Oleh Postinus Gulö*
Pengantar
Sistem böwö perkawinan adat Nias diatur dalam fondrakö. Menurut Viktor Zebua, istilah fondrakö berasal dari kata rakö, artinya: tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi.[1]Dalam pemahaman Sökhi’aro Welther Mendröfa, ada 3 hal yang menjadi jiwa fondrakö yakni: (1) masi-masi (kasih sayang), (2) möli-möli (pengasuhan/pencegahan) dan (3) rou-rou (pendorong berbuat/pengasahan).[2]
Fondrakö memiliki lakhömi (wibawa) sehingga dituruti rakyat, akan tetapi ia bukanlah seperangkat hukum adat yang kaku. Ia fleksibel. Victor Zebua menulis demikian: ”Fondrakö sesungguhnya bersifat fleksibel, hidup dan berkembang seirama dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Ada peluang untuk menyesuaikan peraturan dan hukum adat Nias dengan dinamika sosial dan perkembangan zaman.”[3]Dengan kata lain, fondrakö disusun berdasarkan situasi, kehendak dan kesepakatan masyarakat adat. Dengan demikian, fondrakö merupakan konsensus, bukan barang yang jatuh dari langit yang mesti diterima begitu saja tanpa menyesuaikannya dengan situasi dan kehendak rakyat. Pendeknya, fondrakö bisa diamandemen jika rakyat menghendakinya.
Fondrakö Öri Moro’ö Si Lima Ina
Tata aturan perkawinan serta besar-kecilnya böwö di Öri Moro’ö diatur di dalam Fondrakö Si Lima Ina (Hukum Adat 5 puak marga) yang lebih dikenal dengan istilah Tekhemböwö. Menurut informan Saramböwö Gulö yang rumahnya bersebelahan dengan patung Tekhemböwö yang sekarang ada di Sisarahili I-Hiligoe, istilah Tekhemböwö merupakan padanan dari kata tekhe = hasil musyawarah dan böwö = jujuran/mas kawin. Tekhemböwö berarti jujuran yang sudah disepakati secara bersama-sama. Patung Tekhemböwö didirikan sebagai saksi sejarah dari kesepakatan bersama-sama tersebut.
Gambar: Batu Megalit (Gowe) Tekhemböwö (Foto: Munieli Gulö, S.Pd)
Setiap Öri (negeri, gabungan beberapa kampung) memiliki fondrakö sendiri. Demikianlah Öri Moro’ö memiliki fondrakö tersendiri yang berbeda (dan tentu juga ada yang sama) dengan Öri yang lain yang ada di Pulau Nias. Menurut penuturan beberapa informan seperti Saramböwö Gulö dari Hiligoe, Ama Sati Gulö dari Lauru dan juga Katekis Simon Waruwu dari Hilimburune, yang berinisiatif membuat fondrakö Moro’ö Si Lima Ina adalah Raja Moro’ö sendiri, yakni Uku Gulö yang bergelar Balugu Angetula (Tuan penentu segala keputusan).
Balugu Uku menyadari bahwa suatu Öri tidaklah kokoh jika tidak memiliki hukum adat. Oleh karena itulah, dia bersama 4 orang lainnya (Manofu Gabua Zebua, Falakhi Denawa Waruwu, Fahandrona Hanakha Hia, dan Balugu Burusa Zai), menyusun hukum adat sendiri yang disebut Fondrakö Tekhemböwö. Selain itu, pembuatan Fondrakö Tekhemböwö bertujuan untuk menjaga persatuan di antara 5 puak dan dengan demikian tercipta kesejahteraan lahir batin (fa’ohau-hau dödö) baik di antara rakyat maupun di antara para tetua adat.[4]Kelima nenek moyang Öri Moro’ö berdomisi di Ombölata Luha Mangonia yang sekarang sudah tidak berpenghuni. Sekarang Ombölata Luha Mangonia termasuk dalam wilayah Hiligoe-Sisarahili I. Dalam perjalanan waktu, kelima nenek moyang ini saling berpisah dan mendirikan kampung masing-masing.
Gambar: Prasasti Nenek Moyang Moro’ö Si Lima Ina (Foto: Munieli Gulö, S.Pd)
Berdasarkan penuturan tokoh-tokoh adat Öri Moro’ö seperti Lahumawa Gulö/Ama Molia, Sumöla Gulö/Ama Hu’u, Waoziduhu Gulö/Ama Ari, dan Ama Wao Zebua pada tahun 1990 warga Öri Moro’ö sudah 21 generasi sejak dari Uku. Menurut ilmu antropologi, satu generasi dihitung 25 tahun, maka Balugu Uku berdiam di Ombölata Luha Mangonia pada tahun 1465.[5]Jika hitungan satu generasi 30 tahun, maka Balugu Uku berdiam di Ombölata Luha Mangonia pada tahun 1360.[6]Dengan merujuk pada penuturan beberapa informan, penulis memperkirakan bahwa ± antara tahun 1360 – 1465 Balugu Uku mengadakan Fondrakö Moro’ö Si Lima Ina.
Suatu ketika, ± antara tahun 1360 – 1465, kelima nenek moyang Öri Moro’ö yang dipimpin Balugu Uku mempersiapkan diri untuk mengesahkan fondrakö. Pertama-tama Balugu Uku meminta Kabua Wa’u – ahli pembuat patung batu yang ada di Börö Nadu-Gomo – untuk membuat patung batu yang menyerupai nenek moyang (faedona) Balugu Uku, yakni Ndrundru Tanö Banua[7] yang memiliki dua orang anak yakni Hulu Börö Danö dan Silögu. Tinggi patung batu faedona itu sekitar 80 cm. Badan besar patung batu adalah patung Ndrundru Tanö Banua sebagai pemegang sumber wasiat (sokhö oroisa). Pada patung Ndrundru Tanö Banua bagian depan menempel patung Hulu Börö Danö, sebagai penerima dan pemegang tata aturan böwö perkawinan. Di bagian belakang patung Ndrundru Tanö menempel (sedang digendong) patung Silögu sebagai pemegang semua hukum adat Moro’ö.
Balugu Uku berjanji akan memberi böwö sebagai upah membuat patung batu kepada Kabua Wa’u sebanyak 5 macam emas, setiap macam sebesar 100 batang emas[8] dan 9 karung sirih (9 karung daun sirih, 9 karung pinang, 9 karung daun gambir, 9 karung tembakau, dan 9 karung kapur).[9]Kabua Wa’u dengan senang hati bersedia membuat patung batu faedona[10] tersebut. Kabua Wa’u membutuhkan waktu 9 tahun untuk membuat patung batu pesanan Uku. Enam bulan sebelum selesai, Kabua Wa’u memberitahu Uku agar bersiap-siap menyambut mereka karena sebentar lagi akan membawa patung tersebut ke Mangonia.