BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.421 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    Januari 2010
    S S R K J S M
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    25262728293031

Archive for Januari, 2010

Secret of Success

Posted by postinus pada Januari 24, 2010


Bagi Ralp Waldo Emerson rahasia utama kesuksesan adalah kepercayaan diri. Self-trust is the first secret of success.  Rasa-rasanya benar. Kepercayaan dirilah yang mendorong kita berinisiatif, melangkah, berani berjuang, berani memilih dan memutuskan untuk bertindak. Artinya, kepercayaan diri inilah yang menggerakkan, mendorong, meneguhkan, meyakinkan kita bertindak.

Sebaliknya adalah keragu-raguan. Keragu-raguan menghambat kita bertindak. Tidak berani memutuskan. Tidak berani memilih. Kalau memilih pun pasti lamban. Maka orang yang ingin sukses adalah orang yang berani memilih dan membuat keputusan. Orang yang berani memilih adalah orang yang memiliki kepercayaan diri, tidak ragu-ragu, dan tidak rendah diri. Ia melihat dirinya mampu meraih kesuksesan walau melewati tantangan berat. Positif melihat kemampuannya. Optimis! Saya bisa! Saya harus bisa! Saya pasti bisa! Yes, I can!

Setiap manusia telah dianugrahi keistimewaan oleh Allah. Rahmat keistimewaan itu antara lain akal budi dan kehendak bebas. Akal budilah yang memampukan manusia kreatif, mampu memecahkan masalah, mampu memanfaatkan peluang meraih kesuksesan. Orang yang tidak kreatif berarti tidak menggunakan akal budinya. Kehendak bebas adalah rahmat berharga. Berkat rahmat ini manusia menjadi makhluk yang mampu memilih, dan berani memutuskan, sekaligus sadar akan konsekuensi atas pilihan dan keputusannya.

Apa yang telah dipilih diperjuangkan. Konsisten dijalankan. Menerima konsekuensi yang ditimbulkannya. Harus disadari bahwa pilihan tidak selalu sesuai dengan idealisme atau harapan awal. Harus disadari bahwa kadang kita mengalami kegagalan pada pilihan kita. Tapi jangan kendor semangat. Orang yang tak pernah gagal adalah orang yang tak pernah mencoba. Orang yang tak pernah salah adalah orang yang tak pernah berusaha. Kalau tidak pernah mengalami kegagalan, kita tak merasakan begitu berharganya kesuksesan itu.

Posted in Kumpulan Tulisan-Opini, Motivasi | 1 Comment »

Mengalami Sakramen dalam Terang Estetika Teologis

Posted by postinus pada Januari 22, 2010


Oleh Postinus Gulö*

Pengantar

Dalam makalah ini, penulis secara khusus membahas sakramen dalam terang estetika teologis. Penulis menyadari bahwa sangat perlu memahami sakramen dalam terang estetika teologis. Selama ini banyak umat hanya memahami sakramen secara kognitif. Seolah-olah sakramen itu hanyalah kegiatan kognitif bahkan dipandang hanya sebagai tindakan etis/tindakan kesalehan. Sakramen tidak disadari sebagai pengalaman estetis. Tak jarang sakramen itu dipandang sebagai formalitas dan utilitas belaka, sepanjang ada gunanya. Melihat fenomena ini secara tidak sadar umat kita diam-diam menggugat sakramen. Diam-diam umat kita memposisikan diri sebagai penonton dalam perayaan sakramen. Mereka tidak partisipatif-aktif, mereka tidak memposisikan diri sebagai aktor tetapi sebagai penilai. Akibatnya, mereka cepat bosan dan kecewa melihat perayaan sakramen Katolik itu.

Dalam estetika teologis, yang ditekankan adalah pengalaman bukan pengetahuan. Oleh karena itu, dalam terang estetika teologis, sakramen itu bukan untuk diketahui, bukan untuk dipahami melainkan untuk dialami. Melalui sakramen kita bersedia dialami oleh Allah sekaligus kita secara aktif nyemplung untuk mengalami kehadiran dan sentuhan Allah. Oleh karenanya, yang kita alami bukan kepuasan kognitif melainkan afektif (daya rasa dan cinta). Jika sakramen dihayati sebagai pengalaman estetis maka umat akan mengalami pertumbuhan jiwa.

Sakramen adalah tanda yang terlihat, yang dapat ditangkap oleh panca indera, yang dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai sarana yang dengannya rahmat ilahi diindikasikan oleh tanda yang diterimakan, yang membantu pribadi penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan, dan berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian. Sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.

  Baca entri selengkapnya »

Posted in Kumpulan Tulisan-Opini, Teologi | Leave a Comment »