BERBAGI INSPIRASI

  • Hargailah Hak Cipta Orang Lain!

    Para pembaca terhormat, Anda boleh mengutip tulisan-tulisan yang saya muat dalam blog ini. Akan tetapi, marilah menghargai hak cipta saya sebagai penulis artikel. Jika Anda mengutip semua satu tulisan (meng-copy paste), WAJIB meminta izin atau persetujuan saya.

    Tulisan-tulisan saya dalam blog ini bertujuan untuk pembelajaran dan bukan untuk bisnis.

    Saya cari-cari melalui mesin pencarian google, ternyata sudah banyak para pembaca yang memindahkan tulisan-tulisan dalam blog ini, atau tulisan-tulisan yang saya publikasikan di situs lainnya dikutip dan diambil begitu saja tanpa meminta izin dan tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis artikel. Semoga melalui pemberitahuan ini tindakan pengutipan artikel yang tidak sesuai aturan akademis, tidak lagi diulangi. Terima kasih. Ya’ahowu!

  • ..


    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    widget

  • Image

  • Blog Stats

    • 268.470 hits
  • Janganlah……………

    Penginjil Lukas berusaha mewartakan Yesus yang memperhatikan orang-orang lemah dan berdosa. Dalam perikop Lukas 18: 9-14 jelas tampak ciri khas pewartaan Lukas itu. Orang Farisi adalah orang yang taat hukum. Tetapi mereka suka merendahkan orang lain. Terutama pendosa. Kaum Farisi cenderung mengungkit-ungkit kesalahan orang lain. Mereka suka menyombongkan diri. Orang Farisi suka mempermalukan orang berdosa. Merasa diri lebih baik dan lebih benar. Kerendahan hati tiada dalam hati mereka. Celakanya, ketika berdoa di hadapan Allah yang tahu apapun yang kita perbuat, orang Farisi justru bukan berdoa tetapi membeberkan bahwa ia tidak seperti pemungut cukai, pendosa itu. Orang Farisi bukan membawa orang berdosa kembali pada Allah. Bayangkan saja. Pemungut cukai itu tenggelam dalam dosanya. Mestinya,orang Farisi mendoakan dia agar ia kembali kepada Allah. Agar ia bertobat. Rupanya ini tidak muncul. Orang Farisi berlaga sebagai hakim, yang suka memvonis orang lain. Sikap kaum Farisi ini, tidak dibenarkan oleh Yesus.

    Sebaliknya Yesus membenarkan sikap pemungut cukai. Pemungut cukai dalam doanya menunjukkan dirinya tidak pantas di hadapan Allah. Pemungut cukai sadar bahwa banyak kesalahannya. Pemungut cukai mau bertobat, kembali ke jalan benar. Ia tidak cenderung melihat kelemahan orang lain. Ia tidak memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain. Ia sungguh menjalin komunikasi yang baik dengan Allah. Pemungut cukai memiliki kerendahan hati. Ia orang berdosa yang bertobat!

    Karakter Farisi dan pemungut cukai ini bisa jadi gambaran sifar-sifat kita sebagai manusia. Kita kadang menggosipkan orang lain. Suka membicarakan kelemahan orang lain. Tetapi kita tidak berusaha agar orang lain kembali ke jalan benar. Kita bahagia melihat orang lain berdosa. Kita membiarkan orang lain berdosa. Kita bangga tidak seperti orang lain yang suka melakukan dosa. Kita sering meremehkan orang-orang yang kita anggap pendosa tanpa berusaha mendoakan mereka. Tugas kita bukan itu. Tugas kita adalah membawa orang lain kembali pada Allah.

    Marilah kita belajar dari pemungut cukai. Ia sadar sebagai pendosa. Dalam doanya, pemungut cukai meminta belaskasihan dan bukan mengadukan orang lain kepada Allah. Pemungut cukai itu telah menemukan jalan pertobatan. Teman-teman, marilah hadir di hadapan Allah dengan rendah hati. Jangan cenderung melihat kelemahan orang lain. Jika Anda ingin orang lain benar dan menjadi lebih baik, doakanlah mereka agar Allah menuntunya ke jalan pertobatan. ***

  • Orang lain adalah neraka?

    "Orang lain adalah neraka" adalah ungkapan pesimisme Sartre, seorang filsuf eksistensialisme yang mencoba menggugat realitas. Tapi, setuju atau tidak, saya mengira jangan-jangan kita yang justru menjadi neraka bagi orang lain. Fenomena dewasa ini cukup melukiskan bahwa manusia telah menjadi penjara, ancaman, bahkan neraka bagi orang lain. Dengarlah radio pasti setiap hari ada yang terbunuh di moncong senjata, belum lagi yang dibunuh melalui aborsi. Coba Anda bayangkan, berapa ribu orang dalam sekejab menjadi mayat. Lantas, kita bertanya, mengapa terjadi semuanya itu. Apa sih yang dimaui manusia itu?
  • Memaafkan…

    Gimana jika seseorang tidak sadar bahwa ia berbuat salah, sering nyakitin kita? Apakah kita tetap menuntut dia untuk minta maaf? Atau gimana caranya agar terjadi rekonsiliasi? Kayaknya susah memang jika demikian kondisinya. Tapi, seorang teolog, Robert Schreiter mengusulkan: seharusnya kita jangan menunggu pihak yang bersalah meminta maaf. Dan, tidak perlu kita menuntut orang lain minta maaf kalau ia tidak mau minta maaf. Mulailah memaafkan yang lain. Hai, korban, mulailah memaafkan yang lain. Imbuhnya. Saya rasa nasehat beliau ini sangat bijak. Nasehat beliau adalah ungkapan spiritual yang paling dalam. Selama ini, yang terjadi adalah kita sulit memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita. Maka, masalah semakin keruh, situasi semakin mengganas, dan ujung-ujungnya kita "memakan" orang lain. Tidak susah memaafkan jika kita rendah hati. Anda setuju? Manakala Anda mengingat orang yang menyakiti Anda, saat itu Anda dipanggil untuk memaafkannya. Maka, semakin sering Anda mengingat orang yang Anda benci, sesering itu pulalah Anda dipanggil untuk memaafkan.

  • Arsip

  • Kategori Tulisan

  • Sahabat Anda Postinus Gulö

  • Halaman

  • Kalender

    April 2024
    S S R K J S M
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    2930  

Tanggapan Terhadap Fenomena Childfree (1)

Posted by postinus pada Juni 3, 2022


Oleh R.P. Postinus Gulö, OSC*

Pertanyaan:

Pastor, saya Massima, perempuan Katolik. Beberapa waktu lalu seorang youtuber secara terbuka memilih childfree, yakni menikah tapi tidak mau punya anak. Pengakuannya itu menjadi viral di media sosial. Kendati terjadi pro dan kontra, ternyata bemunculan pasutri yang mengaku memilih childfree. Mungkin karena cukup viral, maka childfree ini sempat dibahas di sebuah stasiun televisi swasta. Menariknya, di antara mereka yang memilih childfree itu ada umat Katolik. Pastor, terkait hal ini, saya punya pertanyaan. Berdasarkan ajaran Gereja Katolik, apakah childfree itu dapat dibenarkan? Saya mohon tanggapan Pastor. Terima kasih.

Massima, dari Kota Bandung

Jawaban:

Saudari Massima yang baik, terima kasih pertanyaan Anda ini. Di Eropa dan Amerika Serikat, fenomena childfree sudah ada sejak awal tahun 1800-an dan terus meningkat orang yang memilih childfree tersebut. Akhir-akhir ini di Indonesia, ternyata mulai meningkat fenomena childfree tersebut. Fenomena ini jangan kita pandang enteng. Perlu ada tindakan bijak untuk menghadapinya. Kalau diamati, kita dapat mendefenisikan childfree sebagai keputusan sadar pasangan-suami istri (atau seseorang sebelum dan sesudah menikah) untuk tidak mau memiliki anak.

Sumber foto: http://www.laityfamilylife.va (diakses, 3 Juni 2022)

Jadi, childfree bukan tidak punya anak, yang disebabkan oleh kemandulan alami. Akan tetapi,  menolak kelahiran anak dan karena itu menolak memiliki anak! Kita perlu menegaskan juga bahwa pasangan suami-istri (pasutri) yang mengalami kemandulan alami atau sterilitas bawaan (entah salah satu atau dua-duanya) tidak disebut childfree. Bahkan kemandulan alami (sterilitas) tidak mengakibatkan perkawinan tidak sah (bdk. kanon 1084§3), asalkan kemandulan itu jika sudah diketahui, tidak disembunyikan kepada pasangannya sebelum menikah. Sebab, orang yang melangsungkan perkawinan karena tertipu oleh muslihat yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan, mengenai kualitas seseorang yang dapat mengacaukan persekutuan hidup perkawinan, ia melangsungkan perkawinan dengan tidak sah (bdk. kanon 1098). Salah satu kualitas seseorang adalah soal mandul atau tidak mandul.

1.Menolak Kehendak Allah?

Berdasarkan ajaran Gereja Katolik, apakah childfree itu dapat dibenarkan?Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyadari bahwa ajaran Gereja Katolik tidak semata-mata sebagai pengetahuan. Ajaran Gereja lebih dari itu, yakni sebagai keyakinan yang perlu diimani, diterima, diinternalisasi, dan diwujudkan dengan ketataan dan kerendahan hati. Sebab, ajaran resmi Gereja itu disusun berdasarkan Kitab Suci, tradisi para Rasul dan Gereja. Bahkan melalui proses disermen atau pembedaan roh yang dilakukan dari zaman ke zaman.

Dalam Kitab Hukum Gereja (yang disebut juga Kitab Hukum Kanonik) kanon 1055 §1, kelahiran anak merupakan salah satu dari 3 tujuan perkawinan menurut Katolik. Bagi Gereja Katolik, tiga tujuan perkawinan itu merupakan unsur hakiki perkawinan. Dengan kata lain, jika ada pasutri yang menolak memiliki anak dengan sadar (childfree), berarti mereka menolak dua sekaligus dari tujuan perkawinan: menolak kelahiran anak (bonum prolis) dan pendidikan anak (bonum educationis). Dengan demikian, mereka juga menolak unsur hakiki perkawinan itu sendiri.

Jika kita baca Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian bab 1, ternyata kelahiran anak merupakan kehendak Allah. Dengan kata lain, pasutri yang menolak memiliki anak berarti juga menolak kehendak Allah atas kelahiran anak. Saya mengajak kita pelan-pelan merenungkan dengan sungguh-sungguh Kisah Penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian bab 1 itu. Manusia pertama diciptakan oleh Allah dari tanah. Luar biasanya, setelah Allah menciptakan manusia, Allah tidak lagi mencipatkan manusia dari tanah. Allah menciptakan manusia baru melalui pasutri. Maka Allah memberkati pria dan wanita: “beranak-cuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Di sini, seperti yang ditegaskan Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes no. 50 bahwa Allah bermaksud menganugerahkan panggilan istimewa kepada manusia yang memilih menikah untuk ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri. Tuhan menjadikan pasutri sebagai rekan kerjaNya (Co-Creator Allah) dalam meneruskan kehidupan baru dari generasi ke generasi. Dari pemahaman ini, pasutri yang memilih childfree juga menolak menjadi “rekan kerja Allah” dalam meneruskan kehidupan baru melalui anugerah kelahiran anak.

Dalam anjuran apostolik Amoris Laetitia (AL), Paus Fransiskus meyakinkan kita tentang pertisipasi manusia dalam Kisah Penciptaan. Ia mengajarkan: “Pencipta menjadikan perempuan dan laki-laki berperan dalam karya penciptaan-Nya, dan pada saat yang sama, menjadikan mereka sarana kasih-Nya, dengan mempercayakan kepada mereka tanggung jawab untuk masa depan umat manusia, melalui penerusan hidup manusia” (AL no. 81).

Dari Kej. 1: 28 dan AL no. 81, itu kita sadar pula bahwa “anak” merupakan anugerah Tuhan (il dono di Dio). Bagi Gereja Katolik, mereka yang bersatu dalam ikatan perkawinan merupakan pria dan perempuan yang menjawab panggilan Tuhan. Oleh karena itu, mereka itu juga dipersatukan oleh Tuhan Allah menjadi satu daging dan hanya kematian yang memisahkan keduanya (bdk. Mat 19: 5-6; kanon 1141). Pada saat yang sama, pasutri mesti bersedia menerima kehendak Allah yang telah mempersatukan mereka dalam perkawinan itu sendiri, termasuk menerima “kelahiran anak” sebagai anugerahNya. Mereka yang memilih childfree berarti menolak anak sebagai anugerah Allah!

2. Perkawinan Tidak Sah?

Tujuan perkawinan merupakan unsur hakiki perkawinan. Hal itu dapat kita baca dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1101 §2. Jika unsur hakiki itu ditiadakan atau ditolak sebelum perkawinan berlangsung, maka perkawinan itu juga sebenarnya tidak ada atau tidak sah (nullum). Dengan kata lain, ketika seseorang sebelum menikah dan diwujudkan setelah menikah bahwa menolak kemungkinan untuk terjadinya kehamilan, menolak kelahiran anak dan menolak untuk memberikan pendidikan kepada anak, maka dia melakukan penolakan terhadap kelahiran anak (exclusio boni prolis). Penolakan kelahiran anak dan sekaligus pendidikan anak mengakibatkan perkawinan tidak sah.

Melihat fenomena childfree ini, maka kita semakin sadar betapa pentingnya katekese keluarga digalakkan di dalam keluarga-keluarga Katolik, paroki-paroki dan berbagai keuskupan. Tujuannya adalah agar umat memahami dan menerima status perkawinan sesuai dengan semangat Kristiani. Selain itu, agar pasutri juga berkembang dalam kesempurnaan (bdk. KHK Kanon 1063). Salah satu semangat Kristiani yang perlu dipelihara dan diwujudkan dalam perkawinan, yakni kelahiran anak yang merupakan kehendak Allah sejak awal mula penciptaan manusia.

3. Tawaran Pencegahan Childfree

Ada beberapa tindakan Gereja Katolik untuk mengantisipasi tidak terjadinya penolakan terhadap kelahiran anak.

Pertama, kursus persiapan perkawinan (KPP). Melalui KPP ini, calon pasutri diberi pemahaman memadai mengenai arti dan tujuan perkawinan Katolik. Selain itu, mereka juga dibekali pengetahuan mengenai moralitas perkawinan. Di sini, Gereja menjelaskan bahwa secara moral Kristiani tidak dapat dibenarkan pemakaian alat-alat kontrasepsi dan tindakan aborsi. Gereja mengajarkan bahwa persetubuhan suami-istri mesti terbuka pada kelahiran baru. Dengan memakai alat-alat kontrasepsi berarti menolak keterarahan pada kelahiran anak. Bahkan, menolak kehidupan (contra vita).

Kedua, pemeriksaan kanonik. Dasarnya adalah Kitab Hukum Kanonik kanon 1066-1067. Secara khusus, kanon 1066 menegaskan: “sebelum perkawinan dirayakan, haruslah nyata bahwa tak satu hal pun menghalangi perayaannya yang sah dan licit” (pantas). Salah satu hal yang mengakibatkan perkawinan tidak sah adalah penolakan terhadap kelahiran anak. Oleh karena itu, jika salah satu atau kedua calon pasutri masih menolak kehamilan, menolak kelahiran anak dan menolak bahwa akan mendidik anak, sebaiknya perayaan perkawinan itu perlu ditunda atau bahkan dibatalkan! Pemeriksaan Kanonik, tidak hanya sarana penyelidikan (investigatio), pemeriksaan (examen) hal-hal yang membuat perkawinan tidak sah, tetapi juga saat yang baik untuk meyakinkan calon pasutri siap memasuki perkawinan suci.

Ketiga, cara-cara pendampingan lain (bdk. kanon 1063). Para petugas pastoral (para uskup, romo, diakon, katekis, frater, suster dan awam lainnya) perlu bahu-membahu memberikan katekese tentang keluarga yang baik, pasustri yang setia, dan perkawinan katolik kepada berbagai generasi: anak-anak, remaja dan orang dewasa (bdk. Familiaris Consortio, no. 66). Tujuannya adalah agar pemahaman mengenai perkawinan dan keluarga ideal sudah tertanam dalam pikiran dan hati mereka sejak dini. Sebab, ada indikasi kuat terjadinya childfree itu oleh karena tidak ada gambaran dan pemahaman yang baik dan memadai mengenai keluarga dan perkawinan.

Demikian jawaban kami atas pertanyaan Anda. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.

*Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral”.

Posted in Hukum Kanonik, Pendidikan Anak, Perkawinan Katolik | Leave a Comment »

Paus Kepada Pasutri: Tuhan selalu Bersamamu dalam Suka dan Duka Kehidupan Perkawinan

Posted by postinus pada Januari 2, 2022


Seperti yang telah diumumkan Paus Fransiskus saat Doa Angelus pada Pesta Keluarga Kudus, hari ini (Minggu, 26/12/2021) ia menerbitkan sebuah surat terbuka untuk pasangan suami-istri sebagai bagian dari Tahun Keluarga Amoris Laetitia. Dia mendorong keluarga untuk berpaling kepada Yesus yang selalu dekat dalam semua suka dan duka kehidupan keluarga sehari-hari.

Paus Fransiskus bertemu dengan sebuah keluarga selama Pertemuan Keluarga Sedunia di Dublin, Irlandia 2018 (foto: Vatican Media)

Gereja merayakan ‘Tahun Keluarga Amoris Laetitia’ menjelang Pertemuan Keluarga Sedunia yang ditetapkan pada 26 Juni 2022. Sebagai bagian dari acara itu, dan di tengah Masa Natal, Paus Fransiskus merilis surat untuk pasangan suami-istri di seluruh dunia pada hari Minggu (26/12/2021).

Paus pertama kali mengungkapkan keinginannya agar keluarga merasakan “kasih sayang dan kedekatannya pada waktu yang sangat istimewa ini,” yang telah ditandai oleh pandemi Covid-19 dan lockdowns yang masih berlangsung. “Situasi saat ini telah membuat saya ingin menemani dengan kerendahan hati, kasih sayang dan keterbukaan setiap individu, pasangan suami istri dan keluarga dalam semua situasi di mana Anda berada.”

Kasih Tuhan Tanpa Syarat Kepada Pasutri

Paus Fransiskus memfokuskan suratnya kepada pasangan suami-istri pada kehadiran tetap Yesus dalam situasi sehari-hari kehidupan keluarga. Dia mengatakan bahwa semua pasangan telah memulai perjalanan—seperti Abraham—saat mereka meninggalkan rumah orang tua mereka dan membangun kehidupan baru bersama dalam pernikahan. “Hubungan kita dengan Tuhan membentuk kita, menemani kita dan mengutus kita sebagai individu dan, pada akhirnya, membantu kita untuk “berangkat dari tanah kita”, meskipun dalam banyak hal disertai kegentaran tertentu dan bahkan ketakutan dalam menghadapi hal yang tidak diketahui”.

Namun, tambahnya, iman Kristiani mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi tantangan kehidupan perkawinan, karena Yesus hadir seiring berjalannya waktu, anak-anak lahir dan tumbuh, serta pekerjaan dan penyakit mengalami pasang-surut. Pasangan suami-istri “berangkat menuju tanah yang Tuhan janjikan: menjadi dua di dalam Kristus, dua dalam satu,” kata Paus. “Hidupmu menjadi satu kehidupan; Anda menjadi ‘kita’dalam persekutuan penuh kasih dengan Yesus, hidup dan hadir di setiap momen keberadaan Anda. Tuhan selalu di sisi Anda; Dia mencintaimu tanpa syarat. Anda tidak sendiri!”

Anak-anak Haus akan Tanda Kasih Tuhan

Bapa Suci kemudian mengalihkan pikirannya ke pasangan suami-istri dan anak-anak mereka. Ia mengimbau orang tua untuk menghidupi kasih Kristus dalam setiap interaksi, karena anak-anak selalu memperhatikan dan menyerap segalanya. “Anak-anak selalu merupakan anugerah; mereka mengubah sejarah setiap keluarga. Mereka haus akan cinta, rasa terima kasih, penghargaan, dan kepercayaan. Menjadi orang tua memanggil Anda untuk mewariskan kepada anak-anak Anda sukacita karena menyadari bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan.”

Paus mengakui bahwa membesarkan anak-anak bukanlah tugas yang mudah, tetapi anak-anak juga “membesarkan” orang tua mereka, membantu mereka tumbuh dalam otoritas yang memberi anak-anak rasa aman dan percaya diri.

Yesus selalu di Perahu Kita yang Diguncang Badai

Paus Fransiskus juga mendesak pasangan untuk menjadi anggota aktif di paroki mereka, membantu Gereja dalam misinya menemani keluarga lain yang kurang menyadari kehadiran Tuhan. “Anda memiliki misi untuk mengubah masyarakat dengan kehadiran Anda di tempat kerja dan memastikan bahwa kebutuhan keluarga diperhitungkan,” tambahnya.

Dia menyebut pernikahan sebagai panggilan dan menyamakannya dengan perahu di tengah laut yang terkadang bergelombang. Yesus, kata Paus, selalu ada baik di dalam perahu untuk menenangkan laut maupun berjalan di dekatnya dan menunggu undangan kita untuk naik ke perahu. “Penting bahwa dengan bersama-sama, Anda memusatkan perhatian pada Yesus. Hanya dengan cara ini, Anda akan menemukan kedamaian, mengatasi konflik dan menemukan solusi terhadap banyak masalah Anda. Masalah-masalah itu, tentu saja, tidak akan hilang, tetapi Anda akan dapat melihatnya dari perspektif yang berbeda.”

Perlindungan Perkawinan dalam Badai Pandemi

Paus melanjutkan untuk merenungkan kesulitan dan peluang yang dihadapi keluarga selama pandemi. Dia mengatakan penutupan area (lockdowns) yang berulang telah memaksa banyak keluarga untuk bekerja, belajar, berekreasi, dan beristirahat di rumah yang sama, sebuah situasi yang menurutnya terkadang sulit. “Waktu yang Anda habiskan bersama, jauh dari penebusan dosa, akan menjadi tempat berlindung di tengah badai,” katanya. “Semoga setiap keluarga menjadi tempat penerimaan dan pengertian.”

Paus Fransiskus juga mengingat undangannya untuk mengatakan “tolong, terima kasih, maaf”, sambil menghindari pergi tidur tanpa berdamai terlebih dahulu. Pasangan suami-istri, tambah Paus, juga bisa berlutut bersama sebelum Ekaristi dan mengucapkan doa kecil setiap malam. “Ingat juga bahwa pengampunan menyembuhkan setiap luka. Saling memaafkan adalah buah dari tekad batin yang berasal dari kedewasaan dalam doa, dalam hubungan kita dengan Tuhan”.

Bapa Suci mencatat bahwa beberapa pasangan menganggap pandemi itu tak tertahankan dan mencari perpisahan, sebuah situasi yang Paus sesalkan karena menyebabkan rasa sakit yang luar biasa bagi anak-anak. Tapi dia meyakinkan pasangan yang terpisah tentang “kedekatan dan kasih sayang”.

Keberanian Kreatif dan Senyuman

Akhirnya, Paus Fransiskus mendorong pasangan yang mempersiapkan pernikahan untuk memiliki “keberanian kreatif” saat mereka melakukan perjalanan yang lebih sulit dari sebelumnya menuju kehidupan pernikahan. Dan dia mengirim ucapan salam kepada kakek-nenek, banyak dari mereka merasa lebih sendirian selama lockdown, dan menyebut mereka sebagai “kenangan hidup umat manusia”.

Paus mengulas suratnya kepada pasangan suami-istri dengan dorongan untuk selalu menjalani panggilan mereka dengan senyum dan antusiasme, tidak pernah membiarkan wajah mereka “sedih atau muram”.

 “Semoga Santo Joseph mengilhami semua keluarga suatu keberanian kreatif, yang sangat penting untuk masa-masa perubahan ini. Semoga Bunda Maria membantu Anda untuk memupuk dalam kehidupan pernikahan Anda budaya perjumpaan yang sangat kita butuhkan untuk menghadapi masalah dan persoalan saat ini”.

Catatan: Berita ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan: https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2021-12/pope-francis-letter-married-couples-amoris-laetitia-year.html

Posted in Paus Fransiskus, Pemberdayaan Pasutri, Perkawinan Katolik, Pope Francis | Leave a Comment »

Paus Fransiskus dalam Doa Angelus:mempertahankan, membela, dan melindungi keluarga

Posted by postinus pada Januari 1, 2022


Menyapa para peziarah di Lapangan Santo Petrus pada Pesta Keluarga Kudus Nazareth, Paus Fransiskus meminta kita untuk mengingat akar keluarga kita dan menyadari bahwa setiap hari kita belajar bagaimana menjadi sebuah keluarga. Dia juga mengumumkan bahwa pada hari ini ia publikasikan sebuah surat yang ditujukan kepada pasangan suami-istri tentang “Keluarga Amoris Laetitia” Tahun 2021-2022.

Sebelum memimpin pendarasan Doa Angelus tengah hari pada Pesta Keluarga Kudus Nazaret, Paus Fransiskus merenungkan bagaimana Tuhan memilih keluarga yang rendah hati dan sederhana untuk datang ke tengah-tengah kita. Ia mencontohkan dua dimensi konkrit dari realitas ini yang dapat menghargai keluarga kita sendiri.

Akar Keluarga Kita

Aspek pertama terkait keluarga adalah kisah dari mana kehidupan kita berasal dan memiliki akar, Paus menjelaskan, menggambarkan bagaimana Injil hari ini mengingatkan kita bahwa Yesus juga adalah Putra dari sebuah kisah keluarga. Episode yang dikisahkan berbicara tentang ketika Yesus, Maria dan Yusuf melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk merayakan Paskah, dan kehilangan jejaknya ketika kembali ke rumah, hanya untuk menemukannya setelah tiga hari mencari dengan cemas. Paus menggambarkan episode ini sebagai contoh yang menyentuh dari realitas konkret di mana Yesus hidup, dikelilingi oleh kasih sayang keluarga di mana Ia dilahirkan dan dibesarkan di bawah kasih sayang orang tuaNya.

Akan sangat membantu bagi kita juga untuk mengingat konteks dari mana kita berasal, Paus menambahkan, ia mencatat bahwa siapa kita hari ini terutama berasal dari “cinta yang telah kita terima”, bukan dari seberapa banyak yang telah kita miliki atau apakah keluarga kita memiliki masalah atau tidak. Dalam banyak hal, katanya, kita perlu mengakui kisah kita, akar kita, tetapi jika kita menolaknya maka “kehidupan mengering”. “Tuhan memikirkan kita dan menghendaki kita bersama”, dan kita harus berdoa untuk keluarga kita sehingga kita bisa “bersyukur, bersatu, mampu melestarikan akar kita”.

Belajar menjadi keluarga, hari demi hari

Aspek kedua yang dijelaskan Paus mengenai perlunya keterbukaan, hari demi hari, untuk belajar bagaimana menjadi sebuah keluarga, karena setiap hari menghadirkan tantangan dan peluang baru yang membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas. Bahkan Paus menunjukkan bagaimana Keluarga Kudus menghadapi masalah yang tak terduga, kecemasan dan penderitaan, dan bahwa tidak ada “Keluarga Kudus yang hanya dalam kartu kudus”. Perikop Injil hari ini ketika Maria dan Yusuf akhirnya menemukan Yesus dengan para guru di Bait Suci, dan Yesus menjawab bahwa Dia sedang dalam urusan Bapa-Nya, adalah sesuatu yang tidak jelas bagi mereka pada saat itu, jelas Paus. Dan juga bersama kita, katanya, kita perlu belajar bagaimana mendengarkan, berjalan bersama, dan mengelola masalah yang kita hadapi, kata Paus, menyebutnya sebagai “tantangan sehari-hari” yang membutuhkan sikap yang baik, tindakan sederhana dan perhatian penuh kasih. Ini akan membantu dialog antara orang tua dan anak-anak dan di antara saudara kandung, tambahnya, dan menuntun kita untuk menghargai akar keluarga kita yang berasal dari kakek-nenek kita yang dengannya kita harus selalu berdialog.

Sebelum “Aku”, datang “Kamu”

Melihat bagaimana berjalan bersama ini dapat dilakukan dalam keluarga kita sendiri, Paus menyarankan bahwa untuk melindungi keharmonisan dalam keluarga kita perlu menyadari “kediktatoran ‘aku’”, ketika alih-alih mendengarkan satu sama lain, kita hanya mendengar diri kita sendiri dan menyalahkan kesalahan pada orang lain. Dia memperingatkan bahwa kita dapat memiliki kecenderungan untuk hanya terpaku pada perasaan dan kebutuhan kita sendiri, bahkan mengisolasi diri dengan ponsel kita, di mana dialog diperlukan. Dia menambahkan bahwa sedih melihat keluarga pada waktu makan di mana semua orang melihat ponsel mereka daripada berbicara satu sama lain.

Paus mengulangi sedikit nasihat yang telah dia berikan sebelumnya, mengatakan bahwa di malam hari, ketika hari berakhir, kita harus selalu “berdamai”, tidak pernah tidur tanpa berdamai. Konflik dalam keluarga dapat terus berkobar tanpa ini, ia memperingatkan, bahkan berakhir dengan kekerasan fisik dan moral yang melukai keharmonisan dan dapat memecah belah keluarga. Dia merekomendasikan agar kita kurang fokus pada “aku” dan lebih fokus pada “kamu”, bukan hanya pada diri kita sendiri, dan selalu “berdoa bersama untuk meminta karunia perdamaian dari Tuhan”. Dia meminta orang tua, anak-anak, Gereja, dan masyarakat untuk memperbarui komitmen mereka “untuk mempertahankan, membela dan melindungi keluarga”, meminta Bunda Terberkati, pasangan Yusuf dan ibu Yesus untuk “melindungi keluarga kita”.

Surat kepada Pasangan Suami-Istri

Setelah memimpin pendarasan Doa Angelus, Paus Fransiskus mengumumkan bahwa pada Pesta Keluarga Kudus hari ini ia telah menerbitkan sebuah Surat yang ditujukan kepada keluarga-keluarga di seluruh dunia. Dia menyebutnya sebagai hadiah Natal untuk pasangan suami-istri dan “sebuah dorongan, tanda kedekatan saya, dan juga kesempatan untuk meditasi”. Dia menggarisbawahi betapa penting surat ini untuk merenungkan dan “mengalami kebaikan dan kelembutan Tuhan yang, dengan tangan ke-Bapaan-Nya, membimbing langkah pasangan suami-istri ke jalan kebaikan. Semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada pasangan suami-istri untuk melanjutkan perjalanan yang telah dilakukan”.

Paus juga mengingatkan kembali bahwa Pertemuan Keluarga Sedunia semakin dekat. Dia meminta semua orang untuk mempersiapkan acara ini terutama melalui doa dan mengalaminya dalam keluarga dan dengan keluarga lain juga.

Sebagai kesimpulan, Paus mengungkapkan keprihatinannya atas penurunan demografis, terutama di Italia, di mana pasangan suami-istri memilih untuk tidak memiliki anak atau hanya memiliki satu anak. Dia menggambarkan kenyataan ini sebagai tragedi dan mendorong semua orang untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah ini dan cara untuk mengatasi tren yang membahayakan masa depan kita.

Akhirnya, selain berbicara kepada berbagai kelompok yang hadir di Lapangan Santo Petrus, Paus mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada seluruh dunia yang telah mengiriminya pesan-pesan Natal, dengan mengatakan bahwa meskipun tidak mungkin untuk menanggapi semuanya, ia berdoa untuk semua orang sekaligus dia juga berterima kasih atas doa mereka.

Catatan: Berita ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan: https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2021-12/pope-at-angelus-sustain-defend-and-safeguard-the-family.html

Posted in Pope Francis | Leave a Comment »

Natal adalah Anda

Posted by postinus pada Desember 25, 2021


Natal adalah Anda sendiri, ketika Anda memutuskan untuk dilahirkan kembali setiap hari dan membiarkan Tuhan masuk ke dalam jiwa Anda.

Anda adalah pohon Natal ketika Anda dengan penuh semangat melawan angin kencang dan kesulitan hidup. Anda adalah dekorasi Natal ketika kebajikan Anda adalah warna yang menghiasi hidup Anda.

Anda adalah lonceng Natal ketika Anda menyapa, berkumpul dan mencoba untuk bersatu. Anda juga merupakan cahaya Natal ketika Anda menerangi jalan orang lain dengan hidup Anda dengan kebaikan, kesabaran, kegembiraan, dan kemurahan hati Anda.

Anda adalah malaikat Natal ketika Anda menyanyikan pesan perdamaian, keadilan, dan cinta kepada dunia. Anda adalah bintang Natal ketika Anda memimpin seseorang untuk bertemu dengan Tuhan. Anda juga adalah tiga orang Majus ketika Anda memberikan yang terbaik yang Anda miliki tanpa memperhitungkan kepada siapa Anda memberikannya. Musik Natal adalah Anda ketika Anda mencapai harmoni dalam diri Anda.

Hadiah Natal adalah Anda ketika Anda adalah teman sejati dan saudara semua manusia. Ucapan Natal adalah Anda ketika Anda memaafkan dan membangun kembali perdamaian bahkan ketika Anda menderita. Anda adalah makan malam Natal ketika Anda memberi makan orang miskin di sekitar Anda dengan roti dan harapan. Anda adalah malam Natal ketika Anda rendah hati dan sadar menerima dalam keheningan malam Juruselamat dunia tanpa suara atau perayaan besar; Anda adalah senyum dari kepercayaan diri dan kelembutan dalam kedamaian batin dari Natal abadi yang membangun kerajaan di dalam diri Anda.

Selamat Natal. Tuhan memberkati.

==================================================================

Catatan:

Teks renungan ini tersebar di berbagai WA Grup, web dan di banyak jejaring sosial dan disebutkan bahwa disampaikan oleh Bapa Paus Fransiskus. Padahal, kenyataannya ditulis oleh P. Dennis Doren L.C (Pastor dari El Salvador, Amerika Tenga). Lihat versi videonya dalam bahasa Spanyol: https://youtu.be/gVl1G6hctIg. Dan baca versi bahasa Italia: https://www.dominicanes.it/predicazione/briciole-di-luce/792-il-natale-sei-tu.html

Renungan ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari teks Bahasa Spanyol dengan judul “Navidad Eres Tu”.

Posted in Seminar | Dengan kaitkata: , | Leave a Comment »

Keluarga: Tempat Pengampunan

Posted by postinus pada Agustus 23, 2021


PERJALANAN APOSTOLIK PAUS FRANSISKUS

KE KUBA, AMERIKA SERIKAT

DAN KUNJUNGAN KE MARKAS BESAR PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA

(19-28 SEPTEMBER 2015)

AMANAT BAPA PAUS FRANSISKUS

DALAM PERTEMUAN DENGAN KELUARGA-KELUARGA

Di Katedral Bunda Maria Diangkat ke Surga, Santiago (kuba)

Selasa, 22 September 2015

Kita di sini sebagai sebuah keluarga! Dan setiap kali kita berkumpul, kita berkumpul sebagai sebuah keluarga, kita merasa seperti di rumah sendiri. Terima kasih, keluarga-keluarga Kuba. Terima kasih, orang Kuba, karena pada hari-hari ini membuat saya merasa menjadi bagian dari keluarga, karena membuat saya merasa seperti di rumah. Terimakasih untuk semuanya. Pertemuan ini seperti “lapisan gula pada kue”. Menutup kunjungan saya dengan pertemuan keluarga (family gathering) ini adalah alasan untuk bersyukur kepada Tuhan atas “kehangatan” yang dibagikan oleh orang-orang yang tahu bagaimana menyambut dan menerima seseorang, untuk membuatnya betah. Terima kasih untuk semua orang Kuba!

Sumber foto ilustrasi: vatican news

Saya berterima kasih kepada Uskup Agung Dionisio García dari Santiago atas salamnya atas nama semua yang hadir, dan kepada pasangan suami istri yang tidak takut untuk membagikan kepada kita semua harapan dan perjuangan mereka dalam mencoba menjadikan rumah mereka sebagai “gereja domestik”.

Injil Yohanes (2: 1-11) memberi tahu kita bahwa Yesus melakukan mukjizat pertamanya pada pesta pernikahan di Kana, pada pesta keluarga. Di sanalah Yesus, bersama Maria, IbuNya, dan beberapa muridNya. Mereka berbagi dalam perayaan keluarga.

Pernikahan adalah momen spesial dalam kehidupan banyak orang. Bagi “para sepuh”, yakni orang tua dan kakek-nenek, perkawinan merupakan kesempatan untuk menuai buah dari apa yang telah mereka tabur. Hati kita bersukacita ketika kita melihat anak-anak menjadi dewasa dan membuat rumah mereka sendiri. Sebentar, kita melihat bahwa semua yang kita kerjakan sepadan dengan usaha kita. Untuk membesarkan anak-anak, untuk mendukung dan mendorong mereka, untuk membantu mereka ingin mencari nafkah untuk diri mereka sendiri dan membentuk keluarga: ini adalah tantangan besar bagi orang tua. Pernikahan juga menunjukkan kepada kita kegembiraan pasangan-pasangan muda. Masa depan terbuka di hadapan mereka, dan semuanya memiliki cita rasa rumah baru, harapan. Pernikahan selalu menyatukan masa lalu yang kita warisi dan masa depan yang kita harapkan. Ada kenangan dan harapan. Pernikahan adalah kesempatan untuk mensyukuri segala sesuatu yang telah membawa kita ke hari ini, dengan cinta yang sama yang telah kita terima.

Yesus mulai tampil di depan umum pada sebuah pernikahan. Dia masuk ke dalam sejarah menabur dan menuai, mimpi dan pencarian, upaya dan komitmen, kerja keras yang mengolah tanah sehingga dapat menghasilkan buah. Yesus memulai hidupNya di dalam sebuah keluarga, di dalam sebuah rumah. Dan justru rumah kita di mana Dia terus masuk, dan di mana Dia menjadi bagiannya. Dia suka menjadi bagian dari keluarga.

Sangat menarik untuk melihat bagaimana Yesus juga muncul saat makan, saat makan malam. Yesus makan bersama dengan orang yang berbeda, mengunjungi rumah yang berbeda, adalah cara khusus bagiNya untuk mewartakan rencana Tuhan. Dia pergi ke rumah teman-temannya, Marta dan Maria, tetapi Dia tidak pilih-pilih; tidak ada bedanya bagiNya apakah pemungut cukai atau orang berdosa ada di sana, seperti Zakheus. Dia pergi ke rumah Zakheus. Dia tidak hanya bertindak untuk diriNya cara seperti ini; ketika Dia mengutus murid-muridNya untuk mewartakan kabar baik tentang kerajaan Allah, Dia memberi tahu mereka: Tinggallah di rumah yang sama, makan dan minum apa yang mereka sediakan (Luk 10:7). Pernikahan, kunjungan ke rumah orang, makan malam: saat-saat dalam kehidupan orang-orang menjadi “istimewa” karena Yesus memilih untuk menjadi bagian dari mereka.

Saya ingat dalam keuskupan saya yang dulu betapa banyak keluarga yang memberi tahu saya bahwa hampir satu-satunya waktu mereka berkumpul adalah saat makan malam, di malam hari setelah bekerja, ketika anak-anak telah menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Ini adalah saat-saat istimewa dalam kehidupan keluarga. Mereka berbicara tentang apa yang terjadi hari itu dan apa yang telah mereka lakukan masing-masing; mereka merapikan rumah, membereskan barang-barang dan mengatur tugas-tugas mereka selama beberapa hari ke depan; anak-anak bertengkar; tapi itu semua adalah waktu yang istimewa. Ini juga saat-saat ketika seseorang mungkin pulang dengan lelah, atau ketika pertengkaran atau perselisihan mungkin terjadi antara suami dan istri, tetapi ada hal-hal yang lebih buruk untuk ditakuti. Saya lebih takut pada pernikahan di mana pasangan memberi tahu saya bahwa mereka tidak pernah berdebat. Itu langka. Yesus memilih semua waktu itu untuk menunjukkan kepada kita kasih Allah. Dia memilih saat-saat itu untuk masuk ke dalam hati kita dan untuk membantu kita mengetahui Roh kehidupan yang bekerja di rumah kita dan urusan kita sehari-hari. Di dalam rumahlah kita belajar persaudaraan dan solidaritas, kita belajar untuk tidak sewenang-wenang. Di dalam rumahlah kita belajar menerima, mengapresiasi  hidup sebagai berkat dan menyadari bahwa kita membutuhkan satu sama lain untuk maju. Di dalam rumahlah kita mengalami pengampunan, dan kita terus-menerus diundang untuk mengampuni dan bertumbuh. Sangat menarik bahwa di dalam rumah tidak ada ruang untuk “mengenakan topeng”: kita adalah diri kita sendiri, dan dalam satu atau lain cara kita dipanggil untuk melakukan yang terbaik bagi orang lain.

Itulah sebabnya komunitas Kristen menyebut keluarga sebagai “Gereja rumah tangga”. Dalam kehangatan rumah itulah iman memenuhi setiap sudut, menerangi setiap ruang, membangun komunitas (persekutuan). Pada saat-saat itu, orang belajar menyadari kasih Tuhan yang hadir dan bekerja.

Dalam banyak budaya saat ini, ruang-ruang ini menyusut, pengalaman keluarga ini menghilang, dan semuanya perlahan-lahan pecah, tumbuh terpisah. Kita memiliki lebih sedikit momen yang sama, untuk tetap bersama, untuk tinggal di rumah sebagai sebuah keluarga. Akibatnya, kita tidak tahu bagaimana harus bersabar, kita tidak tahu bagaimana cara meminta izin, kita tidak tahu bagaimana cara meminta maaf, kita tidak tahu bagaimana mengatakan “terima kasih”, karena rumah kita tumbuh kosong. Bukan kosong orang, tetapi kosong akan hubungan, kosong terhadap kontak manusia, kosong terhadap perjumpaan, antara orang tua, anak, kakek-nenek, cucu dan saudara kandung. Belum lama ini, seseorang yang bekerja dengan saya memberi tahu saya bahwa istri dan anak-anaknya telah pergi berlibur, sementara dia tinggal di rumah sendirian karena dia harus bekerja hari itu. Hari pertama, rumah itu benar-benar sunyi, “damai”; dia senang dan tidak ada yang salah. Pada hari ketiga, ketika saya bertanya kepadanya bagaimana keadaannya, dia mengatakan kepada saya: Saya berharap mereka semua akan segera kembali. Dia merasa tidak bisa hidup tanpa istri dan anak-anaknya. Dan itu indah, sangat indah.

Tanpa keluarga, tanpa kehangatan rumah, hidup menjadi hampa, di sanalah melemahnya jaringan yang menopang kita dalam kesulitan, jaringan yang memelihara kita dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi kita untuk membangun masa depan yang lebih baik. Keluarga menyelamatkan kita dari dua fenomena masa kini, dua hal yang terjadi setiap hari: fragmentasi, yaitu perpecahan, dan keseragaman. Dalam kedua kasus tersebut, orang berubah menjadi individu yang terisolasi, mudah memanipulasi dan menguasai. Kemudian di dunia kita, kita melihat masyarakat yang terpecah, rusak, terpisah atau seragam secara kaku. Ini adalah hasil dari putusnya ikatan keluarga, hilangnya hubungan yang membuat kita menjadi diri kita sendiri, yang mengajarkan kita untuk menjadi seorang pribadi. Kemudian kita lupa bagaimana mengatakan ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, kakek, nenek… kita perlahan-lahan kehilangan rasa akan hubungan dasar ini, hubungan atas dasar nama yang kita pakai.

Keluarga adalah sekolah kemanusiaan, sekolah yang mengajarkan kita untuk membuka hati kita terhadap kebutuhan orang lain, untuk memperhatikan kehidupan mereka. Ketika kita menjalani kehidupan bersama sebagai sebuah keluarga, kita menaruh cara-cara kecil kita untuk mengecek kecenderungan egois – hal ini akan selalu ada, karena masing-masing dari kita memiliki sentuhan keegoisan – tetapi ketika tidak ada kehidupan keluarga, apa yang disebut kepribadian “aku, diriku dan saya” yang benar-benar terpusat pada diri sendiri (self-centered) dan tidak memiliki rasa solidaritas, persaudaraan, kerja sama, cinta, dan ketidaksepakatan persaudaraan. Mereka tidak memilikinya. Di tengah semua kesulitan yang mengganggu keluarga kita di dunia kita saat ini, tolong, jangan pernah melupakan satu hal: keluarga bukanlah masalah, keluarga adalah kesempatan pertama dan terutama. Kesempatan yang harus kita jaga, lindungi, dan dukung. Dengan kata lain, keluarga adalah berkat. Begitu Anda mulai melihat keluarga sebagai masalah, Anda terjebak, Anda tidak bergerak maju, karena Anda terjebak dalam diri Anda sendiri.

Saat ini kita banyak berbicara tentang masa depan, tentang jenis dunia yang ingin kita tinggalkan untuk anak-anak kita, jenis masyarakat yang kita inginkan untuk mereka. Saya percaya bahwa satu jawaban yang mungkin terletak pada melihat diri Anda sendiri, pada keluarga yang berbicara kepada kita ini. Mari kita tinggalkan dunia dengan keluarga. Tidak diragukan lagi: Tak ada keluarga yang sempurna; tidak ada suami dan istri yang sempurna, tidak ada orang tua yang sempurna, tidak ada anak-anak yang sempurna atau – jika mereka tidak akan marah kepada saya karena mengatakan ini, tak ada pula ibu mertua yang sempurna. Keluarga-keluarga tidak ada yang sempurna. Namun ketidaksempurnaan itu tidak menghalangi keluarga menjadi jawaban untuk masa depan. Tuhan mengilhami kita untuk mencintai, dan cinta selalu berhubungan dengan orang-orang yang dicintai keluarga. Cinta selalu berhubungan dengan orang yang dicintai keluarga. Jadi mari kita peduli untuk keluarga kita, sekolah sejati untuk masa depan. Mari kita merawat keluarga kita, ruang kebebasan sejati. Mari kita merawat keluarga, pusat kemanusiaan sejati.

Di sini sebuah gambaran muncul di benak saya: ketika saya menyapa orang-orang selama “Audiensi saya pada hari Rabu ini, banyak wanita menunjukkan kepada saya bahwa mereka hamil dan meminta saya untuk memberkati mereka. Saya mengusulkan sesuatu kepada semua wanita yang “hamil dengan harapan”, karena seorang anak adalah harapan. Sekarang, letakkan tangan Anda di atas bayi Anda agar ia menyentuh Anda. Jika Anda di sini, atau mengikuti radio atau televisi, lakukan sekarang. Dan untuk masing-masing dari mereka, dan untuk setiap bayi laki-laki atau perempuan, yang Anda harapkan, saya memberikan berkat saya. Jadi kamu semua, letakkan tanganmu di atas bayimu, dan aku memberimu berkatku: dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Dan saya berdoa agar anak Anda lahir dengan sehat dan tumbuh dengan baik, agar Anda bisa menjadi orang tua yang baik. Belai anak yang Anda harapkan.

Saya tidak ingin mengakhiri tanpa menyebut Ekaristi. Anda semua tahu betul bahwa Yesus memilih saat makan sebagai saat kenangan akan Dia. Dia memilih momen tertentu dalam kehidupan keluarga sebagai “tempat” kehadiranNya di antara kita. Sebuah momen yang kita semua alami, momen yang kita semua pahami: makan.

Ekaristi adalah perjamuan keluarga Yesus, yang berkumpul di seluruh dunia untuk mendengar sabda-Nya dan diberi makan oleh tubuh-Nya. Yesus adalah Roti Hidup bagi keluarga kita. Dia ingin selalu hadir, memelihara kita dengan kasih-Nya, menopang kita dalam iman, membantu kita berjalan dalam pengharapan, sehingga dalam setiap situasi kita dapat mengalami Roti Surgawi yang sejati.

Dalam beberapa hari saya akan bergabung dengan keluarga-dari seluruh dunia dalam Pertemuan Keluarga Sedunia dan, dalam waktu kurang dari sebulan, dalam Sinode para Uskup yang berkumpul untuk keluarga. Saya meminta Anda untuk berdoa. Saya meminta Anda untuk berdoa secara khusus untuk kedua peristiwa ini, sehingga bersama-sama kita dapat menemukan cara untuk saling membantu dan memperhatikan keluarga, sehingga kita dapat menyadari Emmanuel, Tuhan yang tinggal di tengah-tengah umat-Nya, dan menjadikan setiap keluarga, dan semua keluarga, rumahNya. Saya mengandalkan doa-doa Anda. Terima kasih.

Salam terakhir Bapa Suci dari teras:

(Terima kasih atas sambutan hangat Anda, terima kasih!) Orang Kuba benar-benar baik dan ramah; Anda membuat orang merasa di rumah. Terimakasih banyak. Saya ingin mengucapkan kata harapan. Sebuah kata harapan yang mungkin bisa membuat kita melihat ke belakang dan ke depan. Melihat ke belakang, memori. Memori semua orang yang membawa kita untuk hidup, dan terutama kakek-nenek. Salam khusus untuk kakek dan nenek. Kita melupakan orang tua. Orang tua adalah memori hidup kita. Kemudian, menatap ke depan, anak-anak dan kaum muda yang menjadi kekuatan suatu bangsa. Sebuah bangsa yang peduli pada orang tua dan peduli pada anak-anak dan kaum mudanya pasti akan menang. Tuhan memberkati Anda dan biarkan saya memberi Anda berkat, tetapi dengan satu syarat; Anda akan harus membuat yang berharga. Saya akan meminta Anda untuk berdoa untuk saya. Itulah syaratnya. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa memberkati Anda, Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Selamat tinggal dan terima kasih.

Diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari situs resmi Vatikan, dengan link: https://www.vatican.va/content/francesco/en/speeches/2015/september/documents/papa-francesco_20150922_cuba-famiglie.html

Posted in Keluarga, Tempat Pengampunan, Paus Fransiskus | Leave a Comment »

“Kita di Masa Pandemi Covid-19: Beriman dan Saling Peduli”

Posted by postinus pada Juli 26, 2021


Renungan untuk Nias Barat Berdoa, Sabtu, 24 Juli 2021

Oleh Pst. Postinus Gulö, OSC

Saudara-Saudari terkasih, renungan ini saya dasarkan pada perikop Injil Markus 4: 35-41: ANGIN RIBUT DIREDAKAN. Perikop ini paralel dengan perikop dalam dua Injil sinoptik lainnya: Matius 8: 23-27; Lukas 8: 22-25. Dalam ketiga Injil sinoptik ini, sangat terasa bahwa para murid dihantui kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi “angin ribut”. Angin ribut itu mengakibatkan badai dahsyat di danau di mana para murid sedang berlayar. Perahu mereka terombang-ambing, HAMPIR TENGGELAM. Para murid menyadari diri sangat TERBATAS dalam situasi MENAKUTKAN itu.

Para murid MEMBUTUHKAN pertolongan Yesus untuk menyelamatkan mereka. Dan terjadilah mukjizat: angin ribut berhenti setelah disuruh DIAM oleh Yesus. Ini salah satu “BUKTI IMAN” bahwa Yesus punya kuasa atas alam, ombak dahsyat pun takluk kepadanya.

Dalam menghadapi wabah Covid-19 ini, ada berbagai reaksi dan ekspresi; refleksi dan aksi; ada yang optimis, ada yang pesimis; ada yang putus asa, tetapi ada yang setia berharap. Ada yang begitu cemas, takut, menyadari diri terbatas seperti para murid Yesus. Tapi, di antara mereka itu, tetap ada yang memanggil nama Yesus: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (Mrk. 4: 38); “Tuhan, tolonglah, kita binasa” (Matius 8: 25); “Guru, Guru, kita binasa” (Lukas 8: 24). Kita yang berkumpul untuk berdoa menjadi sekelompok orang yang berseru kepada Yesus: Tuhan, tolonglah kami, kami binasa! Kita punya ekspresi menghdapi Covid dengan berdoa, berserah diri pada kuasa Tuhan Allah; kita tetap beriman kepadaNya! Tapi, ekspresi itu harus nyata dalam aksi: peduli kepada orang, aktif memberi pemahaman kepada orang sekitar kita agar taat prokes dan kita menjadi teladan untuk menaati prokes itu sendiri.  

Hal yang sangat terpuji dan mestinya terus dilakukan adalah sikap banyak orang yang berjuang tanpa lelah membantu sesama: berbagi makanan, membantu biaya kesehatan, mendonorkan darah/plasma, dan menyediakan tempat isolasi mandiri. Ada yang tidak takut kehilangan nyawa untuk merawat pasien Covid-19. Ada yang merenungkan dirinya di hadapan Allah, ia akhirnya sadar keterbatasan manusiawinya. Kini ia berserah kepada Allah, ia mengakui kemahakuasaan Allah. Ia, bahkan, mau berbagi kepada sesama!

Namun demikian, ada dua reaksi ekstrim yang perlu kita refleksikan. Jangan-jangan sikap ekstrim ini ada dalam diri kita, ada dalam diri anggota keluarga kita dan ada dalam diri teman-teman dan orang sekitar kita. Jika ada, segeralah berubah, itu sikap yang tidak benar dan tidak bijak, bahkan tidak baik untuk kehidupan sesama kita, bisa justru mendatangkan musibah bagi sesama. Sikap ekstrim pertama: sikap TIDAK PEDULI; sikap ekstrim kedua: sikap FIDEISME.

Tidak Peduli

Para dokter, peneliti pola penyebaran Virus Corona, berpendapat bahwa Virus Corona itu bisa tertular melalui DROPLET (cairan yang keluar dari saluran pernapasan/mulut/air liur); kontak fisik, kerumuman banyak orang. Hidung dan mulut kita mesti diberi pelindung, yakni masker, face shield (penutup wajah). Artinya, cara sederhana untuk mencegah Covid ini adalah dengan menaati protokol kesehatan 6 M: memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, membatasi mobilisasi dan interaksi dan menerima vaksin.

Di Indonesia, Covid-19 ini begitu cepat menyebar oleh karena masih banyak orang yang tidak peduli pada protokol kesehatan, tidak peduli pada kesehatan dirinya yang berakibat buruk pada kesehatan sesama. Ada banyak orang yang tidak mau menaati protokol kesehatan, juga tidak mau divaksin! Ini sikap yang MEMBANDEL, keras kepala. Akibatnya sangat fatal: ia bisa menularkan Covid-19 kepada banyak orang. Dengan kata lain, ia berpotensi “mencelakakan” kehidupan orang sekitarnya.

Saya sendiri pernah berkali-kali kontak fisik dengan orang yang positif Covid-19. Puji Tuhan, karena saya tetap memakai masker, saya tidak terpapar dan tidak terinfeksi Covid-19. Sekali lagi, masker itu, salah satu cara sederhana untuk mencegah kita dari Covid-19 itu. Dan saya sudah membuktikannya!

Pada bulan Januari 2021 lalu, Paus Fransiskus menegaskan bahwa menaati protokol kesehatan dan mengikuti program vaksinasi merupakan pilihan etis, sikap moral orang beriman. Sebab, dengan menaati protokol kesehatan, kita tidak sekadar menjaga kehidupan kita, tetapi juga menjaga kehidupan orang lain dari wabah Covid-19.

Dalam bacaan Injil Markus 4: 35-41, reaksi para murid menghadapi angin ribut dan badai sangat menarik “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (Mrk. 4: 38). Di sini, para murid begitu peduli pada “hidup mereka”. Namun, mereka memiliki iman yang dangkal. Hal yang sangat penting, kendati para murid masih rapuh imannya, toh Yesus mengabulkan permohoman mereka: angit ribut diredakan dengan berkata: “Diam! Tenanglah! Setelah BERTINDAK, barulah Yesus MENYADARKAN para muridNya: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Yesus tetap MENGABULKAN permohonan para muridNya, kendati mereka KURANG PERCAYA. Tuhan Yesus mencintai muridNya tanpa syarat! Sebaliknya, para murid masih “ketakutan”, padahal Tuhan Yesus sedang bersama mereka dalam SATU PERAHU, yang semestinya TIDAK MUNGKIN TENGGELAM kendati dihantam ombak dahsyat.

Apa poin kita dari kisah ini? Poin pentingnya adalah, ada banyak orang peduli pada kehidupannya, tetapi memiliki iman yang rapuh, tidak peduli pada kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Tendensi yang lebih parah adalah sikap orang tertentu yang tidak peduli pada kehidupan dirinya dan orang lain, dan sekaligus tidak beriman dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan Allah.

Fideisme

Sikap ekstrim kedua adalah sikap “oknum” beragama yang jatuh pada “fideisme”. Fideisme adalah kecenderungan yang merendahkan peranan akal budi dalam kehidupan iman dan aktivitas keagamaan. Kaum fideisme terlalu menekankan keputusan bebas iman (bdk. Gerard OC & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, 1996: 79-80). Bisa dikatakan pula bahwa fideisme merupakan paham yang menganggap iman terpisah dari nalar/akal budi. Oleh karena itu, segala sesuatu dapat diselesaikan hanya dengan iman. Dasar pembenaran “keinginan” kaum fideisme adalah iman.

Kaum fideisme tidak memperhitungkan terang akal budi dan tidak mendengarkan aspek-aspek lain, atau tidak mengikuti ilmu-ilmu dan tanda-tanda zaman. Kaum fideisme hanya menerima dan percaya pada pembenaran atas dasar iman versi mereka, dan tidak menerima pertimbangan-pertimbangan dari terang akal budi.

Di tengah wabah virus corona makin terlihat kaum fideisme di zaman kita cari panggung. Mereka memakai tafsiran dan ayat-ayat kesukaan mereka untuk membenarkan cara beriman mereka. Kaum fideisme sesungguhnya bukan beriman kepada Allah sang Kebenaran sejati, tetapi justru “mengimani” keinginan, ego mereka, dan tafsiran versi mereka sendiri. Kaum fideisme justru menjadi ancaman bagi kita dalam menghadapi virus corona ini. Mereka memberi beban: menyebarkan virus corona, tidak memperhitungkan keselamatan jiwa dan raga orang-orang sekitarnya.

Tuhan Allah sudah memberi kita akal budi atau nalar, yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Pekerjaan akal budi salah satunya dalam konteks sekarang adalah usaha-usaha dan cara-cara mencegah Virus Corona (Covid-19): orang diminta menjaga jarak (physical distancing), menjaga kebersihan, memakai hand sanitizer, membatasi kegiatan yang membuat orang berkerumun, termasuk meniadakan ibadat yang berkerumun di rumah ibadah dan dilakukan online dari rumah masing-masing (live streaming/daring) dan menerima vaksin Covid-19. Tapi apa tanggapan orang-orang fideisme: kita jangan takut pada Virus Corona, mari kita takut pada Allah, jangan dengarkan nasihat yang datang dari manusia, dengarkan firman Allah saja, berpeganglah hanya pada Yesus Kristus; mari tetap ke Gereja, ke rumah ibadah kita!

Peduli kepada Sesama dan Setia dalam Iman

Dalam perikop Injil Markus 4: 35-41, kita melihat bahwa kita sama seperti para Rasul yang memiliki kerapuhan dalam iman. Menghadapi Covid-19, kita sama seperti murid Yesus yang begitu cemas. Dalam kondisi cemas, yang perlu kita waspadai adalah sikap yang “menuduh” Tuhan tidak peduli! Atau sikap yang tidak menyadari bahwa Tuhan sedang bersama kita dalam “Perahu yang sama”.

Kendati kita rentang menghadapi “badai” Covid-19 ini, kita dipanggil untuk menyadari bahwa Yesus lebih berkuasa dari badai, daripada wabah apapun. Maka, sikap yang mesti ada dalam diri kita selama Covid-19 ini adalah kepedulian dan kesetiaan dalam iman kepada Allah, seraya tidak mengabaikan peranan akal budi sehingga mau mengikuti prokes. Mari kita saling peduli, saling mendoakan, menolog saudara-saudari kita yang terdampak Covid-19 ini. Tuhan Yesus memberkati!

Catatan:

Ketika saya menyampaikan renungan di atas, saya tidak bacakan. Bahkan, mengingat durasi waktu, maka ada beberapa paragraf yang sengaja saya lewatkan. Saya posting di sini agar para sahabat dapat membaca secara utuh. Ya’ahowu fefu.

Posted in Nias Barat Berdoa, RENUNGAN, Taati Protokol Kesehatan | Leave a Comment »

Pernyataan Resmi Konferesi Waligereja Filipina tentang Motu Proprio “Traditionis Custodes”

Posted by postinus pada Juli 23, 2021


Konferensi Waligereja Filipina mengapresiasi Surat Apostolik Bapa Suci Paus Fransiskus dalam bentuk Motu Proprio yang berjudul “Traditionis Custodes” (Para Penjaga Tradisi, disingkat TC). Tidak hanya itu, mereka juga menyatakan ketataan dan persekutuan dengan Bapa Suci sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik. Mereka mengatakan: «Kami menyatakan ketaatan dan persekutuan kami dengan Bapa Paus ketika memimpin kita dalam mewujudkan kesatuan Gereja melalui pewartaan Injil dan secara khusus dalam perayaan Ekaristi. Para Uskup sebagai “para penjaga tradisi”, moderator, promotor, dan penjaga seluruh kehidupan liturgi Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya, harus melaksanakan ketentuan-ketentuan Motu proprio dengan penuh perhatian, sabar, adil, dan cinta kasih pastoral».

Ketua Konferensi Waligereja Filipina, Uskup Agung Mgr. Romulo G. Valles, D.D (Sumber foto: akun Facebook Philippine Conference on New Evangelization)

Pernyataan resmi tersebut disampaikan oleh Ketua Konferensi Waligereja Filipina, Mgr. Romulo G. Valles, D.D, yang juga Uskup Agung Davao. Sikap Konferensi Waligereja Filipina ini dipublikasikan di laman resmi mereka: CBCP News pada 22 Juli 2021.

Konferensi Waligereja Filipina (Catholic Bishops’ Conference of the Philippines/CBCP) mengutip kembali pernyataan Bapa Paus terkait buku-buku liturgis sebagai perwujudan “lex orandi” Missale Romawi: «Bapa Suci Paus Fransiskus, dalam Motu proprio Traditionis Custodes, menetapkan bahwa “buku-buku liturgi yang dipromulgasikan (diundangkan) oleh Santo Paulus VI dan Santo Yohanes Paulus II, sesuai dengan dekrit Konsili Vatikan II, adalah ekspresi khas dari lex orandi dari Ritus Romawi” (TC, arti 1) dan memberi kita pedoman-pedoman tentang pembaruan penggunaan Missale Romawi 1962».

Selain itu, Konferensi Waligereja Filipina juga menyadarkan kita bahwa «Surat Apostolik adalah buah dari konsultasi dengan Konferensi Para Uskup pada tahun 2020 dan rekomendasi yang dibuat oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman. Dalam mempertimbangkan hal itu, Bapa Suci mengungkapkan kehendaknya “untuk terus maju dalam pencarian terus-menerus demi persekutuan gerejawi».

Pada akhir pernyataan resmi tersebut, Konferensi Waligereja Filipina mengatakan: «Kami menegaskan kembali seruan Paus Fransiskus bahwa “setiap liturgi dirayakan dengan penuh kepantasan dan kesetiaan pada buku-buku liturgis yang dipromulgasikan setelah Konsili Vatikan II, tanpa eksentrik…” dan bahwa “para seminaris dan imam-imam baru harus dididik dalam kesetiaan terhadap ketentuan-ketentuan Missale dan buku-buku liturgis, yang di dalamnya tercermin pembaruan liturgi yang dikehendaki oleh Konsili Vatikan II” (Surat Bapa Suci kepada para Uskup di seluruh dunia, yang menyertai Surat Apostolik Motu proprio, Traditionis Custodes)».

Dari pernyataan resmi ini, Konferensi Waligereja Filipina mendukung sepenuhnya kerukunan dan kesatuan Gereja Katolik di seluruh dunia. Tidak hanya itu, mereka juga menyatakan ketataan dan kesetiaan mereka kepada kuasa mengajar resmi Gereja (magisterium) dan kepada Bapa Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik. Sikap iman, ketaatan dan kesetiaan pada ajaran Gereja yang telah ditunjukkan oleh Konferensi Waligereja Filipina sangat sejalan dengan semangat yang dituntut dari setiap umat Katolik sebagaimana diatur dalam kanon 750 dan kanon 752.

Bandung, 23 Juli 2021

Pastor Postinus Gulö, OSC

Catatan: pernyataan resmi Konferensi Waligereja Filipina ini dapat diakses dan dibaca dalam laman resmi CBCP News: https://cbcpnews.net/cbcpnews/cbcp-statement-on-the-motu-proprio-traditionis-custodes/

Posted in Motu Proprio Traditionis Custodes, Paus Fransiskus, Pope Francis | Leave a Comment »

Paus Fransiskus Mengeluarkan Norma Baru Perayaan Liturgis Berdasarkan Missale Romawi 1962

Posted by postinus pada Juli 17, 2021


Bapa Paus Fransiskus mengeluarkan dokumen penting terkait aturan baru perayaan Misa dengan menggunakan Missale Romawi 1962. Dokumen yang dikeluarkan pada 16 Juli 2021 tersebut berjudul “Traditionis Custodes” (para Penjaga Tradisi) merupakan Surat Apostolik dalam bentuk Motu Proprio Paus yang memiliki kuasa penuh dan tertinggi (il Sommo Pontefice) dalam Gereja Katolik.

Sumber foto: traditioninaction.org

Dalam dokumen ini, Paus Fransiskus menghapus aturan yang mengizinkan setiap imam Katolik Ritus Latin untuk merayakan litugi berdasarkan “Missale Romanum” tahun 1962. Imam yang boleh merayakan Misa berdasarkan Missale Romanum 1962 hanyalah imam yang telah mendapat izin dari Uskup Diosesan dan disetujui Tahta Apostolik.

Di awal dokumen ini, Paus menegaskan: “Para penjaga tradisi, para uskup, dalam persekutuan dengan Uskup Roma, merupakan prinsip dan dasar yang terlihat dari kesatuan Gereja-Gereja partikular mereka. Di bawah bimbingan Roh Kudus, melalui pewartaan Injil dan melalui perayaan Ekaristi, mereka memimpin Gereja-Gereja partikular yang dipercayakan kepada mereka”.

Menjaga Kerukunan dan Kesatuan Umat Katolik

Bapa Paus Fransiskus menegaskan bahwa tujuan utama dikeluarkannya dokumen “Traditionis Custodes” (TC) ini adalah untuk menjaga kerukunan dan kesatuan umat Katolik di berbagai belahan dunia. Hal itu dinyatakan Bapa Paus demikian: “Demi memajukan kerukunan dan kesatuan Gereja, dengan perhatian kebapaan terhadap mereka yang ada di beberapa daerah menganut bentuk-bentuk liturgi sebelum pembaruan yang dikehendaki oleh Konsili Vatikan II, Yang Mulia Pendahulu saya, St. Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, telah memberikan dan mengatur kewenangan untuk menggunakan Missale Romawi yang diterbitkan oleh St. Yohanes XXIII pada tahun 1962. Dengan cara ini mereka bermaksud  “untuk memfasilitasi persekutuan gerejawi bagi umat Katolik yang merasa terikat pada beberapa bentuk liturgi sebelumnya” dan bukan bagi yang lain”.

Dokumen ini diterbitkan setelah melalui konsultasi kepada para uskup: “Sejalan dengan prakarsa Pendahulu saya Benediktus XVI untuk mengundang para uskup guna memverifikasi penerapan Motu Proprio Summorum Pontificum, tiga tahun setelah penerbitannya, Kongregasi untuk Ajaran Iman melakukan konsultasi terperinci kepada para uskup pada tahun 2020, yang hasilnya telah dipertimbangkan dengan cermat berdasarkan pengalaman yang diperoleh dalam beberapa tahun terakhir”.

Sekarang, kata Bapa Paus, “setelah mempertimbangkan harapan-harapan yang diungkapkan oleh para uskup dan setelah mendengarkan pendapat Kongregasi untuk Ajaran Iman, saya menghendaki, dengan Surat Apostolik ini, untuk melanjutkan pencarian terus-menerus demi persekutuan gerejawi”.

Tanggung Jawab para Uskup

Dalam dokumen ini, Bapa Paus menetapkan beberapa hal. Pertama-tama, Bapa Paus menyebutkan buku-buku liturgis yang menjadi lex orandi dari Ritus Romawi. Ia menegaskan: “Buku-buku liturgi yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II, sesuai dengan dekrit Konsili Vatikan II, adalah ungkapan khas lex orandi dari Ritus Romawi” (TC, art. 1).

Hal yang sangat penting adalah tanggung jawab besar Uskup Diosesan untuk mengatur perayaan liturgis di dalam keuskupannya. Bapa Paus menyatakan: “Uskup diosesan, sebagai moderator, promotor dan penjaga semua kehidupan liturgi dalam Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya, bertanggung jawab untuk mengatur perayaan liturgis dalam keuskupannya sendiri. Oleh karena itu, adalah kewenangan eksklusifnya untuk mengizinkan penggunaan Missale Romawi tahun 1962 dalam keuskupannya, dengan mengikuti pedoman Takhta Apostolik” (TC, art. 2). Oleh karena itu, kata Bapa Paus, “Uskup, di keuskupan-keuskupan yang sampai sekarang memiliki satu atau lebih kelompok yang merayakan liturgi menurut Missale sebelum pembaruan tahun 1970” (art. 3), perlu memperharikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan berikut:

Pertama, memastikan bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak menyangkal validitas dan legitimasi pembaruan liturgis, sesuai perintah Konsili Vatikan II dan Magisterium (ajaran resmi) dari Bapa Paus sebagai pemegang kuasa tertinggi (TC, art. 3 § 1);

Kedua, menentukan satu atau lebih tempat di mana umat beriman dari kelompok-kelompok ini dapat berkumpul untuk perayaan Ekaristi (tetapi tidak di gereja-gereja paroki dan tanpa mendirikan paroki personal yang baru) (TC, art. 3 §2);

Ketiga, menetapkan hari-hari di tempat-tempat yang telah ditentukan di mana perayaan ekaristi diizinkan dengan menggunakan Missale Romawi yang dipromulgasikan oleh Santo Yohanes XXIII pada tahun 1962. Dalam perayaan-perayaan ini bacaan-bacaan diwartakan dalam bahasa daerah, dengan menggunakan terjemahan Kitab Suci yang disetujui untuk penggunaan liturgi oleh masing-masing Konferensi para Uskup (TC, art. 3 §3);

Keempat, mengangkat seorang imam, sebagai utusan Uskup, untuk dipercayakan tanggung jawab atas perayaan-perayaan ini dan pelayanan pastoral kelompok-kelompok umat beriman tersebut. Imam tersebut kompeten untuk jabatan ini, terampil untuk menggunakan Missale Romanum sebelum pembaruan 1970, memiliki pengetahuan bahasa Latin yang cukup untuk memahami sepenuhnya rubrik dan teks liturgis, dijiwai oleh kemurahan hati pastoral yang hidup, dan rasa persekutuan gerejawi. Imam ini harus memiliki hati tidak hanya pada perayaan liturgi yang benar, tetapi juga pelayanan pastoral dan rohani umat beriman (TC, art. 3 §4);

Kelima, dalam paroki-paroki personal yang didirikan secara kanonik untuk kepentingan umat beriman ini, hendaknya ia melakukan penilaian yang tepat apakah efektif untuk pertumbuhan rohani mereka, dan untuk menentukan apakah akan mempertahankannya atau tidak (TC, art. 3 §5);

Keenam, mendaknya berhati-hati untuk tidak mengesahkan pembentukan kelompok baru (TC, art. 3 §6).

Ketentuan bagi para Imam

Para imam tentu saja perlu memperhatikan ketentuan yang ditegaskan Bapa Paus dalam dokumen ini. Bapa Paus mengeluarkan aturan bahwa “Para imam yang ditahbiskan setelah penerbitan Motu Proprio ini, yang bermaksud merayakan liturgi dengan Missale Romanum tahun 1962, harus mengajukan permintaan resmi kepada Uskup diosesan yang akan berkonsultasi dengan Takhta Apostolik sebelum memberikan kewenangan tersebut” (TC, art. 4).

Sementara itu, dalam dokumen ini juga dinyatakan bahwa “Para imam yang telah merayakan liturgi menurut Missale Romanum tahun 1962 akan meminta izin kepada Uskup diosesan untuk melanjutkan penggunaan fakultas ini” (TC, art. 5).

Pengawasan Ketentuan Baru Ini

Dalam dokumen “Traditionis Custodes” ini, Bapa Paus mengeluarkan ketentuan bagi Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Bapa Paus menyatakan: “Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, yang didirikan pada saat itu oleh Komisi Kepausan Ecclesia Dei, berada di bawah kewenangan Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan” (TC, art. 6).

Sedangkan tugas pengawasan terkait ketentuan perayaan liturgi baru ini diserahkan kepada dua Kongregasi Kepausan: “Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen-Sakramen dan Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, untuk hal-hal yang menjadi kewenangan khusus mereka, akan menjalankan wewenang Takhta Suci, dengan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan ini” (TC, art. 7). Di akhir dokumen ini, Bapa Paus menegaskan bahwa “Norma, instruksi, izin dan kebiasaan sebelumnya yang tidak sesuai dengan ketentuan Motu Proprio ini, dihapus” (TC, art. 8).

Dari dokumen ini kita dapat menangkap pesan utama Bapa Paus Fransiskus bahwa perayaan liturgis mesti mewujudkan kerukunan dan kesatuan umat Katolik di seluruh dunia. Dimensi universalitas dalam merayakan Misa perlu dipelihara. Dengan kata lain, tradisi dan ajaran resmi perayaan Misa harus dijaga. Umat Katolik seluruh dunia dipanggil untuk menaati norma-norma terkait validitas dan legitimasi pembaruan liturgi, sesuai perintah Konsili Vatikan II dan ajaran Magisterium dari Bapa Paus dari waktu ke waktu.

Bandung, 17 Juli 2021

Pastor Postinus Gulö, OSC

NB:

Sebagian besar isi tulisan ini merupakan terjemahan dari Motu Proprio “Traditionis Custodes” versi bahasa Italia yang dipublikasikan dalam https://www.vatican.va/content/francesco/it/motu_proprio/documents/20210716-motu- proprio-traditionis-custodes.html.

Posted in Motu Proprio Traditionis Custodes, Paus Fransiskus, Pope Francis, Traditionis Custodes | Leave a Comment »

ANTIQUUM MINISTERIUM

Posted by postinus pada Mei 25, 2021


ANTIQUUM MINISTERIUM

SURAT APOSTOLIK DALAM BENTUK MOTU PROPRIO

BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS

TENTANG PENDIRIAN PELAYANAN KATEKIS

1. Pelayanan Katekis di dalam Gereja sudah sangat tua. Para teolog umumnya berpendapat bahwa contoh pertama pelayanan katekis sudah ada dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru. Pelayanan katekese dapat ditemukan bentuk awalnya dari kata “para pengajar” (maestri) yang disebutkan oleh Rasul Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Korintus: “Allah telah menetapkan beberapa orang dalam jemaat, pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mukjizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh? Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi” (1 Kor 12: 28-31).

Sumber foto: https://www.ctsbooks.org/product/antiquum-ministerium/

Santo Lukas memulai Injilnya dengan menyatakan: “Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, Teofilus yang mulia, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Luk 1: 3-4). Penginjil tampaknya sangat menyadari bahwa tulisannya menawarkan suatu bentuk instruksi khusus yang dapat memberikan jaminan yang kuat kepada mereka yang sudah dibaptis. Rasul Paulus, kembali pada pokok bahasan itu, ketika mengatakan kepada jemaat Galatia: “Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu” (Gal 6: 6). Jelaslah, teks ini menambahkan kekhasan fundamental: teks berbicara tentang persekutuan hidup sebagai tanda kesuburan katekese yang otentik.

2. Sejak awal, komunitas Kristen dicirikan oleh berbagai bentuk pelayanan yang dilakukan baik pria maupun wanita yang taat pada pekerjaan Roh Kudus, mengabdikan hidup mereka untuk pembangunan Gereja. Kadang-kadang, karisma yang terus-menerus dicurahkan oleh Roh kepada orang-orang yang dibaptis mengambil bentuk yang terlihat dan nyata dari pelayanan langsung kepada komunitas Kristen, yang diakui sebagai diakonia yang sangat diperlukan bagi komunitas. Rasul Paulus dengan berwibawa bersaksi tentang hal ini ketika dia menyatakan bahwa  “ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh; ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan; ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mukjizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya (1 Kor 12:4-11).

Oleh karena itu, dalam tradisi karismatik Perjanjian Baru yang lebih luas, kita dapat mengenali kehadiran aktif dari orang-orang tertentu yang dibaptis yang telah melaksanakan pelayanan untuk menyampaikan ajaran para rasul dan penginjil dalam cara yang lebih organik, permanen dan terkait dengan berbagai keadaan  kehidupan (bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum, 8). Gereja ingin mengakui kebaktian ini sebagai ekspresi konkret dari karisma pribadi yang memberikan kontribusi besar bagi pelaksanaan misi penginjilan Gereja. Pandangan sekilas tentang kehidupan komunitas Kristen pertama yang terlibat dalam penyebaran Injil ini juga mendorong Gereja di zaman kita untuk menghargai kemungkinan cara baru bagi Gereja untuk tetap setia pada Sabda Tuhan sehingga InjilNya dapat diwartakan kepada setiap makhluk.

3. Sejarah evangelisasi selama dua milenium terakhir dengan jelas menunjukkan keefektifan misi para katekis. Para uskup, imam dan diakon, bersama dengan kaum rohaniwan dan rohaniwati dalam tarekat hidup bakti, mengabdikan hidup mereka untuk pengajaran katekese sehingga iman dapat menjadi pendukung yang efektif bagi kehidupan setiap manusia. Beberapa juga berkumpul di sekitar  mereka saudara-saudari lain untuk berbagi karisma yang sama, dan mendirikan ordo religius yang sepenuhnya didedikasikan untuk katekese.

Kita tidak dapat melupakan banyaknya pria dan wanita awam yang mengambil bagian secara langsung dalam menyebarkan Injil melalui pengajaran katekese. Pria dan wanita digerakkan oleh iman yang besar dan saksi otentik dari kekudusan yang, dalam beberapa kasus, juga pendiri Gereja, bahkan memberikan nyawa mereka. Di zaman kita sekarang juga, banyak katekis yang kompeten dan berdedikasi menjadi pemimpin komunitas di berbagai wilayah dan menjalankan misi yang tak tergantikan untuk penyebaran dan pendalaman iman. Daftar panjang orang-orang yang diberkati, orang-orang kudus dan para martir katekis menandai misi Gereja yang pantas untuk diketahui karena itu merupakan sumber yang bermanfaat tidak hanya untuk katekese, tetapi untuk seluruh sejarah spiritualitas Kristen.

4. Sejak Konsili Ekumenis Vatikan II, Gereja dengan kesadaran baru telah menyadari betapa pentingnya keterlibatan kaum awam dalam karya evangelisasi. Para Bapa Konsili berulang kali menekankan betapa pentingnya keterlibatan langsung umat awam, dalam berbagai cara di mana karisma mereka dapat diekspresikan untuk “plantatio Ecclesiae” (penyebaran Gereja) dan pengembangan komunitas Kristen. “Juga pantas dipuji pasukan katekis, baik pria maupun wanita, yang berjasa begitu besar dalam karya misioner di antara para bangsa, yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh perlu demi penyebarluasan iman dan Gereja. Pada zaman kita ini ketika semakin sedikit jumlah klerus untuk mewartakan Injil dan untuk menjalankan pelayanan pastoral kepada umat yang jumlahnya begitu besar, maka tugas para katekis sangat penting” (lih. Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekrit Ad Gentes, 17).

Bersama-sama dengan ajaran Konsili yang begitu kaya, perlu juga mengacu pada perhatian terus-menerus dari para Paus, Sinode oara Uskup, Konferensi para Uskup dan masing-masing Uskup yang dalam beberapa dekade terakhir telah memberikan pembaruan penting pada katekese. Katekismus Gereja Katolik, Seruan Apostolik Catechesi Tradendae, Petunjuk  Umum Katekese, Pedoman Umum untuk Katekese dan yang paling baru Direktori untuk Katekese, serta katekismus-katekismus nasional, regional dan keuskupan, telah menegaskan sentralitas katekese yang memberikan prioritas pada pendidikan dan pembentukan berkelanjutan umat beriman.

5. Tanpa mengurangi misi Uskup sendiri sebagai Katekis pertama di Keuskupannya bersama dengan para pastor di mana ia berbagi reksa pastoral yang sama dengannya, dan tanggung jawab khusus orang tua berkenaan dengan pembinaan Kristiani bagi anak-anak mereka (bdk. CIC can. 774 §2; CCEO can. 618), adalah perlu untuk mengakui kehadiran umat awam yang berdasarkan baptisan mereka merasa terpanggil untuk bekerja sama dalam pelayanan katekese (bdk. KHK Kan. 225; CCEO Kan. 401 dan Kan. 406). Kehadiran kaum awam tersebut semakin dibutuhkan saat ini sebagai hasil dari kesadaran kita yang semakin meningkat akan kebutuhan evangelisasi dalam dunia kontemporer (bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 163-168), dan kebangkitan budaya global (bdk. Surat Ensiklik Fratelli Tutti, 100, 138), yang membutuhkan sebuah perjumpaan otentik dengan generasi muda, tanpa melupakan kebutuhan akan metodologi dan sarana kreatif yang membuat pewartaan Injil konsisten dengan transformasi misionaris yang telah dilakukan Gereja. Kesetiaan pada masa lalu dan tanggung jawab saat ini merupakan syarat mutlak bagi Gereja untuk dapat menjalankan misinya di dunia.

Untuk membangkitkan antusiasme pribadi dari setiap orang yang dibaptis dan untuk menghidupkan kembali kesadaran akan panggilan mereka untuk melaksanakan misi yang tepat dalam komunitas,  menuntut perhatian untuk mendengarkan suara Roh yang selalu hadir dan berbuah (bdk. KHK Kan. 774 §1; CCEO Kan. 617). Bahkan pada zaman ini, Roh Kudus memanggil pria dan wanita untuk pergi menemui orang banyak yang menunggu untuk mengetahui keindahan, kebaikan, dan kebenaran dari iman Kristen. Adalah tugas para Pastor untuk mendukung mereka dalam proses ini dan untuk memperkaya kehidupan komunitas Kristen melalui pengakuan pelayanan awam yang mampu berkontribusi pada transformasi masyarakat melalui “penanaman nilai-nilai Kristen ke dalam sektor sosial, politik dan ekonomi”(Evangelii Gaudium, 102).

6. Kerasulan awam memiliki nilai sekuler yang tak terbantahkan. Hal ini menuntut umat awam untuk “mencari kerajaan Allah dengan terlibat dalam urusan duniawi dan mengarahkan mereka sesuai dengan kehendak Allah” (bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 31). Dalam kehidupan sehari-hari mereka yang terjalin dengan keluarga dan hubungan sosial, kaum awam menyadari bahwa mereka “diberi panggilan khusus untuk menjadikan Gereja hadir dan berbuah di tempat-tempat dan keadaan-keadaan di mana hanya melalui merekalah Gereja dapat menjadi garam dunia”(Lumen Gentium, 33). Namun demikian, kita perlu mengingat dengan baik bahwa selain kerasulan ini “kaum awam juga dapat dipanggil dalam berbagai cara untuk bekerja sama lebih langsung dengan kerasulan Hierarki yang menyerupai pria dan wanita yang membantu Rasul Paulus dalam perwartaan Injil, dengan banyak berjerih-payah untuk Tuhan” (Lumen Gentium, 33).

Peran khusus yang dilakukan oleh Katekis merupakan salah satu pelayanan khusus dari pelayanan lainnya yang ada dalam komunitas Kristen. Bahkan, para Katekis dipanggil pertama-tama untuk mengungkapkan kemampuannya dalam pelayanan pastoral untuk menyebarkan iman yang berkembang dalam tahapan yang berbeda: dari pewartaan pertama yang memperkenalkan kerygma, hingga instruksi yang membuat seseorang sadar akan hidup baru di dalam Kristus dan khususnya mempersiapkan sakramen-sakramen inisiasi Kristen, hingga pembinaan berkelanjutan yang memungkinkan setiap orang yang dibaptis untuk selalu siap “untuk memberi pertanggungan jawab dari siapa pun yang meminta alasan tentang pengharapan” (bdk. 1 Ptr 3:15). Pada saat yang sama, setiap katekis harus menjadi saksi iman, seorang guru dan mistikus, rekan dan pendidik, yang mengajar dalam nama Gereja. Hanya melalui doa, studi, dan partisipasi langsung dalam kehidupan komunitas mereka dapat tumbuh dalam identitas ini dan dengan penuh integritas dan tanggung jawab (bdk. Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, Direktori untuk Katekese, 113).

7. Dengan pandangan jauh ke depan, Santo Paulus VI mengeluarkan Surat Apostolik Ministeria Quaedam dengan maksud tidak hanya untuk menyesuaikan pelayanan Lektor dan Akolit dengan keadaan sejarah yang berubah (bdk. Surat Apostolik Spiritus Domini), tetapi juga untuk mendorong Konferensi para Uskup untuk mempromosikan pelayanan-pelayanan lain termasuk di antaranya pelayanan Katekis: “Selain pelayanan-pelayanan umum Gereja Latin ini, tidak ada yang menghalangi Konferensi para Uskup untuk meminta kepada Takhta Apostolik, jika mereka mempertimbangkan, untuk alasan tertentu, pendirian pelayanan lain yang diperlukan atau sangat berguna di wilayah mereka sendiri. Dari jenis ini, misalnya, pelayanan Ostiario (Penjaga Pintu Gereja), Eksorsis dan Ketekis”.Undangan mendesak yang sama ditemukan dalam Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi ketika dokumen ini meminta untuk dapat membaca kebutuhan aktual komunitas Kristen dalam kesetiaan yang berkesinambungan dengan asal-usulnya, Paus Paulus VI menganjurkan untuk menemukan bentuk-bentuk pelayanan baru untuk pembaharuan reksa pastoral: “Para pelayan ini, meskipun kelihatannya baru tetapi erat terkait dengan pengalaman hidup dari Gereja selama berabad-abad, seperti misalnya para katekis… sangatlah berharga bagi pembangunan Gereja dalam mempengaruhi sekitarnya dan menjangkau mereka yang jauh dari Gereja (St. Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, 73).

Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa “telah berkembang kesadaran tentang identitas dan perutusan kaum awam di dalam Gereja. Kita dapat mengandalkan banyak awam, meskipun masih jauh dari cukup, yang memiliki citarasa komunitas yang berakar dalam dan kesetiaan besar terhadap tugas amal kasih, katekese, serta perayaan iman” (Evangelii Gaudium, 102). Oleh karena itu, penerimaan pelayanan awam seperti seorang Katekis memberikan penekanan yang lebih besar pada komitmen misionaris yang khas dari setiap orang yang dibaptis, yang bagaimanapun juga harus dilakukan dalam bentuk yang sepenuhnya sekuler tanpa jatuh ke dalam ekspresi klerikalisasi.

8. Pelayanan ini memiliki nilai panggilan tertentu yang kuat sebagaimana dibuktikan oleh Ritus pendirian sehingga membutuhkan discernimento (proses pembedaan Roh) dari Uskup. Ini sebenarnya adalah pelayanan yang tetap yang diberikan kepada Gereja lokal sesuai dengan kebutuhan pastoral yang ditelaah oleh Ordinaris wilayah, tetapi dilakukan sebagai karya pelayanan awam sebagaimana yang dituntut oleh sifat pelayanannya. Sungguh tepat bahwa mereka yang dipanggil dalam pelayanan Katekis yang dilembagakan adalah pria dan wanita yang memiliki iman yang dalam dan kedewasaan manusiawi, berpartisipasi aktif dalam kehidupan komunitas Kristen, mampu menerima orang lain, murah hati dan hidup dalam persekutuan persaudaraan; mereka juga harus menerima pembinaan yang tepat terkait Kitab Suci, teologi, pastoral dan pedagogi untuk menjadi pewarta yang penuh perhatian pada kebenaran iman, dan mereka memiliki pengalaman katekese yang matang (bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekrit Christus Dominus, 14; KHK Kan.  231 §1; CCEO Kan. 409 §1). Mereka dituntut untuk menjadi rekan kerja yang setia dari para imam dan diakon, bersedia untuk menjalankan pelayanan di mana diperlukan, dan digerakkan oleh antusiasme kerasulan yang sejati.

Oleh karena itu, setelah mempertimbangkan berbagai aspek, berdasarkan otoritas apostolik

Saya mendirikan

Pelayanan Katekis Awam

Kongregasi untuk Ibadah Ilahi dan Tertib Sakramen akan segera menerbitkan Ritus Pendirian pelayanan Katekis awam.

9. Saya mengundang Konferensi para Uskup untuk mengefektifkan pelayanan Katekis, menentukan proses pembinaan yang diperlukan dan kriteria normatif untuk masuk ke dalam pelayanan ini, dan merancang bentuk yang paling tepat untuk pelayanan di mana pria dan wanita akan dipanggil untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Surat Apostolik ini.

10. Sinode Gereja-Gereja Timur atau Majelis Hierarki dapat mengadopsi apa yang ditetapkan dalam surat Apostolik ini untuk masing-masing Gereja yang memiliki hak mandiri (sui iuris), berdasarkan hukum partikular mereka sendiri.

11. Para Uskup harus melakukan segala upaya untuk mematuhi anjuran dari para Bapa Konsili: “Para Gembala mengetahui bahwa mereka diangkat oleh Kristus bukan untuk mengemban sendiri seluruh misi penyelamatan Gereja di dunia, melainkan tugas mereka yang mulia adalah menggembalakan Umat beriman dan mengakui pelayanan-pelayanan serta kurnia-kurnia (karisma) mereka sedemikian rupa sehingga semua saja dengan cara mereka sendiri sehati-sejiwa bekerja sama untuk mendukung karya bersama” (Lumen Gentium, 30). Semoga melalui disermen (discernimento) karunia-karunia Roh Kudus tidak pernah membiarkan Gereja-Nya kekurangan dukungan karena para Gembala membuat pelayanan Katekis efektif untuk pertumbuhan komunitas mereka sendiri.

Apa yang ditetapkan dalam Surat Apostolik ini yang diterbitkan dalam bentuk “Motu proprio”, saya perintahkan memiliki efek yang tegas dan tetap, meskipun ada yang bertentangan bahkan jika perlu disebutkan secara khusus, dan dipromulgasikan melalui publikasi di L’Osservatore Romano, mulai berlaku pada hari yang sama, dan kemudian diterbitkan dalam komentar resmi Acta Apostolicae Sedis (Akta Tahta Apostolik).

Diberikan di Roma, di Basilika Santo Yohanes Lateran, pada 10 Mei 2021, peringatan liturgis Santo Yohanes dari Avila, Imam dan Doktor Gereja, pada tahun kesembilan masa Kepausan saya.

Paus Fransiskus

NB:

Diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari teks bahasa Italia yang dipublikasikan

dalam http://www.vatican.va (dengan perbandingan versi bahasa Inggris)

Posted in Seminar | Leave a Comment »

KESETIAAN

Posted by postinus pada Mei 18, 2021


Renungan Misa Harian, Selasa, 18/5/2021

Dalam bacaan Injil Yoh 17:1-11a, yang dibacakan dalam Misa hari ini, 18 Mei 2021, Yesus  kembali meyakinkan para muridNya bahwa Ia dan Bapa adalah satu, intim, sangat dekat.

Konteks Injil hari ini adalah saat Perjamuan Malam terakhir Yesus bersama para muridNya. Dalam perjamuan malam terakhir itu, lalu Yesus berdoa untuk para muridNya. Dalam doaNya, Yesus mengungkapkan bahwa Ia telah memuliakan BapaNya dengan SETIA menyelesaikan semua pekerjaan yang BAPA berikan kepadaNYA untuk Ia lakukan.

Yesus juga mengungkapkan bahwa Ia mempersiapkan para murid untuk menghadapi dengan SETIA fakta salib serta sadar dan mau berjuang meneruskan misiNya di dunia yang penuh dengan kuasa gelap itu. Dengan kata lain, inti  Doa Yesus dalam Injil tersebut adalah agar para murid dan semua pengikutNya dijaga dan dipelihara oleh Bapa dari dunia yang penuh kuasa jahat, serta dipersatukan dengan Bapa, Sang Pemilik segala sesuatu, dalam persekutuan kudus yang memuliakan Nama-Nya.

Dalam Yoh 17: 3 Tuhan Yesus menegaskan terkait kehidupan kekal: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Ayat ini perlu direnungkan. MENGENAL tidak sebatas kenal namaNya, tetapi SETIA melaksanakan pekerjaan-pekerjaanNya.

Yesus datang ke dunia, melaksanakan dengan SETIA pekerjaan BapaNya, Ia menyebarkan KEBENARAN, melaksanakan misi demi KEBAIKAN manusia agar mereka memperoleh KEHIDUPAN KEKAL. Kesetiaan Yesus ini sebagai ungkapan nyata bahwa Yesus sungguh mengenal BapaNya. Yesus tentu meminta para muridNya (termasuk kita para pengikutNya) untuk setia melaksanakan pekerjaan-pekerjaanNya yang notabene pekerjaan-pekerjaan BapaNya.

Oleh karena itu, kita perlu menegaskan bahwa kita sebagai pengikut Kristus, telah memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus manakala kita SETIA pada pekerjaan-pekerjaanNya, berjuang sekuat tenaga menyatakan dan menyebarkan kebenaran, berbuat kebaikan dan memelihara kehidupan di dunia ini demi kehidupan kekal.

Dalam bacaan I (Kisah Para Rasul 20:17-27), Rasul Paulus adalah salah satu PENGIKUT KRISTUS yang sungguh-sungguh SETIA pada Yesus. Ia tetap melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan Allah melalui pelayanannnya kendati menghadapi tantangan dan ancaman.

“Kamu tahu, bagaimana aku hidup di antara kamu sejak hari pertama aku tiba di Asia ini: dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan. Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku” (Kis 20: 18-19).

Namun, Rasul Paulus meneguhkan kita bahwa kendati mengalami tantangan dalam pelayanan, kita tidak boleh lalai, lemah, undur diri. Kita HARUS tetap berjuang dan setia! Itu sebabnya, Rasul Paulus berkata: “Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu” (Kis 20: 20).

Kalau kita lihat kehidupan kita saat ini, kita bersyukur bahwa banyak orang yang menjadi pengikut Kristus, mewartakan karya-karya Tuhan Allah, menyatakan dan menyebarkan kebenaran, kebaikan serta memelihara kehidupan. Kita juga bersyukur bahwa banyak pengikut Kristus yang tetap SETIA pada imannya kendati menghadapi tantangan “SALIB”: gangguan, ejekan dan ancaman. Tuhan memberkati kita semua.

Bandung, 18/5/2021

Oleh Pastor Postinus Gulö, OSC

Posted in Homily, RENUNGAN | Leave a Comment »

“Setia dan Konsisten menjadi Pengikut Yesus” (Homili Misa Harian 30 Maret 2021)

Posted by postinus pada Maret 29, 2021


Ada banyak orang yang merasa dicintai oleh Allah. Kendati hidup susah, tetap merasa terberkati. Banyak pula yang merasa bahwa pelayanannya merupakan panggilan dari Tuhan Allah. Namun, tidak sedikit pula yang melihat negatif hidupnya: merasa sial, terkutuk, tak dicintai, tak diperhatikan. Ada pula yang merasa bahwa Tuhan Allah meninggalkan dirinya. Akibatnya: putus asa, murung, tak ada harapan!  Inilah dua kelompok umat, yang kadang kita hadapi. Bisa saja kita juga termasuk salah satu di antara mereka.

Saudara-Saudariku terkasih,

Saya pro pada pandangan kelompok umat yang pertama. Mereka melihat bahwa Allah peduli pada mereka. Pelayanannya merupakan panggilan dari Tuhan. Ini bukan khayalan. Tapi ada dasarnya dalam Kitab Suci. Itulah yang kita dengar dalam bacaan pertama hari ini (Yesaya 49: 1-6). Dalam ayat pertama ditegaskan: “Tuhan Allah telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku”. Jika membaca Yes 49: 1 ini, maka kita ingat Yer 1: 5, di mana Tuhan Allah berfirman  kepada Yeremia: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa”.

Luar biasa, bukan? Sejak dalam kandungan Tuhan Allah telah mengenal kita, menguduskan kita dan bahkan memanggil kita dalam panggilan yang Ia kehendaki. Pendeknya, sejak awal Tuhan punya misi atas kita. Dan tentunya, menyangkut hal-hal baik, benar dan bijak. Tuhan Allah memanggil kita pada kehendakNya yang menyelamatkan kita!

Pertanyaannya, jika Tuhan telah mengenal kita sejak lahir dan memanggil kita pada kehendakNya, pada misiNya, mengapa kita jatuh dalam dosa? Jawabannya kita bia timba dari Injil Yoh. 13:21-33.36-38.

Pertama, tidak mengerti dan tidak mau mengerti kehendak dan misi Tuhan. Tuhan Allah tidak sekadar memberikan harapan dengan kata-kata kepada kita. Tetapi, Ia mengutus HambaNya, yakni “Hamba Yahweh” yang adalah Yesus sendiri, untuk menebus kita dari dosa, untuk mengembalikan kita pada jalan kebenaran dan kehidupan. Apa yang terjadi? Perjuangan Yesus ke dunia tidak dimengerti dan tidak mau dimengerti oleh sebagian manusia. Ada banyak manusia yang menolak kedatangan dan warta keselamatan Yesus. Dalam kelompok murid Yesus, sosok yang mewakili sosok ini adalah Yudas Iskariot.

Yang dipikirkan oleh Yudas adalah agenda-agenda pribadinya. Kendati ia bersama-sama dengan Yesus dan bahkan mendapat kepercayaan sebagai “bendahara” kelompok murid Yesus, toh ia tergoda mengkhianati Yesus, sang Gurunya. Sebenarnya, Yudas masih punya waktu untuk bertobat saat diperingatkan oleh Yesus terkait pengkhianatannya itu. Namun, hati Yudas Iskariot sudah begitu membatu, ia tidak bertobat, terus menjerumuskan diri pada niat jahatnya.

Kedua, tidak konsisten. Orang jatuh dalam dosa, oleh karena tidak konsisten. Ada banyak yang membiarkan goadaan itu meremukkan dirinya sehingga tak berdaya lagi. Itulah yang terjadi dengan Petrus. Awalnya Petrus begitu berkobar-kobar membela Yesus: “Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yoh 13: 37). Namun, saat Yesus ditangkap, disiksa dan disalibkan, Petrus menyangkal Yesus. Saat itu, Petrus tidak lagi berkobar-kobar membela Yesus, malah berpura-pura tidak mengenal siapakah Yesus itu. Saat derita, saat sulit, rupanya bisa mengubah komitmen Petrus. Sebenarnya, sikap Petrus ini bisa saja mewakili sikap kita pula. Adakah suami-istri tetap setia kendati dirundung malang, tak bernasib baik membangun keluarga? Tetapkah para imam berkobar-kobar melayani saat diutus ke daerah misi penuh lumpur, penuh tantangan, tak ada kenyamanan, di daerah pinggiran? Dan, silakan tambahkan berbagai pertanyaan reflektif Anda!

Barangkali kita pernah dan akan seperti Yudas yang menghianati Yesus. Punya agenda yang tidak sesuai dengan panggilan Tuhan kepada kita sejak kita dalam kandungan. Bisa juga kita seperti Petrus yang tadinya berkobar-kobar bersama Yesus, tapi ternyata tidak konsisten. Kita melempem saat derita mendera kita.

Saudara-Saudariku terkasih,

Hal yang mesti kita ingat dan laksanakan adalah sikap Petrus yang tetap berharap. Ia memang jatuh dalam dosa, menyangkal Yesus. Namun, Petrus dengan penuh penyesalan membuka hatinya pada pengampunan Tuhan. Petrus pun bertobat dan tetap setia mewartakan siapakah Yesus hingga akhirnya hidupnya. Kita ingat bahwa Petrus pun disalibkan sama seperti Yesus. Oleh karena pertobatannya, Petrus beroleh hidup, beroleh rahmat Tuhan. Ia menjadi salah satu contoh di antara pengikut Yesus yang bangkit dari dosa dan kesalahannya.

Tentu saja, yang kita hindari adalah sikap akhir dari Yudas Iskariot. Ia menyadari telah berdosa, tetapi bukan berkomitmen untuk bertobat, melainkan putus asa. Ia pun menutup pintu hatinya pada rahmat pengampunan dan ia juga tidak berubah, tidak bertobat. Malah ia pergi “gantung diri”, menjadikan dirinya hakim atas hidupnya!

Menjadi pengikut Yesus tentu kita berhadapan dengan berbagai kondisi dan situasi. Hal-hal itu juga yang bisa saja membelokkan arah panggilan kita. Maka, saat kita jatuh dalam dosa dan kesalahan, segeralah bangkit, mohon pengampunan dariNya. Jauhilah sikap putus asa. Dan, bangunlah komitmen bahwa Anda setia padaNya, pada panggilan Allah. Mohon rahmat kekuatan dari Tuhan sehingga Anda konsisten menjalankan misiNya. Tuhan memberkati. Amin.

Bandung, 29 Maret 2021

Oleh P. Postinus Gulö, OSC

Posted in Homily, RENUNGAN | Leave a Comment »

Paus: Organisasi-Organisasi ‘mafia’ mengeksploitasi pandemi untuk memperkaya diri mereka sendiri

Posted by postinus pada Maret 22, 2021


Bapa Suci Paus Fransiskus dalam suatu Audiensi Umum (Foto: Vatican News)

Paus Fransiskus mengenang semua korban ‘mafia’ di seluruh dunia dan menegaskan bahwa organisasi-organisasi kriminal memanfaatkan pandemi untuk memperkaya diri mereka sendiri.

Oleh Linda Bordoni

Mengingat fakta bahwa pada hari Minggu (21/3), Italia menandai Hari Peringatan para Korban Mafia yang Tak Berdosa, Paus Fransiskus mengatakan bahwa ada organisasi-organisasi mafia di berbagai belahan dunia yang memanfaatkan pandemi virus corona untuk memperkaya diri mereka sendiri melalui korupsi.

Berbicara setelah doa Angelus pada Minggu (21/3/2021), Paus Fransiskus mengingat kembali kecaman terhadap mafia oleh para pendahulunya, Paus Santo Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI.

 “St. Yohanes Paulus II mengecam budaya kematian mereka dan Benediktus XVI mengecam mereka sebagai jalan kematian”, kata Paus Fransiskus, dan menggambarkan mereka sebagai “organisasi-organisasi dosa” yang bertentangan dengan Injil Kristus.

“Mereka menukarkan iman dengan penyembahan berhala”, kata Paus dan ia mengundang umat beriman untuk mengenang semua korban organisasi mafia dan memperbarui komitmen melawan organisasi-organisasi kriminal ini.

Paus St Yohanes Paulus II

St. Yohanes Paulus II mengeluarkan apa yang diakui secara internasional sebagai “cercaan profetik” terhadap mafia selama kunjungannya ke Agrigento di Sisilia pada tanggal 9 Mei 1993. Dalam kata-katanya di akhir Misa, St. Yohanes Paulus II meminta  ‘Mafiosi’ bertobat, mengubah cara mereka atau menghadapi murka penghakiman terakhir Tuhan.

Paus Benediktus XVI

Paus Benediktus XVI mengecam “mafia Ndrangheta” Italia yang “ganas” selama kunjungannya ke pusat daerah kelompok itu di wilayah selatan Calabria pada 9 Oktober 2011.

Kepada 40.000 orang di lokasi industri yang tidak digunakan di Lamezia Terme, Paus mengatakan keluarga kriminal di Calabria “merobek tatanan sosial” di sebuah wilayah “yang tampaknya terus-menerus berada dalam keadaan darurat”.

Dalam kunjungannya ke kota Sisilia di Palermo pada tahun silam, Paus Benediktus menyebut mafia sebagai “jalan kematian, tidak sesuai dengan Injil”.

Hari Nasional

Ditetapkan pada tahun 2016, Hari Peringatan Nasional Italia dan Komitmen untuk Mengenang para Korban Mafia berlangsung pada tanggal 21 Maret setiap tahun.

Asosiasi Bebas Italia (Associazione Libera), sebuah organisasi anti-mafia nasional, telah menggunakan tanggal ini untuk memperingati para korban kejahatan mafia sejak tahun 1996. Ketika ditetapkan sebagai upacara institusional, presiden Asosiasi Libera menggambarkan langkah tersebut sebagai “pengakuan penting” dari perjuangan yang berkelanjutan melawan pemerasan dan kekejaman mafia.

Diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan (https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2021-03/pope-angelus-mafia-remembrance-victims-mafia-organizations.html)

Posted in Paus Fransiskus, Pope Francis | Leave a Comment »

Gereja Tidak Memiliki Kuasa Memberkati Persatuan Sesama Jenis

Posted by postinus pada Maret 22, 2021


JAWABAN KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN TERHADAP PERTANYAAN MENGENAI PEMBERKATAN  PERSATUAN SESAMA JENIS

PERTANYAAN YANG DIAJUKAN:

Apakah Gereja memiliki kuasa untuk memberkati persatuan orang-orang sesama jenis?

JAWABAN:

Negatif (tidak)

CATATAN PENJELASAN

Dalam beberapa konteks gerejawi, rencana dan usulan terhadap pemberkatan persatuan sesama jenis terus menyebar. Rancangan-rancangan semacam itu tidak jarang dimotivasi oleh kehendak yang tulus untuk menyambut dan menemani orang-orang homoseksual, yang kepada mereka ditawarkan jalan pertumbuhan dalam iman, “sehingga mereka yang menunjukkan orientasi homoseksual dapat menerima bantuan yang mereka butuhkan untuk sepenuhnya memahami dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup mereka”[1].

Pada jalan seperti itu, mendengarkan firman Tuhan, doa, partisipasi dalam tindakan liturgis Gerejawi dan pelaksanaan amal kasih dapat memainkan peran penting dalam menyokong komitmen untuk membaca sejarah sendiri dan untuk mematuhi dengan kebebasan dan tanggung jawab pada panggilan baptisan seseorang, oleh karena “Tuhan mencintai setiap orang dan begitu pula Gereja melakukan hal yang sama”[2], menolak semua diskriminasi yang tidak adil.

Di antara tindakan liturgis Gereja, sakramentali satu demi satu memiliki makna penting: “tanda-tanda sakral yang dengannya menyerupai sakramen: sakramentali-sakramentali itu menandakan efek, terutama hal spiritual, yang diperoleh melalui permohonan Gereja. Melalui sakramentali-sakramentali, umat manusia menjadi siap menerima efek utama sakramen, dan berbagai situasi kehidupan dikuduskan”[3]. Maka, Katekismus Gereja Katolik menetapkan bahwa “Sakramentali tidak memberi rahmat Roh Kudus seperti dibuat Sakramen, tetapi melalui doa Gereja, sakramentali-sakramentali mempersiapkan kita untuk menerima rahmat dan menjadikan kita siap untuk bekerja sama dengannya” (KGK no. 1670).

Berkat termasuk dalam kategori sakramentali, di mana Gereja “memanggil kita untuk memuji Tuhan, mengundang kita untuk memohon perlindungan-Nya, dan menganjurkan kita mencari belas kasihan-Nya melalui kekudusan hidup kita”[4]. Selain itu, sakramentali-sakramentali “telah ditetapkan sebagai yang menyerupai sakramen, pada prinsipnya berkat adalah tanda efek spiritual yang diperoleh melalui permohonan Gereja”[5].

Konsekuensinya, agar sesuai dengan hakikat sakramentali, ketika berkat dimohonkan bagi hubungan manusia tertentu, di samping niat yang benar dari mereka yang berpartisipasi di dalamnya, tentulah penting bahwa apa yang diberkati harus secara obyektif dan positif diminta untuk menerima dan mengungkapkan rahmat sesuai dengan rancangan Tuhan yang terukir dalam ciptaan, dan sepenuhnya diwahyukan oleh Kristus Tuhan. Oleh karena itu, hanya realitas yang dengan sendirinya diperintahkan untuk melayani tujuan-tujuan itu yang sesuai dengan esensi berkat yang diberikan oleh Gereja.

Untuk alasan ini, tidak diperbolehkan untuk memberikan berkat pada hubungan, atau persekutuan, bahkan jika hubungan itu stabil, yang melibatkan aktivitas seksual di luar pernikahan (yaitu, di luar persekutuan hidup yang tak terputuskan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang terbuka terhadap transmisi kehidupan), seperti kasus persatuan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama[6]. Kehadiran elemen-elemen positif dalam hubungan sesama jenis, yang dengan sendirinya dihargai dan diapresiasi, namun tidak dapat membenarkan hubungan sesama jenis tersebut dan menjadikannya objek yang sah dari berkat gerejawi, karena unsur-unsur positif ada dalam konteks persatuan yang tidak teratur sesuai dengan rencana Sang Pencipta.

Lebih jauh lagi, karena berkat terhadap orang berhubungan dengan sakramen, maka pemberkatan persatuan homoseksual tidak dapat dianggap sah, oleh karena pemberkatan tersebut akan menyerupai atau menjadi analogi dari pemberkatan pernikahan,[7] yang dimohonkan kepada laki-laki dan perempuan yang dipersatukan dalam sakramen Perkawinan, mengingat bahwa “sama sekali tidak ada dasar untuk menyerupai atau membangun analogi, bahkan yang jauh, antara persatuan homoseksual dan rencana Tuhan untuk pernikahan dan keluarga”[8].

Oleh karena itu, pernyataan tentang tidak sahnya berkat bagi persatuan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama bukanlah, dan tidak dimaksudkan sebagai, suatu bentuk diskriminasi yang tidak adil, melainkan untuk mengingat akan kebenaran ritus liturgis dan sifat dasar dari sakramentali, sebagaimana Gereja memahaminya.

Komunitas Kristiani dan para Pastor dipanggil untuk menyambut orang-orang dengan kecenderungan homoseksual dengan rasa hormat dan kepekaan, dan dapat menemukan cara yang paling tepat, sesuai dengan ajaran Gereja, untuk mewartakan Injil secara utuh kepada mereka. Pada saat yang sama, mereka mengakui kedekatan tulus Gereja – yang berdoa untuk mereka, menemani mereka, berbagi perjalanan iman Kristen mereka[9] – dan mereka menerima ajaran-ajaran dengan kesediaan yang tulus.

Jawaban atas dubium (pertanyaan doktrinal) yang diajukan tidak mengecualikan berkat yang diberikan kepada individu dengan kecenderungan homoseksual[10], yang mewujudkan kehendak untuk hidup dalam kesetiaan pada rancangan yang diwahyukan Tuhan seperti yang ditawarkan oleh ajaran Gereja. Sebaliknya, jawaban tersebut menyatakan bahwa dilarang (illecita) segala bentuk berkat yang cenderung mengakui persatuan homoseksual. Dalam hal ini, sebenarnya, berkat tersebut tidak akan mewujudkan niat untuk mempercayakan beberapa individu kepada perlindungan dan pertolongan Tuhan, dalam pengertian yang disebutkan di atas, tetapi untuk menyetujui dan mendorong pilihan dan cara hidup yang tidak dapat diakui sebagaimana diatur secara obyektif terhadap rencana Allah yang diwahyukan[11].

Pada saat yang sama, Gereja mengingatkan bahwa Tuhan sendiri tidak berhenti memberkati setiap anak peziarah-Nya di dunia ini, karena bagi-Nya “kita lebih penting dari semua dosa yang dapat kita lakukan”[12]. Tetapi Tuhan tidak memberkati dan juga tidak dapat memberkati dosa: Tuhan memberkati orang berdosa, sehingga dia dapat menyadari bahwa dia adalah bagian dari rencana kasih Tuhan dan membiarkan dirinya diubah oleh-Nya. Sebenarnya Tuhan, “menerima kita apa adanya, tetapi Dia tidak pernah meninggalkan kita apa adanya”[13].

Berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan di atas, Gereja tidak memiliki, dan tidak dapat memiliki, kuasa untuk memberkati persatuan orang-orang dari jenis kelamin yang sama dalam pengertian yang dimaksudkan di atas.

Sri Paus Fransiskus telah diberitahu dan memberikan persetujuannya untuk penerbitan Responsum ad dubium (jawaban atas pertanyaan doktrinal) yang disebutkan di atas, dengan Catatan Penjelasan terlampir, ia memberikannya kepada Sekretaris Kongregasi yang bertandatangan di bawah ini dalam Audiensi.

Diberikan di Roma, dari Tahta Kongregasi untuk Ajaran Iman, 22 Februari 2021, pada Pesta Tahta Santo Petrus, Rasul.

Luis F. Kardinal Ladaria, S.J.

Prefek

✠ Giacomo Morandi

Uskup Agung Tituler Cerveteri

Sekretaris

———————————————————————————————————————————————-

NB:

Diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari teks bahasa Italia yang dipublikasikan dalam vatican.va (dengan perbandingan versi bahasa Inggris).

Teks dalam bahasa-bahasa lain bisa dilihat di link berikut: http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20210222_responsum-dubium-unioni_it.html


[1] Fransiskus, Seruan Apostolik Amoris Laetitia, no. 250.

[2] Sinode para Uskup, Documento finale della XV Assemblea Generale Ordinaria, no. 150.

[3] Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, no. 60.

[4] Rituale Romanum ex Decreto Sacrosancti Oecumenici Concilii Vaticani II instauratum auctoritate Ioannis Pauli PP. Il promulgatum, De bendictionibus, Praenotanda Generalia, no. 9.

[5] Ibidem, no. 10.

[6] Katekismus Gereja Katolik, no. 2357.

[7] Dalam kenyataanya, pemberkatan pernikahan merujuk kembali pada kisah penciptaan, di mana berkat Tuhan atas laki-laki dan perempuan terkait dengan persekutuan mereka yang menghasilkan keturunan (bdk. Kej 1:28) dan saling melengkapi (bdk. Kej 2: 18-24).

[8] Fransiskus, Seruan Apostolik Amoris Laetitia, no. 251.

[9] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Surat Homosexualitatis problema tentang Reksa Pastoral untuk Orang-Orang Homoseksual, no. 15.

[10] De benedictionibus sebenarnya menyajikan daftar panjang situasi yang membutuhkan berkat dari Tuhan.

[11] Kongregasi untuk Ajaran Iman, Surat Homosexualitatis problema tentang Reksa Pastoral untuk Orang-Orang Homoseksual, no. 7.

[12] Fransiskus, Audiensi Umum, 2 Desember 2020, Catechesi sulla preghiera: la benedizione.

[13] Ibidem.

Posted in Paus Fransiskus | Dengan kaitkata: , | Leave a Comment »

Tahta Suci: Persatuan Antara Homoseksual Tidak Bisa Diberkati

Posted by postinus pada Maret 16, 2021


Pernyataan Kongregasi untuk Ajaran Iman menanggapi secara negatif kemungkinan memberikan berkat kepada pasangan yang dibentuk oleh individu dari sesama jenis: “Ini bukan diskriminasi yang tidak adil, tidak ada penghakiman terhadap pribadi orang”.

Bapa Suci Paus Fransiskus (Foto: Vatican News)

Gereja tidak memiliki kuasa untuk memberikan berkat kepada persatuan orang-orang yang berjenis kelamin sama, oleh karena berkat seperti itu tidak dapat “dianggap sah”. Hal ini dideklarasikan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman, sebagai tanggapan terhadap keraguan (“dubium”) yang telah dipertanyakan kepada mereka. Oleh karena itu,  tidak diperbolehkan bagi para Pastor untuk memberkati pasangan homoseksual yang meminta semacam pengakuan agama atas persatuan mereka. Paus telah diberitahukan dan “memberikan persetujuannya” untuk penerbitan Tanggapan tersebut dan Catatan Penjelasan yang menyertainya yang ditandatangani oleh Prefek, Kardinal Luis Ladaria, dan oleh Sekretaris, Uskup Agung Giacomo Morandi.

Deklarasi tersebut didasarkan pada pernyataan khusus dan beberapa hal praktis. Dokumen tersebut adalah bagian dari “kehendak tulus untuk menyambut dan menemani orang-orang homoseksual, yang kepada mereka diusulkan jalan pertumbuhan iman”, menurut apa yang juga ditetapkan oleh Seruan Apostolik Amoris Laetitia, yang berbicara tentang “bantuan yang diperlukan” yang ditawarkan kepada orang-orang homoseksual “agar sepenuhnya memahami dan memenuhi kehendak Tuhan dalam hidup mereka”. Oleh karena itu, rencana dan usulan pastoral dalam hal ini perlu dievaluasi, dan di antaranya ada yang berkaitan dengan berkat persatuan tersebut.

Hal mendasar, dalam teks tanggapan dari Kongregasi, adalah perbedaan antara pribadi-pribadi dan persatuan. Tanggapan negatif untuk memberkati persekutuan sesama jenis sebenarnya tidak menyiratkan penilaian terhadap individu yang terlibat, yang harus diterima “dengan hormat, kasih sayang dan kepekaan”, menghindari “setiap tanda diskriminasi yang tidak adil” seperti yang telah dinyatakan dalam dokumen resmi Gereja.

Inilah motivasi-motivasi  yang mendasari tanggapan negatif tersebut. Yang pertama menyangkut kebenaran dan nilai berkat, yang bersifat “sakramental”, tindakan liturgis Gereja, dan mensyaratkan bahwa apa yang diberkati harus “secara obyektif diarahkan untuk menerima dan mengungkapkan rahmat, sesuai dengan rancangan Tuhan yang terukir dalam ciptaan”. Hubungan, bahkan jika hubungan itu stabil, “yang melibatkan tindakan seksual di luar pernikahan” – yaitu, di luar “persatuan yang tak terputuskan antara seorang pria dan seorang wanita”, terbuka untuk transmisi kehidupan – tidaklah menanggapi “rancangan Tuhan”, bahkan jika ada “elemen-elemen positif” dalam hubungan tersebut.

Pertimbangan ini tidak hanya menyangkut pasangan homoseksual, tetapi semua persatuan yang melibatkan aktivitas seksual di luar pernikahan. Alasan lain untuk tanggapan negatif adalah risiko bahwa berkat dari persatuan sesama jenis akan secara keliru dikaitkan dengan Sakramen Perkawinan.

Akhirnya, Kongregasi untuk Ajaran Iman menegaskan bahwa jawaban terhadap keraguan (“dubium”) tidak mengecualikan “bahwa berkat diberikan kepada individu dengan kecenderungan homoseksual, yang mewujudkan kehendak untuk hidup dalam kesetiaan pada rencana yang diwahyukan oleh Tuhan”, sementara itu menyatakan dilarang “segala bentuk berkat yang cenderung mengakui persatuan antara homoseksual tersebut”.

***

Tulisan ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan berbahasa Italia (https://www.vaticannews.va/it/vaticano/news/2021-03/santa-sede-omossessuali-unioni-congregazione-dottrina-fede.html)

Posted in Paus Fransiskus, Tanggapan tentang Persatuan Homoseksual | Leave a Comment »

Paus Fransiskus dan Islam: Tiga Landasan Magisterium

Posted by postinus pada Maret 13, 2021


Benang merah seputar pidato utama Paus Fransiskus yang disampaikan di Baku, Kairo dan Ur, menunjukkan betapa perlunya religiusitas yang otentik untuk menyembah Tuhan dan mencintai saudara dan saudari kita, serta komitmen konkret untuk keadilan dan perdamaian.

Pertemuan Antaragama di Ur, Irak pada saat Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus (Foto: Vatican News)

Ada benang merah yang menghubungkan tiga intervensi penting Paus Fransiskus terkait dialog antaragama, dan secara khusus dengan Islam.

Ini adalah magisterium (ajaran resmi Gereja) yang menunjukkan panduan (road map) dengan tiga poin acuan yang fundamental: peran agama dalam masyarakat kita, kriteria religiusitas yang otentik, dan cara konkret untuk berjalan sebagai saudara dan saudari untuk membangun perdamaian. Kita dapat menemukan ketiga poin ini dalam pidato Paus yang ia sampaikan di Azerbaijan pada tahun 2016; di Mesir pada 2017; dan sekarang (2021) selama perjalanan bersejarahnya ke Irak, dalam pertemuan tak terlupakan di Ur Kasdim, kota Abraham.

Teman bicara pada pidato pertama Paus adalah Syiah Azerbaijan, dan juga komunitas agama lain di negara itu. Pidato kedua terutama ditujukan kepada Muslim Sunni Mesir. Akhirnya, yang ketiga ditujukan kepada para hadirin antaragama yang lebih luas yang terdiri dari mayoritas Muslim, namun tidak hanya mencakup orang Kristen tetapi juga perwakilan dari agama-agama Mesopotamia kuno.

Apa yang diusulkan dan diterapkan oleh Paus Fransiskus bukanlah pendekatan yang melupakan perbedaan dan identitas untuk menyamakan semua. Sebaliknya, hal itu adalah panggilan untuk setia pada identitas agama sendiri untuk menolak keyakinan agama apapun untuk menimbulkan kebencian, perpecahan, terorisme, diskriminasi, dan pada saat yang sama, untuk bersaksi dalam masyarakat yang semakin sekuler bahwa kita membutuhkan Tuhan.

Di Baku, di hadapan Syekh Muslim Kaukasus dan perwakilan dari komunitas agama lain di negara itu, Paus Fransiskus mengenang kembali “tugas besar” agama: yaitu “menemani kaum laki-laki dan perempuan mencari makna hidup, membantu mereka untuk memahami bahwa kapasitas terbatas manusia dan barang-barang dunia ini tidak boleh menjadi absolut”.

Di Kairo, ketika berbicara pada Konferensi Internasional untuk Perdamaian yang dipromosikan oleh Imam Besar Al Azhar, Al Tayyeb, Paus Fransiskus mengatakan bahwa Gunung Sinai “mengingatkan kita terutama bahwa perjanjian otentik di bumi ini tidak dapat mengabaikan surga, bahwa manusia tidak dapat berusaha untuk menjumpai satu sama lain dalam damai dengan menghilangkan Tuhan dari cakrawala, mereka juga tidak dapat mendaki gunung untuk mendapatkan Tuhan yang hanya sesuai bagi diri mereka sendiri. “Itu adalah pesan yang sangat tepat pada saat itu dalam menghadapi apa yang disebut Paus sebagai “paradoks berbahaya”, yaitu, di satu sisi, kecenderungan untuk menurunkan agama hanya ke ranah privat (the private sphere), “seolah-olah itu bukan dimensi esensial pribadi manusia dan masyarakat”; dan di sisi lain, kebingungan yang tidak tepat antara ranah agama dan politik.

Pada hari Sabtu, 6 Maret 2021 di Ur, Paus Fransiskus mengenang kembali bahwa jika manusia “mengecualikan Tuhan, manusia akhirnya menyembah sesuatu dari bumi ini”, oleh karena itu Paus mengundang manusia untuk mengangkat “pandangannya ke Surga” dan mendefinisikan sebagai “religiusitas yang sejati,” yaitu menyembah Tuhan dan mencintai sesamanya. Di Kairo, Paus menjelaskan bahwa para pemimpin agama dipanggil “untuk membuka tabir kekerasan yang menyamar sebagai kesucian yang diakui dan lebih didasarkan pada ‘pengabsolutan’ keegoisan daripada keterbukaan otentik kepada Yang Mahamutlak” dan untuk “menolak berbagai pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan dan hak-hak manusia, membuka upaya-upaya untuk membenarkan setiap bentuk kebencian atas nama agama, dan mengutuk upaya-upaya ini sebagai karikatur penyembahan berhala terhadap Tuhan”.

Di Baku, Paus menggarisbawahi sebagai tugas agama bahwa membantu “untuk membedakan yang baik dan mempraktikkannya melalui perbuatan, doa dan ketekunan memelihara hidup batin, para penganut agama dipanggil untuk membangun budaya perjumpaan dan perdamaian, berdasarkan pada kesabaran, saling pengertian, dan rendah hati, dengan langkah-langkah nyata”. Pada waktu terjadi konflik, agama – kata Paus di Azerbaijan – “harus menjadi fajar perdamaian, benih kelahiran kembali di tengah kehancuran kematian, gema dialog yang bergaung tanpa henti, jalan terhadap perjumpaan dan rekonsiliasi untuk mencapai bahkan tempat-tempat di mana upaya mediasi resmi tampaknya tidak membuahkan hasil”.

Di Mesir, Paus menjelaskan bahwa “tidak ada hasutan untuk melakukan kekerasan yang akan menjamin perdamaian” dan bahwa “untuk mencegah konflik dan membangun perdamaian, sangatlah penting bahwa kita tidak melakukan upaya untuk menghilangkan situasi kemiskinan dan eksploitasi di mana ekstremisme justru lebih mudah berakar”.  Kata-kata ini juga digaungkan dalam pidatonya di Ur: “Tidak akan ada perdamaian tanpa saling berbagi dan menerima, tanpa keadilan yang menjamin kesetaraan dan kemajuan untuk semua, dimulai dengan mereka yang paling rentan. Tidak akan ada perdamaian kecuali orang-orang mengulurkan tangan kepada orang lain”.

Dengan demikian, ketiga intervensi kepausan menunjukkan peran yang dimiliki religiusitas saat ini di dunia di mana merajalelanya konsumerisme dan penolakan terhadap yang sakral, dan di mana ada kecenderungan untuk menurunkan keyakinan ke ranah privat. Namun demikian, kata Paus, ada kebutuhan akan religiusitas yang otentik, seseorang tidak pernah memisahkan penyembahan kepada Tuhan dari cinta untuk saudara dan saudari kita.

Terakhir, Paus menunjukkan cara bagi agama-agama untuk berkontribusi demi kebaikan masyarakat kita, mengingat kebutuhan akan komitmen untuk tujuan perdamaian, dan untuk menanggapi berbagai masalah dan kebutuhan konkret dari mereka yang terkecil, yang miskin, yang tidak berdaya. Hal ini merupakan usulan untuk berjalan berdampingan, “semua saudara”, untuk menjadi pelaku perdamaian dan keadilan yang konkret, melampaui perbedaan dan menghormati identitas masing-masing.

Contoh dari jalan ini dikutip oleh Paus Francis ketika dia mengingat kembali bantuan yang ditawarkan oleh para pemuda Muslim kepada saudara-saudara mereka yang beragama Kristen dalam membela gereja-gereja di Baghdad. Contoh lain adalah kesaksian di Ur dari Rafah Hussein Baher, seorang perempuan Irak penganut agama Sabean-Mandean, yang dalam kesaksiannya ingin mengenang pengorbanan Najay, seorang pria beragama Sabean-Mandean dari Basra, yang kehilangan nyawanya untuk menyelamatkan tetangganya yang Muslim.

Tulisan ini diterjemahkan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC dari berita resmi Vatikan berbahasa Inggris(https://www.vaticannews.va/en/church/news/2021-03/pope-francis-islam-iraq-magisterium-cairo-baku-ur.html)

Posted in Paus Fransiskus, Pope Francis | Leave a Comment »