau Keuskupan. Maka, pihak Katolik hendaknya mengomunikasikan kepada Pastor Paroki mengenai rencana dan persiapan perkawinan tersebut dalam waktu yang cukup. Dalam masa persiapan perkawinan itu, hal utama yang tidak boleh terlewatkan adalah kedua mempelai mesti memahami, menerima dan akan mewujudkan tujuan perkawinan dan ciri-ciri esensial hakiki perkawinan. Ada tiga tujuan perkawinan, yakni: kebaikan suami-istri, keterbukaan pada kelahiran anak dan pendidiakn anak (KHK Kanon 1055 §1; Familiaris Consortio, no. 78). Tentu saja, Gereja meminta umat Katolik untuk memahami dengan sikap iman dan ketaatan budi serta kehendak mengenai tujuan perkawinan Katolik tersebut.

Ciri-ciri esensial hakiki perkawinan memiliki dasar ajaran, yakni KHK Kanon 1056: unitas dan indissolubilitas. Unitas berarti kesatuan mesra suami dan istri menjadi satu daging: sejiwa seraga. Dalam Gaudium et Spes (GS) ditegaskan bahwa “Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu” (GS 48).

Selain itu, melalui unitas, gereja menegaskan bahwa perkawinan Katolik bersifat monogami: antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dengan demikian, Gereja menolak perkawinan poligami. Sedangkan indissolubilitas, yakni sifat tak-dapat diputuskan.

Melalui ajaran indissolubilitas, gereja mengajarkan bahwa sekali perkawinan dilangsungkan dengan sah memiliki efek tetap dan eksklusif. Efek tetap, dalam arti, ikatan perkawinan berlangsung seluruh hidup dan hanya berakhir pada kematian (Mat. 19: 6). Makna dari efek eksklusif, yakni ikatan perkawinan terjadi hanya antara suami dan istri. Dalam arti, suami-istri setia kepada pasangannya, di mana dan kapan pun. Suami-istri tidak selingkuh: bagi istri tidak ada lagi pria idaman selain suaminya; begitu juga suami, tidak ada lagi perempuan idaman selain istrinya.

2. Sakramentalitas Perkawinan

Pada bagian ini saya menjawab pertanyaan kedua Anda. Perlu diketahui bahwa antara Katolik dengan Protestan sangat berbeda mengenai ajaran perkawinan. Dalam jawaban saya ini, saya hanya menyebut dua contoh perbedaan ajaran, yakni seputar sakramen dan perceraian sipil.

Pertama, ajaran mengenai sakramen perkawinan. Bagi Katolik perkawinan merupakan sakramen. Sementara Protestan tidak mengakui dan tidak mengajarkan perkawinan sebagai sakramen. Katolik meyakini dan mengajarkan bahwa Kristus mengangkat perkawinan antara orang-orang yang dibaptis ke martabat sakramen (KHK Kanon 1055; bdk. Kanon 1056; GS 48).

Sakramen berarti tanda dan sarana keselamatan Allah. Sakramen menjadi sarana di mana Tuhan Allah menyatakan karya keselamatanNya kepada manusia; melalui dan dalam sakramen, manusia yang percaya kepadaNya mengalami karya keselamatanNya itu.

Dari pengertian sakramen sebagai “tanda dan sarana keselamatan Allah”, berarti dalam dan melalui perkawinan, Tuhan Allah menyatakan keselamatanNya. Tidak hanya itu, Gereja Katolik meyakini dan mengajarkan bahwa Tuhan Allah sendirilah yang mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi suami-istri (Mat. 19:6). Kesatuan suami-istri tersebut tak terceraikan (Mark 10: 2–12; Luk 16:18; 1 Kor 7: 3-10; Ef 5:22-32) karena menggambarkan persatuan Kristus dengan GerejaNya sebagai Tubuh MistikNya (1 Kor 12:12-31).

Sementara Gereja-gereja Protestan mengajarkan bahwa perkawinan hanya sebagai suatu ritus dan bukan sakramen. Bahkan dalam Book of Common Prayer, ajaran Gereja Protestan ditulis dengan jelas: “Ada dua Sakramen yang ditetapkan oleh Kritus Tuhan kita, yakni Baptis dan Perjamuan Tuhan. Sementara kelima yang biasa disebut Sakramen itu, yaitu, Konfirmasi, Tobat, Tahbisan, Perkawinan, Pengurapan Orang Sakit merupakan ajaran yang telah tumbuh dari sebagian pengikut para Rasul yang telah rusak, maka tidak dapat diperhitungkan sebagai Sakramen berdasarkan Injil” (Gregory Michael Howe, Book of Common Prayer: 2007, p. 872).

Kedua, seputar perceraian sipil. Gereja Katolik mengakui bahwa perkawinan terikat dengan undang-undang suatu Negara, atau dilakukan juga antarmanusia/antarwarga Negara. Walaupun demikian, bagi Katolik, manusia – termasuk Negara – tidak punya kuasa untuk menceraikan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan yang sah (ratum), telah disempurnakan dengan persetubuhan (consumatum), dan karena keduanya dibaptis telah diangkat ke martabat sakramen (sacramentum)

Katolik tidak pernah memperbolehkan perceraian dan tidak mengakui perceraian sipil yang diputusakan Pengadilan Negeri. Dalam Katekismus Gereja Katolik (no. 2382-2386), Gereja Katolik meyakini dan mengajarkan bahwa Yesus yang menegaskan tujuan asli dari Pencipta bahwa Ia menghendaki perkawinan itu tak terceraikan.

Sementara dalam ajaran Gereja-Gereja Protestan, walaupun ada konsep tidak boleh bercerai, tetapi ternyata mengakui dan menerima perceraian yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri.

Dalam buku Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen yang ditulis Simon dan Christopher Danes, dinyatakan demikian: “Bermacam-macam denominasi Kristen telah mengambil cara-cara berbeda dalam menghadapi masalah tersebut (perceraian sipil). Secara keseluruhan, Gereja-Gereja Protestan mengambil sikap bahwa ajaran Yesus merupakan cita-cita yang harus diperjuangkan oleh pasangan nikah, tetapi sayangnya masalah-masalah yang dihadapi oleh berbeda pasangan menyebabkan perkawinan mereka dapat dan benar-benar berakhir. Dalam hal-hal seperti ini Gereja-Gereja Protestan menerima perceraian sipil sebagai akhir perkawinan. Seorang yang bercerai biasanya boleh menikah lagi di Gereja Protestan, bahkan seandainya mantan pasangannya masih hidup” (Simon & C. Danes: Kanisius 2000, hlm. 63-64).

Melihat paparan di atas, maka saran saya adalah silakan kalian berdua berbicara dengan tulus, terbuka dan dewasa. Kalian berdua perlu merenungkan: iman itu sangat penting dalam hidup umat beriman. Maka, jangan sampai iman menjadi nomor dua saat menghadapi perkawinan. Sepakati bersama-sama apakah punya komitmen membaptis dan mendidik anak secara Katolik dan apakah pihak Katolik tetap setia memeluk iman Katolik.

Pikirkan matang-matang juga apakah ke depan Anda berdua tidak menghadapi tantangan dan hambatan mengenai janji-janji dalam KHK Kanon 1125 itu. Itu saja pendapat saya. Tuhan memberkati!

 

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah lulusan Hukum Gereja di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma. Sejak Agustus 2019 menjadi anggota Tribunal Keuskupan Bandung, khususnya sebagai Defensor Vinculi (Pembela Ikatan Perkawinan). 

 

Satu Tanggapan to “Menjauhi Bahaya Meninggalkan Iman Katolik”

  1. Indah said

    ndruruindahmegawati@gmail.com

Tinggalkan komentar