BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.507 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Mei 2024
    S S R K J S M
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Archive for the ‘Motu Proprio Spiritus Domini’ Category

Bapa Suci Paus Fransiskus Merevisi Kanon 230 tentang Lektor-Akolit

Posted by postinus pada Januari 11, 2021


Hari ini, Senin (11/1/2021), Tim redaksi situs resmi Vatikan (https://www.vaticannews.va) merilis berita seputar revisi paragraf pertama dari kanon 230. Judul berita tersebut, yakni: “Pope Francis: Ministries of lector and acolyte to be open to women” (Paus Fransiskus: Pelayanan Lektor dan Akolit Terbuka untuk Perempuan).

Paus Fransiskus merevisi Kanon 230 §1 dari Kitab Hukum Kanonik untuk menetapkan apa yang selama ini sebenarnya sudah diperbolehkan dalam praktik liturgi gerejawi, yaitu peran perempuan awam untuk melayani Sabda dan Altar. Paus menjelaskan keputusannya dalam sebuah surat kepada Kardinal Ladaria, Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman.

Melalui Motu proprio “Spiritus Domini” yang dipublikasikan pada hari Senin (4/1/2021), Paus Fransiskus menetapkan bahwa mulai sekarang pelayanan Lektor dan Akolit harus terbuka bagi perempuan, yang dapat diangkat secara tetap dan dilantik melalui mandat tertentu.

Tidak ada yang baru tentang perempuan yang mewartakan Firman Tuhan selama perayaan liturgi atau melakukan pelayanan di altar sebagai pelayan altar atau sebagai pelayan Ekaristi. Di banyak komunitas di seluruh dunia praktik ini telah disahkan oleh uskup setempat.

Namun hingga saat ini, pelayanan tersebut telah terjadi tanpa mandat institusional yang benar dan tepat, sebagai pengecualian dari apa yang telah ditetapkan oleh Paus Santo Paulus VI ketika, pada tahun 1972, menghapus apa yang disebut “tahbisan kecil” (dan menggantinya dengan “pelantikan” Lektor dan Akolit).

Paulus VI memutuskan untuk mempertahankan bahwa pelayanan seperti ini (Lektor dan Akolit) diberikan hanya kepada laki-laki karena Lektor dan Akolit ini dianggap sebagai persiapan untuk memasuki tahbisan suci. Sekarang, setelah muncul dalam discernment Sinode Para Uskup terakhir, Paus Fransiskus ingin meresmikan dan menetapkan kehadiran perempuan di altar.

Sebelumnya, kanon 230 §1 hanya memperbolehkan laki-laki awam yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret Konferensi para Uskup dapat secara tetap diangkat dalam pelayanan sebagai Lektor dan Akolit. Sekarang, dalam motu proprio “Spiritus Domini”, Paus menegaskan bahwa perempuan pun boleh diangkat secara tetap dalam pelayanan sebagai Lektor dan Akolit.

Paus Fransiskus menyatakan bahwa ia ingin mewujudkan rekomendasi yang telah muncul dari berbagai pertemuan sinode, yang menulis bahwa “perkembangan doktrinal telah dicapai pada tahun-tahun terakhir ini yang telah menjelaskan bagaimana pelayanan tertentu yang dilembagakan oleh Gereja memiliki dasarnya pada kondisi umum oleh karena dibaptis dan imamat rajawi diterima dalam Sakramen Pembaptisan. 

Oleh karena itu, Paus mengundang kita untuk menyadari bahwa apa yang sedang dibahas adalah pelayanan awam yang “secara fundamental berbeda dari pelayanan tertahbis yang diterima melalui Sakramen Tahbisan Suci”.  

Kini, rumusan baru kanon 230 §1 tersebut berbunyi: “Orang awam yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret Konferensi para Uskup dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgi yang ditentukan”. Dengan demikian, dihapus frasa “orang awam laki-laki” dalam modifikasi kanon 230 §1 sejak motu proprio ini diberlakukan.  

Dalam surat pengantar motu proprio yang ditujukan kepada Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, Kardinal Luis Ladaria, Bapa Suci Paus Fransiskus menjelaskan motivasi teologis di balik keputusannya. Paus menulis bahwa “dalam cakrawala pembaruan yang ditelusuri oleh Konsili Vatikan II, saat ini ada urgensi yang semakin meningkat untuk menemukan kembali tanggung jawab bersama semua orang yang dibaptis di dalam Gereja, dan misi kaum awam pada khususnya”. 

Dengan mengutip Dokumen Akhir Sinode untuk Wilayah Amazon, Paus mengamati bahwa “bagi seluruh Gereja, dalam berbagai situasi, sangat mendesak agar pelayanan dipromosikan dan diberikan bagi pria dan perempuan …. sebab, Gereja terdiri dari pria dan perempuan yang dibaptis yang harus kita konsolidasikan dengan mempromosikan bentuk-bentuk pelayanan, dan di atas segalanya, kesadaran akan martabat baptisan”.

Dalam suratnya kepada Kardinal Ladaria, Paus Fransiskus mengingat kata-kata Santo Yohanes Paulus II, bahwa “terkait dengan pelayanan kaum tertahbis, Gereja tidak memiliki fakultas dengan cara apa pun untuk memberikan tahbisan imamat kepada perempuan”.  

Paus menjelaskan bahwa “untuk menawarkan kepada orang awam baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi pelayanan Akolit dan Lektor, berdasarkan partisipasi mereka dalam imamat umum oleh karena baptisan, kesadaran akan tumbuh, juga melalui tindakan liturgis (pelantikan) , tentang kontribusi berharga yang telah diberikan oleh banyak orang awam, termasuk perempuan, dalam kehidupan dan misi Gereja yang telah berlangsung dalam beberapa waktu”.

Bapa Paus menyimpulkan bahwa “keputusan untuk memberikan jabatan-jabatan ini bahkan kepada perempuan, yang diangkat secara tetap, pengakuan publik dan mandat dari pihak uskup, akan membuat partisipasi setiap orang lebih efektif dalam pekerjaan pewartaan Injil”.  

Ketentuan ini muncul setelah refleksi teologis yang lebih luas tentang pelayanan Lektor dan Akolit. Teologi pasca-konsili, pada kenyataannya, telah memulihkan relevansi pelayanan Lektor dan Akolit, tidak hanya dalam hubungannya dengan imamat kaum tertahbis, tetapi juga, dan di atas semuanya, dalam hubungannya dengan imamat umum orang yang dibaptis.

Pelayanan Lektor dan Akolit ditempatkan dalam dinamika kerjasama timbal balik yang ada antara kedua imamat ini, dan sifat khusus “awam” menjadi semakin jelas, sehubungan dengan imamat yang dilaksanakan oleh semua yang dibaptis berdasarkan pembaptisan mereka.

Tugas Lektor dan Akolit

Dalam perayaan liturgi, tugas Lektor, yakni: a) membaca Sabda Allah (Bacaan I dan II) yang bukan Injil; b) menyiapkan bacaan-bacaan Misa; c) membawa Evangeliarium dalam perarakan masuk (Misa); d) menjadi cantor (penyanyi) untuk Mazmur Tanggapan.

Sementara tugas Akolit, yaitu: menyiapkan altar, membantu imam atau diakon dalam perayaan Liturgis (mis, seremoniarius). Akolit juga merupakan pelayan luar-biasa komuni suci (Kan. 910). Berdasarkan kanon 943, Akolit dalam keadaan khusus di mana tidak ada imam atau diakon, dapat melakukan pentahtaan dan pengembalian Sakramen Mahakudus tanpa memberikan berkat sebagaimana layaknya seorang imam.

Oleh P. Postinus Gulö, OSC (berdasarkan https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2021-01/pope-francis-opens-ministries-lector-acolyte-women.html)

Posted in Hukum Kanonik, Motu Proprio Spiritus Domini, Paus Fransiskus | Leave a Comment »