Perkembangan Monoteisme dalam Alkitab Ibrani
Posted by postinus pada Maret 4, 2008
1. Latar Belakang Geografis Kultural-Religius
Penyembahan kepada banyak dewa merupakan usaha untuk mempersonifikasikan[1] Yahweh yang gaib, yang transenden, yang tak kelihatan ke dalam dunia manusia. Namun, Israel Kuno kurang menyadari bahwa tindakan itu merupakan “buatan” mereka sendiri dan bukan Allah sejati. Dalam tindakan itu Yahweh justru disingkirkan. Di Kanaan, misalnya, dewa utama adalah baal hadad, yakni dewa angin, dewa kilat, dewa guntur, dan dewa hujan yang diberi karakteristik seperti manusia.[2] Di Kanaan, masyarakat yang sangat ambisi untuk mengejar kekayaan menyadari bahwa beribadat kepada Allah secara benar merugikan, karena mereka harus mengikuti ajaran Yahweh untuk menuruti peraturan kesusilaan yang ketat dalam hidup sehari-hari. Peraturan itu tidak membantu mereka untuk cepat menjadi kaya. Sedangkan beribadat kepada baal menguntungkan: baal tidak menuntut kejujuran hidup yang begitu ketat; baal cukup puas dengan perhatian yang diberikan kepadanya melalui ibadat.[3]
Secara umum, Asia Barat Daya Kuno berkeyakinan politeisme; dan Israel hidup di tengah situasi seperti itu. Inti keyakinan politeisme adalah memuja banyak dewa, seperti dewa baal (beelzebul), juga dewa yang dikultuskan menjadi dewa nasional yang memiliki kedudukan yang paling tinggi. Melihat situasi demikian, Raja Akhenaten dari Mesir membuat sentralisasi penyembahan dewa: harus menyembah dewa matahari; dewa lain jangan disembah. Oleh karena itu, tempat kudus dewa yang lain itu dihancurkannya; sehingga para imam banyak yang kehilangan pekerjaan. Akibatnya, muncul pemberontakkan dari para penganggur. Pemberontakkan ini yang menyebabkan Raja Akhenaten gagal memperjuangkan monoteisme. Maka, Asia Barat Kuno kembali ke pan-theon (kumpulan dewa-dewa). Jadi, Asia Barat Kuno kembali ke politeisme.
Israel hidup dalam situasi sosial-kultural masyarakat yang sebagian besar menganut politeisme dan sebagian lagi menyetujui sentralisasi dewa. Pertanyaannya, jika demikian situasinya, bagaimana Israel sampai pada paham monoteisme, mengingat alam sekitarnya politeisme? Kapan dan bagaimana hal itu terjadi. Jawaban dari pertanyaan ini, ada kaitannya dengan pembahasan berikutnya.
2. Perkembangan Monolatri Israel kuno Monolatri adalah suatu paham yang memuja hanya satu dewa dengan tidak peduli pada dewa lain. Monolatri ini dapat ditelusuri jejak-perkembangannya melalui tahap-tahap berikut:
- Tahap Abraham
Dalam Talmud dan Qur’an diceritakan bahwa Abraham pernah menghancurkan patung dewa-dewa (hal ini tidak diceritakan dalam Kitab Suci Kristen) . Oleh karena itu, Abraham dianggap sebagai pelopor monoteisme Israel. Dalam Kejadian 12-50, diceritakan bahwa ada hubungan khusus antara Allah dengan leluhur Israel; sehingga muncul sebutan: Allah nenek moyangku (Allah ayahku), Allah Ishak, Allah Yakub dan Allah Abraham. Namun, dalam sebutan ini belum disertai penyangkalan akan dewa lain (lih. Kej. 31: 19. 30-35). Singkatnya, bangsa Israel mengakui bahwa selain Allah yang mereka sebut sebagai Allah nenek moyangku, mereka juga mengakui manifestasi El sebagai Allah tertinggi Kanaan. Jadi, dalam tahap Abraham ini, belum terungkap sikap monoteisme murni; tahap ini hanya sebuah monolatri saja.
- Tahap Musa
Dalam tahap ini ada perkembangan ke arah monoteisme. Dasar jejak-jejak monotesime itu tampak dalam Keluaran 20:2-6: Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir. Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu dan jangan sujud menyembah dan jangan beribadah kepada mereka. Sebab, Aku, Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu. Dalam rumusan ini, belum terungkap paham monoteisme dalam arti ketat. Karena seruan yang ada dalam kutipan Kitab Keluaran yang telah diuraikan di atas tadi, belum ada nada yang menyingkirkan dewa lain. Memang harus diakui bahwa dalam ayat-ayat Keluaran itu, ajakan untuk beribadat kepada Yahweh bersifat eksklusif, tetapi keberadaan dewa lain belum disangkal secara keras. Bahkan allah lain diandaikan ada dan mengancam. Karena diandaikan ada dan mengancam, maka Israel dilarang dengan tegas: allah lain tidak boleh ada di hadapanKu. Israel hanya boleh menyembah Yahweh Pembebas. Namun, kalimat ini juga belum monoteisme, ini hanya monolatri yaitu penyembahan eksklusif kepada Yahweh.
3. Perjuangan Para Nabi
Pada zaman para nabi, kerajaan di sekitar Israel Kuno diwarnai paham sinkretisme. Di tengah masyarakat yang menganut paham sinkretisme itu, para nabi tergerak untuk memperjuangkan ibadat eksklusif kepada Yahweh. Dalam ajarannya, para nabilah yang dengan keras menyuarakan bahwa dewa lain tidak ada: ilah lain itu tidak ada apa-apanya, tidak berdaya, hanya buatan tangan manusia saja. Dalam Kitab Para Nabi, kita bisa melihat beberapa ilustrasi yang mendeskripsikan bagaimana para nabi mengolok-olok dewa-dewa yang mereka anggap sebagai buatan tangan manusia. Dan, dalam perjuangan para nabi tersebut, terdengar monoteisme tegas, sadar dan eksplisit.
- Nabi Elia
Ketika Izebel[4] berusaha memajukan agama Kanaan yang notabene penyembah dewa baal, Nabi Elia tampil dan menentangnya. Elia yang hidup menurut tradisi-tradisi lama, berusaha keras mempertahankan cita-cita luhur yang diberikan Tuhan dalam Perjanjian dan Hukum, yakni ajakan untuk menyembah hanya kepada Yahweh (Tuhan) dan bukan kepada baal. Melihat sikap Izebel yang memperjuangkan agama Kanaan, Elia menjadi marah. Karena dengan menyembah berhala (baal), keluhuran panggilan bangsa Israel sebagai umat Allah ditukar dengan kebudayaan Kanaan; dan Tuhan, Allah sendiri ditukar dengan baal-baal Kanaan.
Orang Kanaan mempunyai banyak dewa-dewi. Dewa utama mereka adalah baal hadad, yakni dewa angin, dewa kilat, dewa guntur, dan dewa hujan. Oleh karena angin itu membawa hujan, maka baal hadad diberi peran sebagai dewa kesuburan dan kemakmuran. Dewa baal hadad didampingi oleh dewi Anat (dalam Alkitab biasanya disebut Asyera atau Astarte). Sekitar abad ke-9, Nabi Elia mengolok-olok dewa Kanaan itu sebagai dewa yang yang tak mampu berbuat apa-apa. Dalam 1Rj 18:20-40, memperlihatkan bagaiamana Elia mengadakan pertaruhan antara Allah dengan baal. Kisah ini penuh dengan olok-olokan, sindiran dan ironi: nabi-nabi baal berlaku aneh-aneh untuk menarik perhatian dewa mereka. Namun, ternyata ritual para nabi-nabi baal itu tidak berhasil menggerakkan dewa angin dan kilat untuk menyalakan api pada persembahan mereka.
Sedangkan Nabi Elia dengan penuh kepercayaan ia menuangkan air ke atas kayu api dan korban, kemudian ia berdoa dengan sangat sederhana untuk memanggil TUHAN, Allah Abraham, Ishak, dan Israel, lalu turunlah kilat (api TUHAN) untuk menyalakan api dan melahap habis korban persembahan nabi Elia. [5] Oleh karena itu, Nabi Elia mengolok-olok para nabi baal dan bahkan Elia menyuruh rakyat untuk menangkap dan menyembelih para nabi baal itu (1Raj 18: 40).
- Nabi Hosea
Nabi Hosea (abad ke-8) adalah ahli waris nabi Elia. Sama seperti Elia, ia juga sangat menentang orang-orang yang melakukan penyerangan terhadap iman yang benar dan murni. Dalam Hosea 8: 4-7, diceritakan bahwa orang Asyur meneruskan dosa Raja Yerobeam yang mendirikan patung anak sapi di Betel dan di Dan. Ibadat berhala itu menimbulkan murka Tuhan. Dalam situasi seperti itu, tampillah nabi Hosea dan menelanjangi ibadat palsu Israel. Bahkan nabi Hosea berani menghina patung berhala Kanaan.
- Nabi Yesaya
Ia pernah menuduh bahwa Kanaan menyembah buatan mereka sendiri (Yes 2:8). Yesaya tampil pertama kali pada tahun 740 – 735 (pada pemerintahan raja Yotam). Ia mengecam orang-orang besar di Yehuda dan di Yerusalem karena melanggar hukum Allah. Pada tahun 734, Yesaya mendesak raja Ahas untuk percaya kepada Tuhan, walaupun tidak dindahkan oleh raja Ahas. [6]
- Nabi Yeremia
Pada abad ke-7, Yeremia dengan lantang menyerukan bahwa dewa Kanaan bukan Allah, dan para dewa tersebut adalah sia-sia saja (Yer 2: 5 dan ayat 11). Selama 40 tahun, Yeremia melakukan pelayanan sebagai nabi (626 – 580). Ia juga ikut mendorong pembaharuan keagamaan Kerajaan Yehuda (626-609). Hanya Yeremialah yang menyerupai Yesus dalam sejarah Israel, karena ia mengajar dalam bentuk perumpamaan, sama seperti Yesus. Yeremia yang menubuatkan kehancuran Yerusalem dan Kenisah karena Israel tidak setia pada Yahweh. Bahkan Yeremia juga melawan dan menentang ibadah tanpa kesetiaan (Yer 7:21-28). [7]
4. Monoteisme Mazhab Deuteronomis
Ketika Yosia memerintah sebagai raja (640-609), ia melakukan pembaharuan (reformasi) , salah satunya adalah reformasi menyangkut tata peribadatan. Faktor utama yang mendorong reformasi itu adalah ditemukannya Kitab Taurat atau Kitab Perjanjian (Kitab Ulangan yang berisi upacara pengadaan perjanjian dan hukum) di Bait Allah pada tahun 621.[8] Yosia menghendaki sentralisasi ibadat dan dengan tegas kembali ke hukum Musa, seperti yang tertulis dalam Kitab Taurat (Kitab Ulangan) itu. Dalam Kitab Ulangan, secara tegas melarang Israel agar tidak menyembah baal dan sekaligus juga ada ajakan agar Israel setia pada dan berpaut pada Yahweh saja. “Dengarlah (shema), hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa (ehad)! Kasihilah TUHAN, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul. 6:4-5). Kata Esa atau Adonai Ekhad (Tuhan itu Esa), mau menegaskan bahwa monoteisme Israel bukan cuma ide (teori) melainkan harus dijadikan sebagai sikap hidup (etis dan moral). Singkatnya, monoteisme sebagai sikap hidup diterapkan secara menyeluruh. Oleh karena itu, hanya satu tempat ibadat yang diperbolehkan, yakni di Yerusalem, sedangkan tempat ibadat yang lain ditutup.
Aslinya, kata Adonai Ekhad, kabur dan bersifat umum. Karen Armstrong, menyebut Adonai Ekhad dengan sebutan lain “Yahweh Ehad”. Kata Yahweh Ehad di dalam tulisan Karen juga memiliki makna yang kabur, karena kata itu tidak berarti Allah itu Esa melainkan Yahweh adalah satu-satunya “allah” yang diizinkan untuk disembah. Tuhan-tuhan lain masih merupakan sebuah ancaman: pemujaan mereka sangat atraktif dan bisa memalingkan orang Israel dari Yahweh sebagai Tuhan yang Pencemburu.[9] Tetapi editor terakhir Kitab Deuteronomis mengartikan Adonai Ekhad itu sebagai paham monoteisme. Oleh karenanya, sang editor melengkapi kata itu dengan kalimat singkat: “tidak ada yang lain kecuali Dia”. Dengan pernyataan ini, eksistensi allah lain disangkal secara tegas. Bahkan jika Israel mematuhi hukum-hukum Yahweh akan diberkati olehNya, bahkan menganugerahkan kesejahteraan kepada mereka. Tetapi jika mereka berkhianat, mereka akan dihukumNya (Bdk Ul 28 64-67).
5. Monoteisme Yesaya Kedua
Selama dipembuangan, iman monoteisme Israel lamban-laun mencapai kematangan dan kemajuan. Cerita mengenai kemajuan dan perkembangan ini tampak dari kesaksian tokoh anonym yakni Deutero Yesaya. Dikatakan anonym karena nada dan isi bab 1-39 (Yesaya Pertama), berbeda dengan apa yang ada dalam bab 40-55 (Deutero Yesaya) dan Tirto Yesaya (Yes 56-66). Menjelang akhir pembuangan, Yesaya kedua bernubuat tentang sebuah rencana eksodus Allah dari Babel ke Tanah Terjanji. Dalam nubuat itu terkandung monoteisme yang paling tegas. Gema refrein pengakuan itu paling terasa dalam Yes 45: Akulah Tuhan, dan tidak ada yang lain. Akulah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Refrain Kitab Yesaya ini mengingatkan kita akan saudara kita Muslim (Qur’an). Karena dalam bab ini, yang khas adalah disinggungnya secara terus-menerus ide tentang Pencipta dan Penyelamat. Jadi, keyakinan monoteisme itu erat terkait dengan paham Allah Pencipta. Dan, Allah seperti itulah yang menyelamatkan dalam situasi krisis. Kores dipakai Allah untuk mewujudkan penyelamatan dan pembembasanNya itu. Jadi, lewat krisis yang dialami selama di pembuangan, justru Israel dihantar pada pemahaman monoteisme sejati.
Seperti sudah diuraikan di atas, peristiwa krisis (pembuangan) memampukan Israel untuk loncat ke monoteisme, pencarian Allah sejati. Berbeda dengan para filsuf. Para filsuf dengan kecerdasan intelektual mencari causa prima semesta ini. Dalam pencarian itu, para filsuf akhirnya menyimpulkan bahwa causa prima alam semesta adalah Allah. Dari gagasan filosofis itu, para filsuf baru meloncat ke pengalaman bahwa Allah sebagai pribadi. Jadi, para filsuf mengalami Allah melalui karyaNya, sementara Israel, justru sebaliknya, mengalami Allah sebagai pribadi dulu baru Allah dipahami dalam karyaNya.
[3] Lihat Martin Harun, OFM, Pengantar Kitab-kitab Para Nabi (diktat perkuliahan), hlm., II-2
[4] Lihat Martin Harun, OFM, Pengantar Kitab-kitab Para Nabi (diktat perkuliahan), hlm., II-2. Dalam halaman itu diceritakan bahwa Izebel seorang putri Sidon yang kemudian menjadi istri Ahab, anak dari Omri, seorang panglima yang kemudaian menjadi raja di Kerajaan Israel Utara (1Raj 15:25 – 16:28)
[6] Ibid
[8] Martin Harun, Op.Cit., hlm., IV-3
[9] Karen Armstrong, Op. Cit., hlm. 88
Menuju Allah yang Satu: Belajar dari Kisah-Kisah Kitab Suci | @jalur76 said
[…] Bdk., https://postinus.wordpress.com/2008/03/04/perkembangan-monoteisme-dalam-alkitab-ibrani, diakses tanggal 10 November […]