Benang merah seputar pidato utama Paus Fransiskus yang disampaikan di Baku, Kairo dan Ur, menunjukkan betapa perlunya religiusitas yang otentik untuk menyembah Tuhan dan mencintai saudara dan saudari kita, serta komitmen konkret untuk keadilan dan perdamaian.
Pertemuan Antaragama di Ur, Irak pada saat Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus (Foto: Vatican News)
Ada benang merah yang menghubungkan tiga intervensi penting Paus Fransiskus terkait dialog antaragama, dan secara khusus dengan Islam.
Ini adalah magisterium (ajaran resmi Gereja) yang menunjukkan panduan (road map) dengan tiga poin acuan yang fundamental: peran agama dalam masyarakat kita, kriteria religiusitas yang otentik, dan cara konkret untuk berjalan sebagai saudara dan saudari untuk membangun perdamaian. Kita dapat menemukan ketiga poin ini dalam pidato Paus yang ia sampaikan di Azerbaijan pada tahun 2016; di Mesir pada 2017; dan sekarang (2021) selama perjalanan bersejarahnya ke Irak, dalam pertemuan tak terlupakan di Ur Kasdim, kota Abraham.
Teman bicara pada pidato pertama Paus adalah Syiah Azerbaijan, dan juga komunitas agama lain di negara itu. Pidato kedua terutama ditujukan kepada Muslim Sunni Mesir. Akhirnya, yang ketiga ditujukan kepada para hadirin antaragama yang lebih luas yang terdiri dari mayoritas Muslim, namun tidak hanya mencakup orang Kristen tetapi juga perwakilan dari agama-agama Mesopotamia kuno.
Apa yang diusulkan dan diterapkan oleh Paus Fransiskus bukanlah pendekatan yang melupakan perbedaan dan identitas untuk menyamakan semua. Sebaliknya, hal itu adalah panggilan untuk setia pada identitas agama sendiri untuk menolak keyakinan agama apapun untuk menimbulkan kebencian, perpecahan, terorisme, diskriminasi, dan pada saat yang sama, untuk bersaksi dalam masyarakat yang semakin sekuler bahwa kita membutuhkan Tuhan.
Di Baku, di hadapan Syekh Muslim Kaukasus dan perwakilan dari komunitas agama lain di negara itu, Paus Fransiskus mengenang kembali “tugas besar” agama: yaitu “menemani kaum laki-laki dan perempuan mencari makna hidup, membantu mereka untuk memahami bahwa kapasitas terbatas manusia dan barang-barang dunia ini tidak boleh menjadi absolut”.
Di Kairo, ketika berbicara pada Konferensi Internasional untuk Perdamaian yang dipromosikan oleh Imam Besar Al Azhar, Al Tayyeb, Paus Fransiskus mengatakan bahwa Gunung Sinai “mengingatkan kita terutama bahwa perjanjian otentik di bumi ini tidak dapat mengabaikan surga, bahwa manusia tidak dapat berusaha untuk menjumpai satu sama lain dalam damai dengan menghilangkan Tuhan dari cakrawala, mereka juga tidak dapat mendaki gunung untuk mendapatkan Tuhan yang hanya sesuai bagi diri mereka sendiri. “Itu adalah pesan yang sangat tepat pada saat itu dalam menghadapi apa yang disebut Paus sebagai “paradoks berbahaya”, yaitu, di satu sisi, kecenderungan untuk menurunkan agama hanya ke ranah privat (the private sphere), “seolah-olah itu bukan dimensi esensial pribadi manusia dan masyarakat”; dan di sisi lain, kebingungan yang tidak tepat antara ranah agama dan politik.
Pada hari Sabtu, 6 Maret 2021 di Ur, Paus Fransiskus mengenang kembali bahwa jika manusia “mengecualikan Tuhan, manusia akhirnya menyembah sesuatu dari bumi ini”, oleh karena itu Paus mengundang manusia untuk mengangkat “pandangannya ke Surga” dan mendefinisikan sebagai “religiusitas yang sejati,” yaitu menyembah Tuhan dan mencintai sesamanya. Di Kairo, Paus menjelaskan bahwa para pemimpin agama dipanggil “untuk membuka tabir kekerasan yang menyamar sebagai kesucian yang diakui dan lebih didasarkan pada ‘pengabsolutan’ keegoisan daripada keterbukaan otentik kepada Yang Mahamutlak” dan untuk “menolak berbagai pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan dan hak-hak manusia, membuka upaya-upaya untuk membenarkan setiap bentuk kebencian atas nama agama, dan mengutuk upaya-upaya ini sebagai karikatur penyembahan berhala terhadap Tuhan”.
Di Baku, Paus menggarisbawahi sebagai tugas agama bahwa membantu “untuk membedakan yang baik dan mempraktikkannya melalui perbuatan, doa dan ketekunan memelihara hidup batin, para penganut agama dipanggil untuk membangun budaya perjumpaan dan perdamaian, berdasarkan pada kesabaran, saling pengertian, dan rendah hati, dengan langkah-langkah nyata”. Pada waktu terjadi konflik, agama – kata Paus di Azerbaijan – “harus menjadi fajar perdamaian, benih kelahiran kembali di tengah kehancuran kematian, gema dialog yang bergaung tanpa henti, jalan terhadap perjumpaan dan rekonsiliasi untuk mencapai bahkan tempat-tempat di mana upaya mediasi resmi tampaknya tidak membuahkan hasil”.
Di Mesir, Paus menjelaskan bahwa “tidak ada hasutan untuk melakukan kekerasan yang akan menjamin perdamaian” dan bahwa “untuk mencegah konflik dan membangun perdamaian, sangatlah penting bahwa kita tidak melakukan upaya untuk menghilangkan situasi kemiskinan dan eksploitasi di mana ekstremisme justru lebih mudah berakar”. Kata-kata ini juga digaungkan dalam pidatonya di Ur: “Tidak akan ada perdamaian tanpa saling berbagi dan menerima, tanpa keadilan yang menjamin kesetaraan dan kemajuan untuk semua, dimulai dengan mereka yang paling rentan. Tidak akan ada perdamaian kecuali orang-orang mengulurkan tangan kepada orang lain”.
Dengan demikian, ketiga intervensi kepausan menunjukkan peran yang dimiliki religiusitas saat ini di dunia di mana merajalelanya konsumerisme dan penolakan terhadap yang sakral, dan di mana ada kecenderungan untuk menurunkan keyakinan ke ranah privat. Namun demikian, kata Paus, ada kebutuhan akan religiusitas yang otentik, seseorang tidak pernah memisahkan penyembahan kepada Tuhan dari cinta untuk saudara dan saudari kita.
Terakhir, Paus menunjukkan cara bagi agama-agama untuk berkontribusi demi kebaikan masyarakat kita, mengingat kebutuhan akan komitmen untuk tujuan perdamaian, dan untuk menanggapi berbagai masalah dan kebutuhan konkret dari mereka yang terkecil, yang miskin, yang tidak berdaya. Hal ini merupakan usulan untuk berjalan berdampingan, “semua saudara”, untuk menjadi pelaku perdamaian dan keadilan yang konkret, melampaui perbedaan dan menghormati identitas masing-masing.
Contoh dari jalan ini dikutip oleh Paus Francis ketika dia mengingat kembali bantuan yang ditawarkan oleh para pemuda Muslim kepada saudara-saudara mereka yang beragama Kristen dalam membela gereja-gereja di Baghdad. Contoh lain adalah kesaksian di Ur dari Rafah Hussein Baher, seorang perempuan Irak penganut agama Sabean-Mandean, yang dalam kesaksiannya ingin mengenang pengorbanan Najay, seorang pria beragama Sabean-Mandean dari Basra, yang kehilangan nyawanya untuk menyelamatkan tetangganya yang Muslim.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan berbahasa Inggris(https://www.vaticannews.va/en/church/news/2021-03/pope-francis-islam-iraq-magisterium-cairo-baku-ur.html)