BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.507 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Oktober 2010
    S S R K J S M
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    25262728293031

Tanggapan Gereja Katolik Terhadap Teknologi Kontrasepsi dan Teknologi Reproduksi

Posted by postinus pada Oktober 5, 2010


Oleh Postinus Gulö

 1. Pengantar

Dahsyat dan mencengangkan! Itulah kata yang cocok untuk melukiskan bagaimana manusia merekayasa proses kehidupan. Pada zaman ini sudah begitu gencar perkembangan kecanggihan teknologi kontrasepsi dan reproduksi. Akan tetapi, teknologi tersebut telah menampilkan dua wajah: memberi solusi sekaligus berpotensi manipulatif. Hasil penemuan tersebut dipandang positif dan menawarkan solusi jika dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan fungsi normal dan alami proses prokreasi manusia. Akan tetapi, teknologi itu dipandang negatif-manipulatif jika digunakan untuk menghancurkan dan mengobjekkan manusia atau dipakai untuk tindakan yang berlawanan dengan kebaikan integral umat manusia.[1] Realitas menunjukkan bahwa para ahli biomedis milenium ketiga ini bisa melakukan intervensi-determinatif terhadap siklus alami biologis. Para ilmuwan biomedis mampu mengintervensi, mencegah, dan memanipulasi proses terjadinya pembuahan.

Kemajuan teknologi sekarang memungkinkan manusia untuk berkembang biak terpisah dari seksual sesuatu yang tidak bisa diterima secara moral. Umat Allah perlu mengingat bahwa apa yang mungkin secara teknologi belum tentu dapat diterima dalam moral Katolik.[2] Paus Yohanes Paulus II pernah menyadarkan umat Allah agar jangan terjebak dalam lingkaran sikap permissif (memperbolehkan segalanya) yang bertentangan dengan hakekat perkawinan dan keluarga.[3]

Dalam paper ini, penulis[4] akan membentangkan deskripsi-analitik mengenai tanggapan moral Gereja Katolik terhadap teknologi kontrasepsi dan teknologi reproduksi itu. Namun sebelumnya, penulis berusaha untuk mendeskripsikan teknologi kontrasepsi dan teknologi reproduksi. Penulis berusaha menganalisis alasan-alasan penggunaan alat-alat kontrasepsi dan teknologi reproduksi serta persoalan-persoalan yang muncul dari kecanggihan teknologi tersebut. Berdasarkan deskripsi dan analisis inilah penulis mengeksplorasi penilaian moral atas masalah berdasarkan dokumen Gereja. Di bagian akhir paper ini, penulis berusaha menjabarkan tawaran solusi berdasarkan ajaran Gereja. Selamat membaca!

2. Teknologi Kontrasepsi

Kontrasepsi adalah suatu tindakan mencegah terjadinya pembuahan (konsepsi). Alat kontrasepsi bisa mengacaukan siklus dan masa reproduksi pada wanita dan pria.  Ada beberapa cara mencegah terjadinya pembuahan, antara lain:

Pertama dengan memakai kontrasepsi. Ada kontrasepsi mekanik seperti kondom (pria), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR atau IUD), diafragma atau kap seviks yang dipasang dalam vagina, Spermisida (jelly, krim dan pasta atau tablet berbusa) yang dipasang dalam vagina saat senggama. Ada juga alat kontrasepsi hormonal seperti pil, suntikan, dan susuk.[5] Kontrasepsi hormonal menggunakan hormon dari progesteron sampai kombinasi estrogen dan progesteron. Alat kontrasepsi berupa pil sangat berbahaya bagi kesehatan wanita yang mempunyai tekanan darah tinggi, gangguan sirkulasi darah, varises, dan pendarahan melalui vagina. Efek dari kontrasepsi hormonal yang berkomponen estrogen adalah mudah tersinggung dan tegang, berat badan bertambah, menimbulkan nyeri kepala, perdarahan banyak saat menstruasi. Sedangkan yang berkomponen progesteron mengakibatkan payudara tegang, menstruasi berkurang, kaki dan tangan sering kram, dan liang senggama kering.[6]

 

Kedua, coitus interuptus (sanggama terputus). Menurut Pastor CB Kusmaryanto, SCJ tindakan ini bisa disebut metode kontrasepsi. Sebab saat melakukan persetubuhan sperma dibuang keluar bukan di dalam vagina. Akibatnya, tidak terjadi pembuahan.[7]

 

Ketiga, mengakhiri kesuburan pada wanita dan pria. Pada wanita dilakukan dengan mengikat atau memotong sel telur (tubektomi). Sedangkan pada pria, dilakukan dengan memotong saluran mani yang terdapat pada kantung pelir (vasektomi). [8]

Ada beberapa alasan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Pertama, alasan ekonomis. Hal ini tampak dalam tujuan program Keluarga Berencana di Indonesia. Ada beberapa tujuan program KB antara lain: (1) untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga; (2) untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; (3) untuk memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa; (4) untuk mengurangi ledakan penduduk demi menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa.[9]

 

Kedua, alasan psikologis dan etis. Terutama pada saat pacaran. Hamil diluar nikah adalah aib dan melanggar norma kesusilaan. Ketiga, alasan kesehatan terutama untuk menghindari penularan penyakit kelamin dan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Keempat, alasan gaya hidup. Ada yang tidak mau hamil karena setelah melahirkan yang bersangkutan merasa tidak cantik lagi, tubuhnya melar, tidak seksi. Kelima, alasan kerja. Ada perusahaan swasta tertentu yang mensyaratkan karyawannya untuk tidak menikah sebelum habis masa kontrak kerja. Konsekuensinya, kalau yang bersangkutan hamil maka ia kehilangan pekerjaannya. Ada juga karyawan yang tidak mau punya anak karena mengganggu dia untuk bekerja.

3. Teknologi Reproduksi

Teknologi reproduksi adalah ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk menghasilkan suatu keturunan.[10]  Ada beberapa teknologi reproduki, antara lain:

PertamaIn Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET). Teknologi IVF membuahkan kehidupan baru dalam sebuah cawan kaca. Anak-anak yang dibuahkan melalui teknologi ini lebih dikenal sebagai bayi tabung. Cara membuahi bayi tabung sangat teknis. Beberapa telur diambil dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas yang mengakibatkan matangnya banyak telur dalam waktu bersamaan. Sperma diambil dari laki-laki, bisa melalui masturbasi atau dengan cara lain. Telur dan sperma tersebut disatukan dalam sebuah cawan kaca. Di sinilah terjadi pembuahan dan kehidupan baru dibiarkan berkembang selama beberapa hari. Dalam IVF, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk pada kontrol kualitas (quality control) dan apabila anak tersebut cacat bisa saja dibinasakan.[11] Artinya, anak-anak dibuahkan dalam “rahim laboratorium” bukan dalam rahim ibu. Cara lain yang sangat terkenal adalah ET. Dalam proses ET, embrio-embrio ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa salah satu akan bertahan hidup dan berkembang hingga saat persalinan.

Kedua, teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination /AI”. Dalam teknik ini, sperma disuntikkan ke dalam atau ke dekat leher rahim sang wanita. Artinya, seorang gadis tanpa berhubungan badan dengan pria bisa mengandung dan melahirkan. Dengan semakin majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma tersebut ke dalam larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank alias bank sperma. Dengan adanya bank sperma ini banyak hal memang bisa tertolong. Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang istri yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja “stock” sperma sang suami tersebut di bank sperma.[12] Akan tetapi kita mesti sadari bahwa kecanggihan teknologi semacam ini tidak serta-merta diperbolehkan oleh Gereja Katolik karena bertentangan dengan prinsip moralitas.[13] Sudah bisa dibayangkan, anak lahir bukan lagi dalam rahim manusia tetapi dalam rahim laboratorium!

Ketiga, Teknologi Kloning. “Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti “cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan bukan lagi sperma tetapi cukup sel somatik (badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel somatik (badan) yang mengandung semua kode genetika organisme dari mana ia diambil. Boleh jadi organisme (individu) yang dipilih justru bukan manusia. Pada kloning manusia, telur wanita diambil terlebih dahulu sebelum kloning dilakukan. Kemudian, inti telur wanita dihancurkan dengan zat kimia atau laser dan kemudian “dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur yang telah dibuahi itu lalu dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang seperti pembuahan biasa. Jika berhasil, hasil kloning persis sama dengan individu atau organisme yang diambil sel somatiknya itu.[14]

Ada beberapa alasan pengembangan dan penggunaan teknologi reproduksi. Pertama, untuk mendapatkan keturunan terutama bagi pasutri yang mandul. Kedua, untuk mendapatkan keturunan yang super cerdas atau sesuai keinginan orangtua atau agar keinginan orangtua memilih genetik anak-anak yang akan mereka lahirkan terpenuhi.[15] Ketiga, untuk memperpanjang hidup manusia. Keempat, untuk mendapatkan anak walaupun secara alami sudah menopause. Apakah alasan-alasan ini diterima Gereja Katolik? Marilah kita lihat berikut ini.

4. Pandangan dan Tanggapan Gereja Katolik

  1. Tanggapan terhadap Teknologi Kontrasepsi

 

Dalam Humanae Vitae  (HV)[16] sebagaimana diungkap oleh Charles E. Curran, pemakaian metode kontrasepsi merupakan tindakan yang haram (illicit).[17] Ensiklik Humanae Vitae melarang segala macam bentuk kontrasepsi. Argumen pokoknya ialah bahwa setiap persetubuhan harus tetap terbuka kepada adanya kehidupan baru.[18] Ajaran HV ini berdasarkan pada kehendak Allah yang menghendaki supaya makna hubungan seksual yang menyatukan (unitif), relasional (saling menyerahkan diri) dan terbuka pada keturunan (prokreatif) tidak dipisahkan.[19] Manusia dari inisiatifnya sendiri tidak bisa memisahkan ketiga makna hubungan seksual itu sebab hukum itu sudah terlukis di dalam diri setiap pria dan wanita. Ketiga sifat hubungan seksual itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena hubungan seksual adalah bahasa tubuh untuk mengungkapkan cinta kasih antara suami istri. Cinta suami istri itu bukan hanya cinta badan dan juga bukan hanya cinta rohani, tetapi cinta manusia seutuhnya (total) yang melibatkan diri manusia di mana jiwa membadan dan badan menjiwa dalam kesatuan utuh yang tak terpisahkan.[20] Kontrasepsi dengan sengaja memisahkan makna hubungan seksual yang unitif, relasional dan prokreatif. Ensiklik Humanae Vitae menegaskan bahwa pengendalian kelahiran dengan alasan untuk mengatur jarak kelahiran merupakan tidakan yang tidak dapat diterima.[21]

Pastor DR. CB. Kusmaryanto, SCJ mengutip HV yang menyatakan: “Penghentian langsung proses generatif yang sudah dimulai dan lebih-lebih aborsi yang secara langsung dikehendaki dan dijalankan, juga jika untuk alasan terapi, benar-benar tidak bisa digolongkan sebagai alat yang sah untuk mengatur kelahiran. Demikian pula sterilisasi langsung (pengakhiri kesuburan), baik sementara atau permanen, baik terhadap laki-laki atau perempuan. Demikan pula setiap perbuatan baik sebelum atau dalam pelaksanaan hubungan seksual atau dalam perkembangan konsekuensi naturalnya, yang menjadikan prokreasi tidak mungkin, entah sebagai tujuan maupun caranya tidak bisa diklaim sebagai cara yang sah.”[22]

Pokoknya, mencegah terjadinya kelahiran anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran moral Katolik.[23] Gereja berpegang teguh pada prinsip bahwa persetubuhan (consumatum) antara suami-istri yang sah pada dirinya sendiri terbuka untuk kelahiran anak.[24] Kontrasepsi merupakan tindakan sengaja menghalangi keterbukaan suami-istri untuk kelahiran anak. Oleh karena itulah, kontrasepsi melanggar prinsip perkawinan Katolik. Penegasan semacam ini tampak dalam pernyataan Donum Vitae:

“Contraception deliberately deprives the conjugal act of its openness to procreation and in this way brings about a voluntary dissociation of the ends of marriage. Homologous artificial fertilization, in seeking a procreation which is not the fruit of a specific act of conjugal union, objectively effects an analogous separation between the goods and the meanings of marriage.”[25]

Pemakaian alat-alat kontrasepsi telah merendahkan martabat luhur dari tindakan seksualitas suami istri itu sendiri. Paus Yohanes Paulus II dalam Sinode para Uskup Oktober 1980 pernah mengeluarkan Himbauan Apostolik Familiaris Consortio (FC) yang memberi pelajaran berharga mengenai seksualitas suami istri. Dalam dokumen ini Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa seksualitas pria-wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami istri. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi bila merupakan suatu unsur  integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup.[26]

Dalam dokumen Donum Vitae, Kongregasi Doktrin Iman menegaskan kembali  apa yang pernah ditulis di dalam Konstitusi Pastoral Gadium et Spes (GS) bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi  mesti menghormati kriteria dasar moralitas tanpa syarat yakni harus melayani pribadi manusia, hak-hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable) dan kebenaran dan kebaikan integral sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Hal ini tampak dalam pernyataan Donum Vitae berikut:

Thus science and technology require, for their own intrinsic meaning, an unconditional respect for the fundamental criteria of the moral law: that is to say, they must be at the service of the human person, of his inalienable rights and his true and integral good according to the design and will of God.”[27]

Pada saat bertemunya sperma dan sel telur pada saat itulah awal kehidupan. Oleh karena itu, sejak konsepsi kehidupan manusia sudah harus dihormati.[28] Setiap manusia adalah citra Ilahi (Kej 1: 27). Kelahiran manusia melibatkan tindakan kreatif Allah (the creative action of God). Itu sebabnya, kehidupan manusia kudus adanya. Allah adalah Tuhan kehidupan. Oleh karena itu, manusia bukanlah tuan atas dirinya. Prokreasi manusia mengandaikan kolabroasi suami-istri yang bertanggung jawab terhadap kepenuhan cinta Allah.[29] “Human procreation requires on the part of the spouses responsible collaboration with the fruitful love of God; the gift of human life must be actualized in marriage through the specific and exclusive acts of husband and wife, in accordance with the laws inscribed in their persons and in their union.” [30]

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa persatuan seksual yang menurut kodratnya mengungkapkan penyerahan diri secara timbal balik seutuhnya antara suami-istri itu dikaburkan dengan alat kontrasepsi dan menjadikannya isyarat yang secara obyektif ambivalen. Artinya tidak menyerahkan diri seutuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa pada penolakan positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga pada pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan kepada penyerahan diri seutuhnya. Perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfatan irama siklus, menyangkut dua paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapat diselaraskan.”[31]

        B.    Tanggapan Terhadap Teknologi Reproduksi

         1.      Fertilisasi Artifisial: fertilisasi in vitro, transfer embrio, dan inseminasi buatan 

 Gereja menegaskan bahwa pemakaian metode fertilisasi in vitro atau In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET)[32] untuk mengatasi ketidaksuburan merupakan tindakan amoral! Bahkan Donum Vitae menyatakan dengan keras: “It is immoral to produce human embryos destined to be exploited as disposable “biological material”.[33] Mengapa fertilisasi in vitro amoral? Ada beberapa alasan.

Pertama, alasan moral dan hukum perkawinan. Pemakaian teknologi IVF dan ET jelas menjadikan manusia sebagai objek teknologi biologis semata. Instruksi Dignitas Personae menegaskan kembali pengajaran Evangelium Vitae yang menyatakan: “Penggunaan embrio manusia dan janin sebagai objek eksperimen merupakan kejahatan terhadap martabat mereka sebagai manusia yang berhak atas penghargaan yang sama sebagai anak lahir hanya sekali, sama seperti setiap orang.”[34]

Menurut Instruksi Donum Vitae, prokreasi manusia mesti terjadi dalam hubungan perkawinan bukan dengan intervensi manusia. Argumen Donum Vitae sangat teologis: “Every human being is always to be accepted as a gift and blessing of God. However, from the moral point of view a truly responsible procreation vis-à-vis the unborn child must be the fruit of marriage.”[35] Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Dignitas Personae: “The origin of human life has its authentic context in marriage and in the family, where it is generated through an act which expresses the reciprocal love between a man and a woman. Procreation which is truly responsible vis-à-vis the child to be born must be the fruit of marriage.”[36]

Teknik-teknik IVF memberi peluang untuk melakukan manipulasi biologis dan genetik pada embrio manusia, seperti upaya untuk melakukan fertilisasi antara manusia dan hewan. Bahkan bisa saja embrio manusia dikandung dalam rahim hewan. Teknik-teknik ini bertentangan dengan martabat manusia yang  secara alami dilahirkan dalam perkawinan dan dari pernikahan (born within marriage and from marriage). Bahkan teknik semacam ini potensial untuk meremehkan ketubuhan manusia (“…disdain human bodiliness”). Seharusnya kita mengangkat martabat ketubuhan manusia itu seperti Yesus yang telah memungkinkan kita menjadi anak-anak Allah bahkan mengambil bagian dari kodrat Ilahi (Yoh. 1: 12; 2 Pet 1: 4).[37]

Dalam Instruksi Dignitas Personae, Kongregasi Ajaran iman mengajarkan kepada umat Katolik dan pencari kebenaran bahwa perkawinan yang terjadi sepanjang masa dan di semua kebudayaan diinstitusikan oleh Sang Pencipta untuk membawa rencana-Nya yang dijiwai cinta kepada manusia. Perkawinan itu merupakan ekspresi dan kesediaan untuk membentuk communio yang bersifat eksklusif serta saling melengkapi. Ciri kodrati perkawinan adalah keterbukaan pada kehidupan baru akan tetapi dengan cara dan proses yang alami yang dinyatakan dalam hubungan timbal-balik antara pria dan wanita yang telah menikah secara sah. Transmisi kehidupan digoreskan oleh hukum alam dan hukum tersebut tak tertulis tetapi semua orang perlu mengacu padanya.[38]

Di dalam metode IVF sering dipakai teknik pembekuan embrio untuk meningkatkan keberhasilan IVF. Tindakan membekukan embrio bisa dianggap sebagai tindakan yang menggunakan embrio sebagai tujuan terapeutik atau kegiatan penelitian. Oleh karena itu tindakan ini harus ditolak.[39] Pembekuan embrio, bahkan ketika dilakukan untuk melestarikan kehidupan embrio merupakan pelanggaran terhadap rasa hormat kepada manusia. Sebab embrio-embrio itu menghadapi risiko yang serius dari kematian atau membahayakan integritas fisik mereka. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada personal kehidupan yang memiliki hak untuk hidup.[40] Dalam proses IVF (dan ET) embrio-embrio itu dengan sengaja dipisahkan dari kasih dan proses kehamilan seorang ibu dan menempatkan mereka dalam situasi yang penuh manipulasi.[41] Proses IVF sangat potensial untuk merusak embrio secara terencana dan sengaja.[42]

Teknik IVF dan ET menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilah. Tidak dapat diterima oleh Gereja tindakan apapun yang memisahkan proses prokreasi dari konteks pribadi  yang integral dari tindakan suami-istri (hubungan seksual). Prokreasi adalah tindakan personal suami istri yang tidak dapat digantikan.[43] Lebih jauh, Dignitas Personae menyatakan:

“Gereja mengakui keabsahan keinginan orangtua untuk memiliki anak dan memahami penderitaan pasangan-pasangan yang mengalami ketidaksuburan. Namun, keinginan memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan “produksi” anak (seperti metode pembuahan buatan yang terpisah dari persetubuhan). Begitu juga keinginan untuk tidak memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan meninggalkan atau menghancurkan seorang anak (embrio atau janin).”[44]

 

Teknik IVF bukan membantu tindakan kasih suami istri untuk mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan melalui tindakan kasih antara suami istri melainkan melalui prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para ahli biomedis. Suami dan istri hanya sekadar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan sperma membuahi telur. Dalam metode IVF bisa juga digunakan telur dan sperma dari pendonor. Dengan kata lain, ayah dan ibu genetik dari anak bisa saja orang lain dari luar perkawinan.  Hal ini bertentangan dengan Hukum Gereja yang menyatakan bahwa perkawinan itu eksklusif.[45] Bahkan hal ini dapat menimbulkan masalah psikologis bagi anak. Terutama jika ia tahu bahwa orangtua biologisnya tidak jelas.

Hal yang sangat fatal adalah jika kelak anak-anak yang lahir itu sudah dewasa bisa saja mereka saling menikahi saudara sendiri. Sebab mereka tidak tahu bahwa sperma atau sel telur yang membuahkan hidup mereka berasal dari pendonor yang sama. Sedangkan di dalam Hukum Gereja dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan sedarah tidak pernah diperbolehkan. Hal ini adalah sesuai hukum Ilahi dan tidak ada dispensasi atasnya.[46] Artinya, seseorang yang memakai metode IVF dengan memakai sperma dan telur pendonor telah dengan sengaja menjerumuskan anak-anak tersebut untuk melanggar hukum gereja itu sendiri. Inilah tindakan tragis!

Jika diteliti secara detail ternyata lebih 90 % embrio yang dibuahkan melalui proses teknik IVF justru binasa. Bahkan jika pengguna IVF tidak menghendaki semua embrio yang ditanamkan dalam rahim ibu titipan, bisa melakukan tindakan reduksi fetus (reduksi selektif).[47] Pengguna leluasa memonitor bayi-bayi dalam rahim. Jika bayi tersebut cacat atau dinilai tidak sesehat yang lainnya, bisa saja mereka menyingkirkannya dengan membunuh bayi itu. Caranya sangat gampang. Kalium khlorida dimasukan dalam suntik dan jarumnya diarahkan ke bayi yang dipilih dengan bantuan ultrasound, kemudian jarum suntik ditusukkan ke jantung bayi. Kalium khlorida mampu membunuh bayi dalam beberapa menit saja.[48] Tindakan ini merupakan tindakan yang pro pada budaya kematian daripada budaya kehidupan. Sebab, tindakan semacam ini teramasuk tindakan aborsi, sesuatu yang ditentang habis-habisan oleh Gereja Katolik.[49] Dalam Kitab Keluaran 21:22-25 jelas dinyatakan bahwa orang yang mengakitabtkan kematian bayi dalam kandungan akan dihukum oleh Allah.

Kedua, alasan medis (kesehatan). Biasanya identitas pendonor telur dan sperma tidak diketahui oleh si anak. Akibatnya anak tidak mengetahui silsilahnya sendiri. Hal ini membuat anak kurang pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan kesehatan turunan yang diwariskan oleh ayah-ibunya.

Ketiga, alasan antropologi. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada kehidupan manusia secara pribadi yang memiliki status antropologis dan perlu diperlakukan sebagai pribadi manusia.[50] Dari argumen ajaran Gereja ini, proses IVF dan TE (Transfer Embrio) yang cenderung memanipulasi, mengeksploitasi, mengobjekkan dan menghancurkan embrio adalah tindakan yang salah!

Sebenarnya Gereja Katolik sangat bijak dalam menanggapi kecanggihan teknologi reproduksi. Di dalam dokumen Donum Vitae (Anugrah Hidup) mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi menolong atau membantu tindakan kasih suami isteri agar membuahkan kehamilan secara alami, maka intervensi itu dapat diterima secara moral. Akan tetapi, jika intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral.[51]

Hubungan antara pembuahan in vitro dan penghancuran embrio-embrio insani yang disengaja  paling sering terjadi. Tindakan ini perlu mendapat perhatian signifikan. Sebab dengan prosedur ini tujuannya rupanya berseberangan: kehidupan dan kematian diserahkan kepada keputusan manusia yang dengan demikian membuat manusia sesukanya menjadi tuan atas hidup dan mati.

“The connection between in vitro fertilization and the voluntary destruction of human embryos occurs too often. This is significant: through these procedures, with apparently contrary purposes, life and death are subjected to the decision of man, who thus sets himself up as the giver of life and death by decree. This dynamic of violence and domination may remain unnoticed by those very individuals who, in wishing to utilize this procedure, become subject to it themselves.” [52]

Kutipan Donum Vitae ini berbicara mengenai hak setiap orang untuk dikandung dan dilahirkan dalam perkawinan dan melalui perkawinan. Dalam dan dari perkawinan, pembuahan haruslah terjadi dari tindakan perkawinan yang oleh kodratnya ditujukan kepada keterbukan penuh kasih kepada kehidupan, bukan dari tindakan manipulasi para ahli medis. Dokumen Donum Vitae secara gamplang menyatakan bahwa penghancuran embrio yang disengaja merupakan tindakan aborsi yang notabene bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Hal itu tampak dalam pernyataan Donum Vitae yang sebenarnya menegaskan kembali Gadium et Spes artikel 51: “…abortion and infanticide are abominable crimes”. Lebih jauh Donum Vitae: “Such deliberate destruction of human beings or their utilization for different purposes to the detriment of their integrity and life is contrary to the doctrine on procured abortion already recalled.”[53]

Donum Vitae mengajarkan bahwa metode artificial fertilization daninseminación artificial entre los esposos. inseminasi buatan/pembuahan buatan antara pasangan tidak bisa dibenarkan secara moral. Pembuahan buatan tidak didasarkan pada tindakan kasih “persetubuhan” suami-istri. Persetubuhan merupakan ekspresi cinta pasutri yang menyempurnakan mereka menjadi satu daging (Ef 5: 25.28-29. 32-33; Kej 1: 28 dan 2: 18). Tindakan konjugal suami-istri mesti saling mengekspresikan diri mereka sebagai hadiah satu sama lain. Tindakan badaniah dan spiritual pasutri adalah kesadaran akan keterbukaan pada karunia hidup (gift of life). Tindakan konsumasi pasutri menyempurnakan peran mereka sebagai ayah dan ibu.[54]

         2.      Teknologi Kloning

Gereja menolak teknologi kloning.[55] Ada beberapa alasan antara lain: (1) teknik kloning aseksual. (2) Memproduksi anak dengan cara mengkopinya. Hal ini tidak memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik melainkan sebagai kelanjutan dari suatu pribadi lain. (3) Anak bukan dilahirkan melainkan dibuat/diproduksi. Anak bukan lagi rencana dan ciptaan Allah (“made in God”) melainkan rencana dan buatan manusia (“made in man”). Secara antropologis, martabat manusia direndahkan menjadi sama dengan barang. (4) Teknik ini semakin menegaskan dominasi manusia atas manusia (“domination of man over man”). (5) Teknik kloning potensial untuk mengekploitasi dan menghancurkan embrio.[56] (6) Metode ini seolah-olah untuk memberi solusi kepada pasangan sejenis. Seperti kita ketahui bahwa sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa kloning akan merupakan suatu cara sempurna untuk mendapatkan anak, sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari lawan jenis. Hal ini akan sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah dan ibu alami. 

Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas dan hebat sehingga seorang anak dengan sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar bagi masyarakat. Hal ini merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois, yang akan juga merenggut anak dari seorang ayah dan seorang ibu. Dalam mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning manusia mungkin akan diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga percobaan dan hipotesa yang bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui apa yang disebut `pembelahan anak kembar’, kloning atau parthenogenese harus dipandang bertentangan dengan hukum moral, karena bertentangan dengan martabat prokreasi insani dan sanggama.” [57]

Menurut John M. Haas,  yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti hendak mempergunakan kloning untuk membuat manusia semata-mata demi eksperimen dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai jaringan-jaringan tubuh yang sesuai secara genetik untuk menangani berbagai macam penyakit, dengan cara membuat embrio-embrio manusia dari sel tubuh pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang berkembang ini demi suplai “spare part” mereka. Sebagian bahkan berbicara mengenai mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala” atau “tanpa otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa makhluk-makhluk yang demikian dapat dieksploitasi demi kebutuhan organ-organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu tidak memiliki status sebagai “pribadi”.[58]

5. Solusi yang Ditawarkan

Pada bagian terakhir ini marilah kita melihat tawaran solusi yang perlu diperhatikan oleh umat Katolik dan juga para hirarkhis Gereja terutama mereka yang terlibat dalam pendampingan keluarga-keluarga.

a.     Bagi Pemakai Kontrasepsi

          Pertama, perlu adanya katekese perkawinan yang komprehensif untuk memberikan pemahaman perkawinan Katolik kepada keluarga-keluarga Katolik. Diberi pemahaman bahwa salah satu ciri kodrati dari perkawinan Katolik adalah keterbukaan pada kelahiran anak (prokreasi). Akan tetapi, bukan hak akan kelahiran anak itu sendiri.[59] Perkawinan mesti dipahami sebagai perjanjian (foedus) sehingga pasutri saling menerima dan menyerahkan diri untuk berpartisipasi dalam rencana Ilahi.[60] Pasutri adalah rekan Allah dalam proses melahirkan manusia baru (Co-Creator).[61] Oleh  karena itu, consumatum (pesetubuhan) bukan sarana rekreasi. Dengan kata lain, perlu ada pendampingan pasutri agar pemahaman mereka tentang perkawinan semakin hari semakin komprehensif dan mendalam yang diterangi dengan iman, harapan dan kasih serta kerendahan hati menuruti ajaran moral Gerejawi.

Kedua, bagi umat yang telah mengetahui bahwa Gereja melaui berbagai dokumen melarang pemakaian kontrasepsi dipanggil untuk mematuhi ajaran gereja tersebut. Akan tetapi, bagi umat yang belum mengetahui bahwa alat-alat kontrasepsi dilarang Gereja, perlu didampingi oleh Gereja dan juga umat yang kompeten.

Ketiga, Gereja perlu bertindak secara persuasif dalam mendampingi pasutri yang pernah memakai alat-alat kontrasepsi dengan alasan mencegah prokreasi, alasan ekonomi dan alasan gaya hidup agar mereka kembali bertobat untuk menyesali perbuatan mereka.

Keempat, perlu diberi pemahaman komprehensif kepada umat tentang metode pengaturan Kelahiran Alamiah tanpa memakai alat-alat kontrasepsi.[62] Dalam metode pengaturan kelahiran secara alamiah ini yang biasa disebut KBA (Kelaurga Berencana Alami) kita hanya mempergunakan apa yang sudah ada dan disediakan oleh alam serta tidak memerlukan alat atau sarana tertentu untuk mengubah mekanisme atau kodrat tubuh manusia. Secara singkat metode ini mengajarkan kalau ingin mempunyai anak, maka mengadakan hubungan suami-istri pada masa subur, sedangkan kalau tidak ingin punya anak, maka jangan berhubungan seksual pada masa subur itu. Dalam metode ini sangat penting untuk mengetahui masa subur perempuan, khususnya saat ovulasi, baik untuk mendapatkan anak atau bila tidak ingin punya anak. Ada beberapa cara untuk mengetahui masa subur itu, misalnya cara kalender, lendir kesuburan (mucus) dan suhu basal. Hanya hubungan seks yang dilakukan pada masa subur yang akan menghasilkan anak. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada masa tidak subur, tidak akan menghasilkan anak. Mengapa tidak menghasilkan anak? Karena tidak ada ovum yang matang yang siap dibuahi. Ovum hanya hidup 24 jam saja sesudah ovulasi. Oleh karena tidak ada ovum yang matang maka tidak akan ada konsepsi (pembuahan). Maka pengaturan kelahiran alamiah (KBA) itu bukan kontrasepsi karena KBA itu tidak meniadakan konsepsi (= yang seharusnya ada menjadi tidak ada). KBA disetujui oleh Gereja bukan karena pertama-tama oleh karena tidak memakai alat/obat-obatan akan tetapi karena KBA itu bukan kontrasepsi. Kita bisa membandingkan dengan coitus interuptus (sanggama terputus), meskipun tidak memakai alat, coitus interuptus tetap merupakan kontrasepsi dan tidak disetujui oleh Allah (bdk. Kejadian 38:8-10). Mengapa kontrasepsi? Karena dalam hubungan seks yang dilakukan pada masa subur dan melakukan coitus interuptus seharusnya terjadi pembuahan akan tetapi karena spermanya dibuang keluar maka tidak terjadi pembuahan.

Kelima, keputusan untuk memakai alat-alat kontrasepsi sangat menuntut kesadaran dan hati nurani seseorang. Dalam menanggapi Ensiklik Humanae Vitae, Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1972 menyatakan bahwa penggunaan kontrasepsi diserahkan kepada masing-masing pasangan sesuai dengan suara hatinya.[63]

Keenam, umat Katolik dipanggil untuk menghayati perkawinan eksklusif. Mereka yang belum menikah secara sah dipanggil untuk tidak menjadikan aktivitas seksual sebagai sarana rekreasi. Semakin merebaknya penyakit AID dan HIV justru karena terbenamnya orang pada seks bebas.

        b.      Bagi Pengguna dan Pembuat Teknologi Reproduksi

 

Pertama, bagi umat yang telah mengetahui bahwa Gereja melaui berbagai dokumen melarang pemakaian teknologi reproduksi untuk memanipulasi proses pembuahan dipanggil untuk mematuhi ajaran gereja tersebut. Akan tetapi, bagi umat yang belum mengetahui bahwa tindakan memanipulasi proses pembuahan dilarang Gereja, perlu didampingi oleh Gereja dan juga umat yang kompeten.

Kedua, perlu ada komisi atau ahli yang kompeten untuk mendampingi para calon dokter dan perawat atau ahli biomedis Katolik dan rumah sakit Katolik agar tidak tergiur untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moralitas Katolik seperti fertilisasi artifisial, kloning dan inseminasi buatan. Para ahli biomedis Katolik mesti tunduk pada kodek etik kedokteran yang mengafirmasi ajaran dan keyakinan Gereja Katolik.

Ketiga, umat Katolik yang melakukan pembunuhan terhadap embrio perlu diberi sanksi tegas seperti ekskomunikasi. Hanya saja tindakan ini lebih baik pilihan terakhir. Gereja sebaiknya melakukan pendekatan persuasif dan jangan represif. Gereja Katolik mengajarkan bahwa sejak bertemunya sel sperma dan sel telur, sejak itu sudah mulai ada kehidupan yang perlu diperlakukan sebagai pribadi manusia.[64] Akan tetapi, dari segi hukum positif (hukum negara) belum tentu mengafirmasi hukum Gereja semacam ini. Di Indonesia misalnya, hanya mengakui kehidupan setelah beberapa minggu terjadinya konsepsi.

Keempat, negara perlu mengindahkan himbauan dan ajaran moral Gereja. Perkembangan teknologi biologi dewasa ini menuntut intervensi para pejabat politik dan pembuat hukum, karena pelaksanaannya tak terkendali dan teknik-teknik semacam ini dapat menuju ke konsekuensi merusak yang tak terbayangkan bagi masyarakat.

Kelima, umat Katolik dipanggil untuk dengan rendah hati menghidupi ajaran Gereja bahwa yang diperbolehkan dalam proses reproduski adalah pemeriksaan prenatal (sebelum lahir) untuk (1) menentukan jenis kelamin anak (2) mengetahui penyakit bayi sehingga bisa diobati. Hal inipun bukan semata-mata untuk menjadikan manusia sebagai objek. Akan tetapi, Donum Vitae menegaskan bahwa jika hasil diagnosis menyatakan bahwa anak itu sakit tidak moralis jika berujung pada aborsi.[65] Artinya, Donum Vitae menyerukan agar tenologi diagnosa prenatal tidak dipakai untuk tujuan aborsi dan pengguguran.[66]

Keenam, Umat Katolik dipanggil untuk rendah hati mengakui ajaran Gereja untuk mengatasi ketidaksuburan.[67]Gereja menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang diperbolehkan secara moral dalam mengatasi ketidaksuburan. Pertama, operasi dapat dilakukan untuk mengatasi penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau perempuan, yang menghalangi terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas juga dapat dipergunakan, dengan peringatan bahwa kehamilan kembar banyak dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula banyak cara mengenali ritme reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya kehamilan. Institut Paus Paulus VI di Creighton University di Omaha, Nebraska telah berhasil gemilang dalam membantu pasangan-pasangan mengatasi ketidaksuburan dengan mempergunakan metode-metode alami. Paus Yohanes II mengajarkan bahwa intervensi yang diperbolehkan secara moral adalah intervensi untuk penyembuhan dari berbagai penyakit yang berasal dari kerusakan kromosom tanpa merusak integritas individu.[68]

Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT (Lower Tubal Ovum Transfer), secara moral diperkenankan. LTOT menyangkut memindahkan telur istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi (= saluran telur) sehingga tindakan perkawinan dapat menghasilkan kehamilan. Suatu metode lain, yang secara moral lebih kontroversial, disebut GIFT (Gamete Intra-Fallopian Transfer). GIFT menyangkut mendapatkan sperma suami dari tindakan perkawinan dan mengambil sebuah telur dari ovarium isteri. Telur dan sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil dengan dipisahkan oleh suatu gelembung udara. Isi tabung kemudian disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan terjadi pembuahan. Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya menganggap GIFT sebagai suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan karenanya diperkenankan. Karena otoritas mengajar Gereja – Paus dan para uskup – belum memberikan penilaian perihal GIFT, maka pasangan-pasangan Katolik bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai dengan bimbingan hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian hari otoritas mengajar Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi dipergunakan.

Para ahli biologi-medis Amerika memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa mereka dapat mengatasi segala masalah dengan “teknologi” yang tepat. Tetapi, anak-anak tidak dihasilkan oleh teknologi atau diproduksi oleh suatu industri. Anak haruslah berasal dari tindakan kasih antara suami dan isteri, dalam kerjasama dengan Tuhan. Tak seorang manusia pun dapat “menciptakan” gambar dan citra Allah. Itulah sebabnya mengapa kita mengatakan bahwa manusia adalah “rekan kerjasama” Allah dalam penciptaan. Anak adalah buah dari tindakan kerjasama di antara suami, isteri, dan Tuhan sendiri. Sebagai kesimpulan akhir, anak-anak seharusnyalah diperanakkan, bukan dibuat.

Kedua, gene therapy (terapi gen). Namun yang diperbolehkan adalah terapi gen somatic cells. Tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk memulihkan konfigurasi normal (alami) atau penghapusan krusakan genetik manusia yang disebabkan oleh kelainan genetik dan patologi lainnya. Akan tetapi, terapi gen “germ line cell theraphy” secara moral tidak dapat diakui. Terapi gen ini ditolak karena hanya dapat digunakan dalam metode IVF sehingga sangat potensial untuk memanipulasi genetik.[69]

6. Penutup

Proses pembuahan seharusnya alami dalam hubungan pasangan suami istri (pasutri). Proses pembuahan bersifat kudus dan Ilahi. Tindakan kreatif Allah (the creative action of God) dan bukan tindakan kreatif manusia (the creative action of man) yang menentukan proses terjadinya pembuahan.[70] Munculnya manusia di dunia ini bukan hanya melalui proses hukum biologis tetapi berhubungan dengan kehendak Allah.[71] Allahlah yang menjadi Tuhan atas manusia dan bukan manusia yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Itu sebabnya Gereja Katolik menegaskan bahwa tidak ada ahli biologis dan dokter yang berhak menentukan asal muasal dan takdir manusia berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Pria dan wanita dipanggil untuk mengaktualisasikan nilai-nilai fundamental cinta dan hidup dalam seksualitas dan prokreasi. Allah yang adalah kasih dan hidup telah mengukir dalam diri pria dan wanita panggilan khusus untuk saling berbagi dalam misteri persekutuan personal dan karya-Nya sebagai Pencipta dan Bapa.[72]

Mencegah dan mengintervensi terjadinya pembuahan menjadi permasalahan moral dalam Gereja Katolik. Alasannya sangat masuk akal, sangat teologis-biblis dan spiritualis. Tindakan mencegah prokreasi dan memanipulasi pembuahan dan siklus reproduksi adalah tindakan yang contra naturam. Tindakan semacam ini telah mereduksi manusia sebagai objek teknologi biologis dan medis semata. Apa yang secara teknis mungkin, bukanlah alasan untuk secara moral diterima begitu saja.[73] Gereja Katolik meyakini bahwa makhluk dalam rahim haruslah buah dari kasih orang tua. Anak harus dikandung dalam rahim ibu bukan dalam rahim laboratorium. Anak dilahirkan bukan dibuat! Ia tak boleh diingini atau dikandung sebagai hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Mencermati analisis-analisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Gereja menolak teknologi yang (1) mencegah terjadinya prokreasi; (2) pembuahan tanpa persetubuhan; (3) penghancuran embrio dan pengobjekan manusia.

Daftar Pustaka

1. Congregation for the Doctrine of the Faith, INSTRUCTION “DIGNITAS PERSONAE”, September 8, 2008 .

2. Congregation for the Doctrine of the Faith., INSTRUCTION “DONUM VITAE”, February 22, 1987

3. Curran, Charles E. (Ed.), Contraception, Authority and Dissent. New York: Herder and Herder,  1969.

4. Driyanto, Y., Perkawinan Katolik: Kanon dan Komentar, Bogor: Buku Panduan Kuliah, 2008.

5. Haas, John M,“Diperanakkan, Bukan Dibuat: Suatu Pandangan Katolik Mengenai Teknologi Reproduksi,”  dalam http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010.

6. http://superbidanhapsari.wordpress.com/2010/04/23/mengenal-aneka-alat-kontrasepsi/, diakses 24 September 2010.

7. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/kel5_012.htm, diakses 13 September 2010.  http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10147, diakses 4 September 2010.

8. Jung, Patricia Beattie & Thomas A. Shannon (Editor), Abortion Catholicism: The American Debate, New Tork: Crossroad, 1988.

9. Konsili Vatikan II, Gadium et Spes.

10. Kusmaryanto, CB, dalam  http://sayangihidup.org/content/ajaran-gereja-tentang-kontrasepsi-di-jaman-modern, diakses 18 September 2010.

11. Kusumawanta, Dominikus Guti Bagus, Analisis Yuridis “Bonum Coniugum” dalam Perkawinan Kanonik, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007.

12. KWI, Kitab Hukum Kanonik 1983, Jakarta: KWI, 2006.

13. Paulus II, Yohanes (Terjemahan J. Hadiwikarta), Surat Kepada Keluarga-Keluarga, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.

14. Paul VI, ENCYCLICAL LETTER HUMANAE VITAE, July 25 ,1968.

15. Paulus II, Yohanes, (Terjemahan Herman Embuiru SVD), Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus, 1995.

16. Paulus II, Yohanes, (Terjemahan R. Hardawiryana), Familiaris Consortio, Jakarta : Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.

17. Paul II, John, ENCYCLICAL LETTER EVANGELIUM VITAE,  Maret 25, 1995.

18. Pemerintah RI, “Undang-undang RI No. 10 tahun 1992, Tentang Perkembangan Kepedudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera” dalam situs http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+92&f=uu10-1992.htm, diakses 20 September 2010.

19. Setiawan, B. (Pemimpin Umum), Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990.

Catatan Kaki:


[1] Lihat Instruksi “Dignitas Personae” nomor 4. Dokumen ini dikeluarkan oleh Kongregasi Doktrin Iman pada  tanggal 8 September 2008 untuk menyempurnakan pernyataan Gereja mengenai kehidupan dalam Donum Vitae yang dikeluarkan 22 Februari 1987.

[2] Lihat bagian 4 pendahuluan dokumen Donum Vitae.  Donum Vitae (Anugrah Hidup) dikeluarkan oleh Kongregasi Doktrin Iman pada tanggal  22 Februari 1987 yang diketuai JOSEPH Card. RATZINGER yang resmi menjadi Paus pada tanggal  19 April 2005 dengan nama Benediktus XVI.

[3] Lihat Paus Yohanes Palus II, Surat Kepada Keluarga-Keluarga (Terjemahan J. Hadiwikarta), (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), nomor 17, hlm. 62.

[4] Sang penulis, Postinus Gulö adalah mahasiswa Magister Ilmu Teologi di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Paper  ini merupakan materi presentasi dalam mata kuliah Moral Seks dan Perkawinan yang diasuh oleh Pastor Dr. Laurentius Tarpin, OSC.

[5] Efek negatif dari jenis suntikan yakni lapisan dari lendir rahim menjadi tipis sehingga haid sedikit, bercak atau tidak haid sama sekali. Perdarahan tidak menentu. Sedangkan efek yang merugikan pengguna susuk berupa gangguan menstruasi, haid tidak teratur, bercak atau tidak haid sama sekali. Kecuali itu bisa menyebabkan kegemukan, ketegangan payudara, dan liang senggama terasa kering. Kendala lainnya dalam pencabutan susuk yaitu sulit dikeluarkan karena mungkin waktu pemasangannya terlalu dalam. Hal tersebut dapat menimbulkan infeksi.

[6] Lihat Setiawan B (Pemimpin Umum), Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm. 121. Lihat juga “http://superbidanhapsari.wordpress.com/2010/04/23/mengenal-aneka-alat-kontrasepsi/, diakses 24 September 2010.

[7] Dikutip dari Pastor DR. CB Kusmaryanto, SCJ dalam  http://sayangihidup.org/content/ajaran-gereja-tentang-kontrasepsi-di-jaman-modern, diakses 18 September 2010.

[8] Ensiklopedi Nasional, hlm. 121.

[9] Lihat Undang-undang RI No. 10/1992 tentang Perkembangan Kepedudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam situs http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+92&f=uu10-1992.htm, diakses 20 September 2010. Terutama pasal 7 mengenai hak untuk membangun keluarga sejahtera dengan mempunyai anak yang jumlahnya ideal. Pasal 9-10 mengenai upaya pengendalian kuantitas penduduk. Pasal 16 mengenai pengaturan kelahiran. Baca juga keseluruhan Bab VI bagian dua dari Undang-Undang ini.

[10] Lihat http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/kel5_012.htm, diakses 13 September 2010.

[11] Lihat http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010.

[12] Lihat http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10147, diakses 4 September 2010.

[13] Alasan-alasan Gereja Katolik menoloak teknologi artificial insemination akan dibahas di bagaian tanggapan moral Gereja Katolik.

[14] Lihat http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10147, diakses 4 September 2010.

[15] Dignitas Personae, nomor 15.

[16] Ensiklik Humanae Vitae dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 25 Juli 1968 sebagai pernyataan keprihatinan Gereja atas masalah kontrasepsi yang sedang berkembang pada waktu itu.

[17] Lihat Charles E. Curran (Ed.), Contraception, Authority and Dissent (New York: Herder and Herder, 1969), hlm. 9. Lihat Dignitas Personae nomor 23. Kongregasi Ajaran iman menyatakan bahwa metode baru intersepsi dan contragestation (semacam kontrasepsi) tidak dapat dibenarkan bahkan amoral karena cara baru itu potensial aborsi. dan menghancurkan embrio. Sebab,  teknik contragestation dipakai untuk memulihkan menstruasi wanita yang sebenarnya sudah hamil 2 minggu.

[18] Lihat Dominikus Guti Bagus Kusumawanta, Analisis Yuridis “Bonum Coniugum” dalam Perkawinan Kanonik (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007), hlm. 45. Lihat juga KHK Kan. 1055 § 1 yang menyatakan bahwa kelahiran anak merupakan salah satu ciri kodrati dari perkawinan. Pernyataan ini ditegaskan secara jelas lagi dalam KHK Kan. 1061 § 1: “ ….bila suami istri telah melakukan persetubuhan antarmereka (actus coniugalis) serta manusiawi yang pada sendirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk itulah perkawinan menjadi satu daging.” Lihat juga Y. Driyanto, Perkawinan Katolik: Kanon dan Komentar, (Bogor: Diktat Perkuliahan, 2008), hlm. 66.

[19] Pernyataan Humanae Vitae artikel 12 dan Katekismus Gereja Katolik nomor 2366 ini ditegaskan kembali oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Kepada Keluarga-Keluarga, artikel 12. Bdk.  KHK Kan. 1055 § 1 dan Kan. 1056.

[20] Lihat Donum Vitae bagian pendahuluan nomor 3.

[21] Humanae Vitae, nomor 14.

[22] Lihat Pastor DR. CB. Kusmaryanto, SCJ dalam http://sayangihidup.org/content/ajaran-gereja-tentang-kontrasepsi-di-jaman-modern, diakses 18 September 2010. Lihat Humanae Vitae artikel 12.

[23] Lihat Dominikus Guti Bagus Kusumawanta, hlm. 43-44.

[24] Lihat Kitab Hukum Kanonik  1983 Kanon 1061 § 1.

[25] Donum Vitae II: B.

[26] Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, artikel 11. Lihat juga Dominikus Bagus Kusumawanta, hlm. 47. Bdk. Gadiusm et Spes artikel 51.

[27] Donum Vitae, bagian 2 pada pendahuluan. Bandingkan dengan Gadium et Spes, artikel 35.

[28] Lihat  Katekismus Gereja Katolik, nomor 2270.

[29] Donum Vitae bagian pendahuluan, nomor 5. Lihat juga Gadius et Spes artikel 24. Pernyataan “Manusia Citra Allah” sebenarnya merujuk pada Kitab Kejadian 1: 27: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”

[30] Donum Vitae bagian pendahuluan, nomor 5.

[31] Katekismus Gereja Katolik , nomor 2366 – 2370. Lihat Evangelium Vitae, nomor 13: kontrasepsi bahan kimia, IUD dan Vaksin secara intrinsik bertujuan untuk menggugurkan atau menghancurkan janin. Lihat juga Pastor DR. CB Kusmaryanto, SCJ dalam http://sayangihidup.org/content/ajaran-gereja-tentang-kontrasepsi-di-jaman-modern, diakses 18 September 2010.

[32] Lihat Dignitas Personae nomor 17. Metode IVF yang terbaru adalah Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) yang dipakai untuk mengatasi ketidaksuburan pria. Seperti metode IVF, ICSI juga ditolak Gereja karena (1) memisahkan prokreasi dari tindakan suami-istri; (2) pengatur kehidupan dan identitas embrio adalah dokter atau ahli biologi (bukan Allah); (3)  menetapkan dominasi teknologi di atas asal dan tujuan pribadi manusia; (4) dilakukan di luar tubuh pasangan suami istri.

[33] Lihat Donum Vitae I: 5. Lihat http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010

[34] Dignitas Personae nomor , 34. Lihat juga Ensiklik Evangelium Vitae, nomor 62-62.

[35] Lihat Donum Vitae, II: A, 1: “Setiap manusia merupakan hadiah dan berkat dari Allah. Oleh karena itu, dari sudut pandang moral, yang benar-benar bertanggung jawab, prokreasi adalah buah dari perkawinan.”

[36] Lihat Dignitas Personae, nomor 6: “Asal mula kehidupan manusia memiliki konteks otentik dalam pernikahan dan dalam keluarga, yang dihasilkan melalui sebuah tindakan yang mengekspresikan cinta bertimbal-balik antara lelaki dan perempuan. Prokreasi yang sungguh menghasilkan anak yang akan dilahirkan haruslah buah dari pernikahan.”

[37] Bdk. Dignitas Personae, nomor 7.  Lihat

[38] Lihat Dignitas Personae, nomor 6.

[39] Dignitas Personae, nomor 19-20.  Gereja menolak pembekuan embrio dan juga oosit (oocytes).

[40] Instruksi Dignitas Personae, nomor 5 dan 18.

[41] Lihat Donum Vitae bagian  I: 6. Lihat juga Instruksi Dignitas Personae, nomor 5.

[42] Dignitas Personae, nomor 15.

[43] Dignitas Personae nomor 16. Lihat juga Ensiklik Humanae Vitae artikel 12. Perlu dibaca Donum Vitae II, B, 4-5.

[44] Dignitas Personae, nomor 16.

[45] Kitab Hukum Kanonik Kanon 1055.

[46] Kitab Hukum Kanonik Kanon 1091 § 1: “Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang natural.”

[47] Perlu melihat Dignitas Personae, nomor 20-21.

[48] Lihat http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010.

[49] Lihat Patricia Beattie Jung, Thomas A. Shannon (Editor), Abortion Catholicism: The American Debate (New Tork: Crossroad, 1988), hlm. 102-105 dan 217-229.  Lihat juga dokumen Donum Vitae bagian I, 1 dan Gadium et Spes artikel 51.

[50] Lihat Dignitas Personae, nomor 4 dan 5.

[51] Lihat Donum VitaeI: 5. Lihat http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010. Perlu dibaca juga pernyataan Kongregasi Ajaran Iman dalam Dignitas Personae, art. 3-4.

[52] Lihat bagian II dari dokumen Donum Vitae.

[53] Donum Vitae, bagian II. Lihat juga Donum Vitae I, 1: aborsi dan pembunuhan adalah kejahatan keji. Bdk. Gadiusm et Spes artikel 51.

[54] Lihat Donum Vitae  bagian II, B: b.

[55] Gereja bukan hanya menolak kloning tetapi juga teknik baru seperti Stem Cells.

[56] Dignitas Personae, nomor 27-30.

[57] Lihat  http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010.

[58] http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010.

[59] KHK Kan. 1055 § 1 dan Kan. 1061 § 1. Lihat Y. Driyanto, hlm. 66.

[60] Lihat Paus Yohanes Palus II, Surat Kepada Keluarga-Keluarga (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), nomor 7. Surat ini dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 2 Februari 1994. Lihat juga Gadium et Spes, artikel 48.

[61] Lihat Dignitas Personae nomor 6.

[62] Dikutip dari Pastor DR. CB Kusmaryanto, SCJ dalam  http://sayangihidup.org/content/ajaran-gereja-tentang-kontrasepsi-di-jaman-modern, diakses 18 September 2010.

[63] Pastor DR. CB Kusmaryanto, SCJ dalam  http://sayangihidup.org/content/ajaran-gereja-tentang-kontrasepsi-di-jaman-modern, diakses 18 September 2010.

[64] Donum Vitae, I: 2.  Ditegaskan kembali oleh Kongregasi Ajaran Iman dalam Dignitas Personae, art. 4-5.

[65] Dignitas Personae nomor 22 menyempurnakan pengajaran Donum Vitae ini dengan menyatakan bahwa ada diagnis pra lahir yang tidak dapat diterima secara moral yakni diagnosis praimplantasi yang memeriksa embrio sebelum ditransfer ke rahim dalam metode IVF. Artinya, tujuan alat diagnosis ini adalah untuk menyeleksi embrio sehingga tindakan ini potensial untuk menghancurkan embrio yang cacat atau tidak diinginkan.

[66] DVI I: 2

[67] Disadur dari http://yesaya.indocell.net/id1231.htm, diakses 13 September 2010.

[68] Lihat Instruksi Donum Vitae I: 3 yang mengutip ajaran Paus Yohanes Paulus II mengenai Discourse to the Participants in the 35th General Assembly of the World Medical Association pada 29 Oktober 1983: “A strictly therapeutic intervention whose explicit objective is the healing of various maladies such as those stemming from chromosomal defects will, in principle, be considered desirable, provided it is directed to the true promotion of the personal well-being of the individual without doing harm to his integrity or worsening his conditions of life. Such an intervention would indeed fall within the logic of the Christian moral tradition.” Perlu dibaca juga Dignitas Personae, art. 3.

[69] Dignitas Personae, nomor 26.

[70] Lihat dokumen Donum Vitae bagian pendahuluan nomor 5.

[71] Lihat Paus Yohanes Palus II, Surat Kepada Keluarga-Keluarga (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), nomor 9. Lihat juga Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, artikel 28. Dokumen ini dikeluarkan pada 22 November 1981.

[72] Donum Vitae bagian pendahuluan nomor 3. “No biologist or doctor can reasonably claim, by virtue of his scientific competence, to be able to decide on people’s origin and destiny. This norm must be applied in a particular way in the field of sexuality and procreation, in which man and woman actualize the fundamental values of love and life. God, who is love and life, has inscribed in man and woman the vocation to share in a special way in his mystery of personal communion and in his work as Creator and Father.”

[73] Lihat bagian 4 pendahuluan dokumen Donum Vitae.

Satu Tanggapan to “Tanggapan Gereja Katolik Terhadap Teknologi Kontrasepsi dan Teknologi Reproduksi”

  1. Hello everyone, it’s my first visit at this web site, and paragraph is actually fruitful
    for me, keep up posting these types of posts.

Tinggalkan komentar