BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.501 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Mei 2024
    S S R K J S M
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Archive for the ‘Tanggapan tentang Persatuan Homoseksual’ Category

Tahta Suci: Persatuan Antara Homoseksual Tidak Bisa Diberkati

Posted by postinus pada Maret 16, 2021


Pernyataan Kongregasi untuk Ajaran Iman menanggapi secara negatif kemungkinan memberikan berkat kepada pasangan yang dibentuk oleh individu dari sesama jenis: “Ini bukan diskriminasi yang tidak adil, tidak ada penghakiman terhadap pribadi orang”.

Bapa Suci Paus Fransiskus (Foto: Vatican News)

Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan berkat kepada persatuan orang-orang yang berjenis kelamin sama, oleh karena berkat seperti itu tidak dapat “dianggap sah”. Hal ini dideklarasikan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman, sebagai tanggapan terhadap keraguan (“dubium”) yang telah dipertanyakan kepada mereka. Oleh karena itu,  tidak diperbolehkan bagi para Pastor untuk memberkati pasangan homoseksual yang meminta semacam pengakuan agama atas persatuan mereka. Paus telah diberitahukan dan “memberikan persetujuannya” untuk penerbitan Tanggapan tersebut dan Catatan Penjelasan yang menyertainya yang ditandatangani oleh Prefek, Kardinal Luis Ladaria, dan oleh Sekretaris, Uskup Agung Giacomo Morandi.

Deklarasi tersebut didasarkan pada pernyataan khusus dan beberapa hal praktis. Dokumen tersebut adalah bagian dari “kehendak tulus untuk menyambut dan menemani orang-orang homoseksual, yang kepada mereka diusulkan jalan pertumbuhan iman”, menurut apa yang juga ditetapkan oleh Seruan Apostolik Amoris Laetitia, yang berbicara tentang “bantuan yang diperlukan” yang ditawarkan kepada orang-orang homoseksual “agar sepenuhnya memahami dan memenuhi kehendak Tuhan dalam hidup mereka”. Oleh karena itu, rencana dan usulan pastoral dalam hal ini perlu dievaluasi, dan di antaranya ada yang berkaitan dengan berkat persatuan tersebut.

Hal mendasar, dalam teks tanggapan dari Kongregasi, adalah perbedaan antara pribadi-pribadi dan persatuan. Tanggapan negatif untuk memberkati persekutuan sesama jenis sebenarnya tidak menyiratkan penilaian terhadap individu yang terlibat, yang harus diterima “dengan hormat, kasih sayang dan kepekaan”, menghindari “setiap tanda diskriminasi yang tidak adil” seperti yang telah dinyatakan dalam dokumen resmi Gereja.

Inilah motivasi-motivasi  yang mendasari tanggapan negatif tersebut. Yang pertama menyangkut kebenaran dan nilai berkat, yang bersifat “sakramental”, tindakan liturgis Gereja, dan mensyaratkan bahwa apa yang diberkati harus “secara obyektif diarahkan untuk menerima dan mengungkapkan rahmat, sesuai dengan rancangan Tuhan yang terukir dalam ciptaan”. Hubungan, bahkan jika hubungan itu stabil, “yang melibatkan tindakan seksual di luar pernikahan” – yaitu, di luar “persatuan yang tak terputuskan antara seorang pria dan seorang wanita”, terbuka untuk transmisi kehidupan – tidaklah menanggapi “rancangan Tuhan”, bahkan jika ada “elemen-elemen positif” dalam hubungan tersebut.

Pertimbangan ini tidak hanya menyangkut pasangan homoseksual, tetapi semua persatuan yang melibatkan aktivitas seksual di luar pernikahan. Alasan lain untuk tanggapan negatif adalah risiko bahwa berkat dari persatuan sesama jenis akan secara keliru dikaitkan dengan Sakramen Perkawinan.

Akhirnya, Kongregasi untuk Ajaran Iman menegaskan bahwa jawaban terhadap keraguan (“dubium”) tidak mengecualikan “bahwa berkat diberikan kepada individu dengan kecenderungan homoseksual, yang mewujudkan kehendak untuk hidup dalam kesetiaan pada rencana yang diwahyukan oleh Tuhan”, sementara itu menyatakan dilarang “segala bentuk berkat yang cenderung mengakui persatuan antara homoseksual tersebut”.

***

Tulisan ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan berbahasa Italia (https://www.vaticannews.va/it/vaticano/news/2021-03/santa-sede-omossessuali-unioni-congregazione-dottrina-fede.html)

Posted in Paus Fransiskus, Tanggapan tentang Persatuan Homoseksual | Leave a Comment »