BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.646 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Agustus 2011
    S S R K J S M
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Archive for Agustus 23rd, 2011

FONDRAKÖ SI LIMA INA SEBAGAI LANDASAN PENERAPAN SISTEM BÖWÖ DALAM ADAT ÖRI MORO’Ö-NIAS BARAT

Posted by postinus pada Agustus 23, 2011


Oleh Postinus Gulö*

Pengantar  

Sistem böwö perkawinan adat Nias diatur dalam fondrakö. Menurut Viktor Zebua, istilah fondrakö berasal dari kata rakö, artinya: tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi.[1]Dalam pemahaman Sökhi’aro Welther Mendröfa, ada 3 hal yang menjadi jiwa fondrakö yakni: (1) masi-masi (kasih sayang), (2) möli-möli (pengasuhan/pencegahan) dan (3) rou-rou (pendorong berbuat/pengasahan).[2]

Fondrakö memiliki lakhömi (wibawa) sehingga dituruti rakyat, akan tetapi ia bukanlah seperangkat hukum adat yang kaku. Ia fleksibel. Victor Zebua menulis demikian: ”Fondrakö sesungguhnya bersifat fleksibel, hidup dan berkembang seirama dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Ada peluang untuk menyesuaikan peraturan dan hukum adat Nias dengan dinamika sosial dan perkembangan zaman.”[3]Dengan kata lain, fondrakö disusun berdasarkan situasi, kehendak dan kesepakatan masyarakat adat. Dengan demikian, fondrakö  merupakan konsensus, bukan barang yang jatuh dari langit yang mesti diterima begitu saja tanpa menyesuaikannya dengan situasi dan kehendak rakyat. Pendeknya, fondrakö bisa diamandemen jika rakyat menghendakinya.

Fondrakö Öri Moro’ö Si Lima Ina

Tata aturan perkawinan serta besar-kecilnya böwö di Öri Moro’ö diatur di dalam Fondrakö Si Lima Ina (Hukum Adat 5 puak marga) yang lebih dikenal dengan istilah Tekhemböwö. Menurut informan Saramböwö Gulö yang rumahnya bersebelahan dengan patung Tekhemböwö yang sekarang ada di Sisarahili I-Hiligoe, istilah Tekhemböwö merupakan padanan dari kata tekhe = hasil musyawarah dan böwö = jujuran/mas kawin. Tekhemböwö berarti jujuran yang sudah disepakati secara bersama-sama. Patung Tekhemböwö didirikan sebagai saksi sejarah dari kesepakatan bersama-sama tersebut.

SPM_A0972

Gambar: Batu Megalit (Gowe) Tekhemböwö (Foto: Munieli Gulö, S.Pd)

Setiap Öri (negeri, gabungan beberapa kampung) memiliki fondrakö sendiri. Demikianlah Öri Moro’ö memiliki fondrakö tersendiri yang berbeda (dan tentu juga ada yang sama) dengan Öri yang lain yang ada di Pulau Nias. Menurut penuturan beberapa informan seperti Saramböwö Gulö dari Hiligoe, Ama Sati Gulö dari Lauru dan juga Katekis Simon Waruwu dari Hilimburune, yang berinisiatif membuat fondrakö Moro’ö Si Lima Ina adalah Raja Moro’ö sendiri, yakni Uku Gulö yang bergelar Balugu Angetula (Tuan penentu segala keputusan).

Balugu Uku menyadari bahwa suatu Öri tidaklah kokoh jika tidak memiliki hukum adat. Oleh karena itulah, dia bersama 4 orang lainnya (Manofu Gabua Zebua, Falakhi Denawa Waruwu, Fahandrona Hanakha Hia, dan Balugu Burusa Zai), menyusun hukum adat sendiri yang disebut Fondrakö Tekhemböwö. Selain itu, pembuatan Fondrakö Tekhemböwö bertujuan untuk menjaga persatuan di antara 5 puak dan dengan demikian tercipta kesejahteraan lahir batin (fa’ohau-hau dödö) baik di antara rakyat maupun di antara para tetua adat.[4]Kelima nenek moyang Öri Moro’ö berdomisi di Ombölata Luha Mangonia yang sekarang sudah tidak berpenghuni. Sekarang Ombölata Luha Mangonia termasuk dalam wilayah Hiligoe-Sisarahili I. Dalam perjalanan waktu, kelima nenek moyang ini saling berpisah dan mendirikan kampung masing-masing.

SPM_A0971_2

Gambar: Prasasti Nenek Moyang Moro’ö Si Lima Ina (Foto: Munieli Gulö, S.Pd)

Berdasarkan penuturan tokoh-tokoh adat Öri Moro’ö seperti Lahumawa Gulö/Ama Molia, Sumöla Gulö/Ama Hu’u, Waoziduhu Gulö/Ama Ari, dan Ama Wao Zebua pada tahun 1990 warga Öri Moro’ö sudah 21 generasi sejak dari Uku. Menurut ilmu antropologi, satu generasi dihitung 25 tahun, maka Balugu Uku berdiam di Ombölata Luha Mangonia pada tahun 1465.[5]Jika hitungan satu generasi 30 tahun, maka Balugu Uku berdiam di Ombölata Luha Mangonia pada tahun 1360.[6]Dengan merujuk pada penuturan beberapa informan, penulis memperkirakan bahwa ± antara tahun 1360 – 1465 Balugu Uku  mengadakan Fondrakö Moro’ö Si Lima Ina.

Suatu ketika, ± antara tahun 1360 – 1465, kelima nenek moyang Öri Moro’ö yang dipimpin Balugu Uku mempersiapkan diri untuk mengesahkan fondrakö. Pertama-tama Balugu Uku meminta Kabua Wa’u  – ahli pembuat patung batu yang ada di Börö Nadu-Gomo – untuk membuat patung batu yang menyerupai nenek moyang (faedona) Balugu Uku, yakni Ndrundru Tanö Banua[7] yang memiliki dua orang anak yakni Hulu Börö Danö dan Silögu. Tinggi patung batu faedona itu sekitar 80 cm. Badan besar patung batu adalah patung Ndrundru Tanö Banua sebagai pemegang sumber wasiat (sokhö oroisa). Pada patung Ndrundru Tanö Banua bagian depan menempel patung Hulu Börö Danö, sebagai penerima dan pemegang tata aturan böwö perkawinan. Di bagian belakang patung Ndrundru Tanö menempel (sedang digendong) patung Silögu sebagai pemegang semua hukum adat Moro’ö.

Balugu Uku berjanji akan memberi böwö sebagai upah membuat patung batu kepada Kabua Wa’u sebanyak 5 macam emas, setiap macam sebesar 100 batang emas[8] dan 9 karung sirih (9 karung daun sirih, 9 karung pinang, 9 karung daun gambir, 9 karung tembakau, dan 9 karung kapur).[9]Kabua Wa’u dengan senang hati bersedia membuat patung batu faedona[10] tersebut. Kabua Wa’u membutuhkan waktu 9 tahun untuk membuat patung batu pesanan Uku. Enam bulan sebelum selesai, Kabua Wa’u memberitahu Uku agar bersiap-siap menyambut mereka karena sebentar lagi akan membawa patung tersebut ke Mangonia.

Baca entri selengkapnya »

Posted in Budaya | Dengan kaitkata: , , , | 9 Comments »

HAKIKAT, TUJUAN DAN SIFAT PERKAWINAN NIAS

Posted by postinus pada Agustus 23, 2011


Oleh Postinus Gulö*

Setiap sistem perkawinan di bumi Nusantara, bahkan di dunia ini, pasti memiliki hakikat, sifat khas dan tujuannya. Sebelum seseorang memutuskan dan memilih untuk menikah, semestinya ketiga hal itu sudah mereka pahami dan sadari. Dengan demikian, motivasi, keputusan dan pilihan untuk menikah sungguh murni dan matang, terencana dan dapat dipertanggungjawabkan secara konsisten sejalan dengan hakikat, sifat dan tujuan perkawinan itu sendiri. Tidak hanya itu, mereka sadari konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul dalam menghidupi perkawinan mereka. Perkawinan semakin kokoh-kuat jika disertai komitmen yang dibangun secara berkelanjutan. Jika hal ini terjadi, niscaya mereka yang menikah akan konsisten menghayati dan menghidupi perkawinan hingga kematian menjemput mereka.

Dalam tradisi Nias, hanya anak laki-laki yang disebut mangowalu (menikah). Sedangkan untuk perempuan disebut tebe’e nihalö. Jika diartikan secara harafiah, tebe’e: diberi, nihalö: diambil. Sebutan nihalö mau mengatakan bahwa perempuan dinikahi (bukan menikahi) seorang laki-laki. Melalui kata-kata ini, terkandung makna bahwa laki-laki berperan aktif, sedangkan perempuan berperan pasif. Seorang laki-laki boleh memilih pasangan hidupnya. Itu sebabnya, sebelum laki-laki menikah, ia pergi melihat calon istrinya di suatu kampung tertentu. Istilah ini dalam proses-tahapan perkawinan Öri Moro’ö-Nias Barat disebut möi mamaigi niha (pergi melihat perempuan). Ritual semacam ini tidak diberlakukan untuk perempuan. Hanyalah laki-laki yang melakukannya!

Dalam tradisi Nias Öri Moro’ö ada tiga hal yang menentukan terjadinya suatu perkawinan. Pertama,  kesepakatan kedua orangtua, baik dari pihak mempelai laki-laki maupun orangtua mempelai perempuan. Kedua, pihak mempelai laki-laki sanggup membayar böwö (jujuran) yang diminta pihak mempelai perempuan. Itu sebabnya, ada kalimat ”ada böwö ada istri” atau ”naso gana’a naso mbawi, öröi namau lö olohi” (jika ada emas dan babi, pastilah engkau perempuan meninggalkan ayahmu). Ketiga, dipestakan secara adat (fangowalu-famasao). Tradisi pertama dan kedua sudah mulai ditinggalkan, walau masih ada yang mempraktekkannya.

Kesepakatan merupakan ungkapan komitmen bahwa calon pasutri saling menyerahkan diri dan saling menerima dalam membentuk dan membangun persekutuan hidup untuk seumur hidup. Banyak generasi muda Nias yang sudah mulai menyadari bahwa perkawinan mestinya dijiwai oleh cinta. Oleh karena itulah mereka mulai berani mengungkapkan cintanya kepada lawan jenis, sesuatu yang dulunya dilarang di Nias. Tidak heran jika pada zaman sekarang, banyak masyarakat Nias yang melangsungkan perkawinan bukan karena inisiatif orangtua, melainkan karena kesadaran mereka sendiri.

Hakikat Perkawinan Nias

Bagi masyarakat Nias, hakikat perkawinan bukan hanya persekutuan seluruh hidup antara mempelai lelaki-perempuan melainkan persekutuan kekeluargaan (fambambatösa) antara keluarga pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan;[1] bahkan persekutuan antarkampung dan antarmarga. Gagasan ini sejalan dengan pendapat SM. Mendröfa yang menulis demikian: ”Perkawinan adalah urusan keluarga, malah lebih dari itu. Perkawinan adalah urusan persekutuan masyarakat hukum yang diikat dalam suatu lembaga yang disebut banua (kampung).”[2]Artinya, perkawinan dinyatakan sah secara adat jika diketahui oleh tetua dan warga kampung.

Pendapat SM. Mendröfa tersebut searah dengan pendapat Bamböwö Laiya yang menyatakan bahwa ”perkawinan di Nias bukan hanya urusan dua orang saja, antara pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan, melainkan urusan keluarga dengan keluarga yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya”.[3] Dalam tradisi Nias, perkawinan merupakan media untuk membangun relasi kekeluargaan (famangakhai sitenga bö’ö).[4] Dalam menjalin kekerabatan dan kekeluargaan, ada kewajiban-kewajiban (lala wo’ömö) yang perlu dipenuhi pihak laki-laki, yakni memberikan sejumlah böwö kepada pihak perempuan dalam wujud babi, beras, uang, dan emas.[5]Selain itu, perkawinan menjadi sarana untuk saling mewujudkan rasa empati, gotog-royong, tolong-menolong, dan saling bertanggung-jawab.

Baca entri selengkapnya »

Posted in Budaya | Dengan kaitkata: , | Leave a Comment »

Tradisi “Famolaya” dalam Adat Öri Moro’ö-Nias Barat

Posted by postinus pada Agustus 23, 2011


Oleh Postinus Gulö*

Secara etimologi, kata famolaya adalah penghormatan, penyanjungan, peninggian. Kata pasif dari famolaya adalah lafolaya = dihormati, disanjung, ditinggikan; sedangkan kata aktifnya, yakni mamolaya = menghormati, menyanjung, meninggikan. Tindakan penghormatan tersebut mengandung makna etis-edukatif dari suatu ritual adat Nias. Itu sebabnya, jika Raradödö Gulö, misalnya, tidak  menghormati (lö ifolaya) seseorang yang secara adat patut dihormati (lafolaya), maka Raradödö Gulö dianggap sebagai orang yang “tidak tahu adat.” Akibatnya, Raradödö Gulö kehilangan wibawa (lakhömi). Sesungguhnya, tradisi famolaya itu adalah tradisi saling menghormati, saling mengakui wibawa masing-masing.

Foto: Munieli Gulo

Di Öri Moro’ö-Nias Barat, ritual tradisi famolaya sudah mulai dilakukan pada saat seseorang möi mbambatö (pergi berbesanan). Misalnya, putri Ama Raradödö Zai bernama Futi Barasi Zai hendak dinikahi oleh putra dari Ama Zohahau Gulö, yang bernama Atöni Gulö. Jika sebelum pesta perkawinan tiba, Ama Raradödö pergi ke rumah Ama Zohahau, maka itu artinya pergi berbesanan. Pada saat itu, Ama Zohahau, secara adat, patut menghormati calon besannya dengan dua ekor babi: sara zataha, ba sara zasoso (seekor babi hidup dan seekor babi yang dimasak sebagai lauk Ama Raradödö).

Tradisi ‘pergi berbesanan’ tidak hanya dilakukan sebelum pesta perkawinan tiba. Bisa juga pada saat famasao bahkan setelah pesta perkawinan. Pesta famasao adalah pesta untuk mengantarkan mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki. Kadangkala, bukan hanya ayah mempelai perempuan (ni’owalu) yang ‘pergi berbesanan melainkan ibu mempelai perempuan. Jika kedua orangtua ini (Ayah-Ibu) pergi berbesanan, maka babi untuk penghormatan (bawi famolaya) semakin bertambah: sara ndiwo, sara wamolaya nama ba sara wamolaya nina (seekor babi untuk dijadikan lauk pauk, seekor untuk menghormati ayah dan seekor untuk menghormati Ibu).

Selain, ayah-Ibu dari ni’owalu, pihak lain yang berhak menerima famolaya adalah sirege (saudara ayah ni’owalu). Dalam tradisi ‘pergi berbesanan, kadangkala atas kesepakatan bersama, sirege inilah yang diutus untuk pergi berbesanan. Walaupun demikian, tidak sedikit sirege ini justru pergi berbesanan tanpa sepengetahuan ayah mempelai perempuan. Jika terjadi demikian, maka konflik pecah di antara mereka.

Tradisi famolaya terungkap juga dalam ritual fatomesa (per-tamu-an). Misalnya, paman ni’owalu (paman = sibaya/uwu) pergi ke rumah pengantin perempuan yang notabene adalah keponakannya. Dalam tradisi Nias, mereka yang disebut paman adalah saudara laki-laki dari ibu. Orangtua pengantin perempuan wajib hukumnya menghormati paman ni’owalu tersebut.

Jika pada saat famasao, saudara ni’owalu pergi bertamu (möi tome), maka ia juga secara adat patut dihormati, minimal: sara zataha, ba sara zasoso (seekor babi untuk lauk pauk, dan seekor babi hidup). Pada zaman dahulu, praktek famolaya semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab besarnya böwö perkawinan Nias. ‘Böwö famolaya’ kadang tidak termasuk di dalam böwö yang sudah disepakati bersama. Jika pihak yang “pergi bertamu” dalam acara famasao ada 5 orang, dan setiap orang mesti dihormati dengan 2 ekor babi, minimal berukuran 4 alisi, maka sudah 10 ekor babi hanya untuk penghormatan pihak nifolaya.

Sebenarnya, tradisi famolaya semacam ini tidak disebut dalam bagian-bagian inti böwö (mahar) perkawinan. Tradisi famolaya tersebut dimasukkan dalam kategori “bulu-bulu mböwö” (tambahan-tambahan mas kawin). Dalam konteks adat Öri Moro’ö-Nias Barat, diwo (lauk pauk) itu sebesar 1 balaki (sebatang emas). Nilai 1 balaki, bervariasi: paling tidak 2 x 4 alisi babi, ukuran sedang sebesar 3 x 4 alisi babi, dan ukuran penuh sebesar 4 x 4 alisi babi. Pada bulan Juli 2011 lalu, nilai 4 alisi babi = Rp 1. 260. 000 (satu juta dua ratus enam puluh ribu rupiah). Dengan kata lain, nilai 2 x 4 alisi = Rp 2. 520. 000 (dua juta lima ratus dua puluh ribu rupiah); 3 x 4 alisi = Rp 3. 780. 000 (tiga juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah); dan 4 x 4 alisi = Rp 5. 040. 000 (lima juta empat puluh ribu rupiah).

Sedangkan, babi hidup, minimal berukuran sazilo. Babi hidup ini biasanya, diikat di halaman rumah agar semua pengunjung tahu bahwa pihak sangowalu menghormati pihak nifolaya. Nilai sazilo babi = 31 laharö. Pada bulan Juli 2011, setiap 1 laharö sebesar Rp 60. 000 (enam puluh ribu rupiah). Dengan demikian, sazilo babi sama dengan Rp 1. 860. 000 (satu juta delapan ratus enam puluh ribu rupiah).

Kita bersyukur karena tradisi famolaya dalam bentuk material ini sudah mulai ditinggalkan. Namun, kita berharap pula agar semangat saling menghormati itu tetap dipelihara oleh masyarakat Nias. Tradisi saling menghormati merupakan ekspresi nyata pembinaan persaudaraan sekaligus perekat ikatan kekeluargaan antarmasyarakat suku Nias.

Pada zaman sekarang, bawi famolaya, cenderung disesuaikan dengan kesanggupan pihak yang memberi penghormatan (samolaya). Sudah banyak warga Nias yang menyadari bahwa famolaya tidak harus dengan materi “babi” tetapi juga dengan cara-cara yang sepadan, tutur kata, sopan santun, atau jamuan makan seadanya.

Dalam paparan di atas, tradisi famolaya, terjadi jika pihak-pihak nifolaya pergi ke rumah orangtua mempelai laki-laki (sangowalu). Jika mereka ini tidak pergi ke rumah sangowalu berarti mereka juga tidak mendapat penghormatan dalam bentuk pemberian babi atau emas itu. Biasanya, pihak-pihak yang seharusnya mendapat penghormatan, memilih tidak pergi ke rumah orangtua sangowalu, karena mereka tidak ingin jika umönö (menantu) mereka terbebani.

Secara adat, ada cara yang dapat ditempuh oleh samolaya agar nifolaya tidak jadi pergi ke rumah sangowalu. Cara itu disebut ba’a-ba’a zumange (pencegahan penghormatan). Pihak samolaya memberikan babi ba’a-ba’a zumange dalam ukuran babi yang lebih kecil, bisa hanya 4 alisi babi. Dalam pembicaraan adat, ba’a-ba’a zumange tidak selalu gampang diterima oleh pihak nifolaya. Ada pihak nifolaya yang tetap ingin ke rumah sangowalu karena ia sadar bahwa di sana famolaya yang ia terima lebih besar.

 

Bukan Sekadar Materi

Di balik tradisi famolaya, ada makna nilai luhur kultural yang terkandung di dalamnya. Pada saat Ama Raradödö, misalnya, menghormati besannya, pada saat itulah ia memuliakan besannya (ifolakhömi mbambatönia), bukan sekadar menghormatinya. Kemuliaan/wibawa (lakhömi) dari besannya, merupakan lakhömi dari Ama Raradödö juga. Jadi, tujuan tertinggi dari tradisi famolaya adalah sikap saling menghormati, tindakan saling merendahkan diri dan memuliakan yang lain, serta tindakan saling mengangkat harkat-derajat orang lain, bahkan membuat orang lain berwibawa dan layak dihormati. Oleh karena itulah pemberian babi kepada nifolaya, tidak dapat diartikan sebagai aktivitas ekonomis-material. Pemberian babi tersebut semata-mata sebagai simbol yang dapat dilihat, bahwa seseorang menghormati besannya dan kerabat istrinya (talifusö, sirege).

Pada zaman dahulu, beternak babi di Nias sangat menjanjikan. Babi berkembang biak dengan baik tanpa penyakit. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil, babi kami berlimpah di kandang, ada juga yang dilepas di dalam pagar (mududu mbawi ba mbarö göli). Jika babi berlimpah di kandang dan di dalam pagar, masuk akal jika seseorang tanpa merasa “terbebani”, pasti sanggup dan mau menghormati (mamolaya) ipar atau saudara istrinya.

Zaman sudah berubah. Babi-babi di Nias gampang terserang penyakit mematikan. Beternak babi pun bukanlah pekerjaan yang menjanjikan hasil yang menguntungkan. Pada zaman sekarang, jika beternak babi, seseorang mesti mengeluarkan banyak uang untuk membeli vaksin atau obat babi. Kalau tidak, babinya tidak berkembang biak bahkan mati seketika.

Melihat konteks zaman ini, kita patut berterima kasih kepada warga Nias yang sudah tidak lagi menuntut pihak-pihak samolaya melakukan kewajiban adatnya, yakni menghormati ipar, mertua, talifusö dengan sejumlah babi. Kita juga berterima kasih kepada warga Nias yang sudah memahami bahwa inti tradisi famolaya adalah perbuatan etis-kultural bukan ekonomis-material. Semoga kesadaran-kesadaran semacam ini semakin membangun budaya Nias dan bukan justru melupakannya. Marilah kita memelihara tradisi famolaya dengan tindakan-tindakan yang sepadan, tidak harus dengan materi “babi” yang sekarang semakin “mahal” memeliharanya di Nias.

 

 

Postinus Gulö adalah lulusan S-1 Ilmu Filsafat dan S-2 Ilmu Teologi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; menulis tesis “BÖWÖ DALAM TRADISI PERKAWINAN ÖRI MORO’Ö-NIAS BARAT: PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA.” Alamat email: postinusgulo@gmail.com.

 

Posted in Budaya | Dengan kaitkata: , , | 4 Comments »

Tulisan ini ditarik

Posted by postinus pada Agustus 23, 2011


Mohon maaf. Tulisan ini ditarik.

Posted in Budaya | 1 Comment »